Belum lagi kami munaqosyah pesantren. Ya Allah waktu sangat cepat sekali. Tak terasa sudah hampir 6 tahun kami menimba ilmu disini.
Tiba-tiba dari jauh, ku lihat Mas Hasan melangkah ke arah kami.
"Alhamdulillah ketemu disini" ucapnya.
"Kak Hasan kok gak bilang-bilang mau sambang?"
"Iya sekalian lewat, tadi dari sowan ke pesantrennya Ning Kayla"
"Bagaimana keadaan keadaan Pesantren Mas?" ucapku memberanikan diri bertanya.
"Kyai Ja'far sepertinya sedang sakit Ning, nampak tadi wajah beliau pucat sekali"
"Astaghfirullah Abah,"
Ya Allah, kenapa perasaanku tak enak. Aku ingin pulang. Kenapa Kang Ali tak mengabariku. Air mataku pun jatuh saat mendengar kabar abah sedang sakit.
πΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈ
Flash back (POV Mas Hasan)
"Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh, ada perlu apa ya?" salah satu abdi ndalem menjawabnya.
"Saya mau sowan ke Kyai Ja'far,"
"Maaf sebelumnya, Abah Yai masih sakit,"
"Innalillahi, sakit apa?"
"Maaf keluarga pesantren tak memperkenankan untuk memberitahukan"
"Baiklah, semoga beliau lekas di berikan kesembuhan dan sehat wal'afiat kembali"
"Nggih, matur suwun"
πΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈ
"Kayla, sabar ya" ucap Amel merangkulku
"Aku pengen pulang Mel, aku ingin melihat keadaan Abah,"
Bagaimana rasanya ketika kita menimba ilmu dan di kabari orang tua kita yang sangat kita sayangi sedang sakit. Apalagi aku adalah anak satu-satunya bagi mereka.
Sedih Ya Allah, walaupun belum sepuh sekali. Abah adalah orang yang baik dan jarang sekali istirahat. Riyadhohnya sangat kuat.
Abah semoga Abah lekas sembuh. Semoga Kyai Faqih mengijinkanku untuk menjenguk Abah. Aku ingin sekali pulang.
"Ning Kayla, maaf sudah membuat sedih," ucap Mas Hasan.
"Ndak apa-apa Mas, syukron infonya"
Tak lama kemudian, ada seorang santriwati yang menghampiriku.
"Ustadzah, Bu Nyai memanggil Ustadzah" ucapnya.
"Nggih, mengken dalem mriko ( Ya, nanti saya kesana)"
Ada apa ya? Kenapa aku dipanggi? Aku memohon diri untuk pergi meninggalkan Amelia dan kakaknya menuju ndalem. Kulihat semua berkumpul di rung tamu.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam mriki nduk," ucap Bu Nyai.
"Mau (tadi) Umimu telpon ke Pesantren, Abah gerah (sakit) nyebut jenenge sampean (menyebut namamu) terus" papar Bu Nyai
Ya Allah Abah. Air mataku menetes lagi. Mengetahui hal itu Bu Nyai memelukku. Kulihat Gus Ghoffar dan Gus Zein juga berduka atas berita ini.
"Sampean mantuk riyen Nduk, jenguk Abahmu," ucap Kyai Faqih.
"Nggih Abah,"
Hari itu juga aku diantar dengan Gus Ghoffar ke pulang ke Pesantren. Dua setengah jam perjalan kami pun sampai ke Pesantren. Ku lihat suasana Pesantren yang tak menimbulkan pertanyaan.
"MasyaaAllah Kayla,?" ucap Mas Syarif.
"Abah ndak apa-apa to Mas?"
Mas Syarif hanya tersenyum dan memberikan isyarat agar aku mengikutinya. Kulihat tubuh itu terbaring di tempat tidur. Dikelilingi Mbah Uti, Umi dan Mbak Azizah.
"Abah..!!" aku pun berlari dan memeluk Abah yang terkulai lemas dengan wajah yang pucat.
"Kayla," ucap Umi sembari memelukku.
"Umi, Abah niki Kayla Bah,"
Mata itu terbuka ketika aku ada d samping beliau.
"Nduk, Kayla."
"Nggih Abah,"
"Uhuk, uhuk, kenopo sampean pulang nduk? Piye mondokmu? Uhuk, uhuk"
"Sampun, Abah istirahat mawon nggih"
"Abah sampun dhahar (sudah makan) ? Kayla suapin Abah nggih,"
"Abah wes dhahar Nduk,"
Hening
"Nduk, lebih baik sampean makan dulu"
"Kayla sampun dhahar mi"
"Sampean diantar sopo?"
"Gus Ghoffar Mi"
"Alhamdulillah,"
Ya Allah, semoga Engkau tak mengambil Abah. Pesantren ini masih butuh pemimpin seperti Abah yang bijak dan sabar.
πΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈ
POV (Kang Ali)
Pesantren Mambausshofa, ada perlu apa mereka kesini? Kulihat gadis kecil yang tak asing dalam ingatanku sedang duduk termenung dengan raut yang sedih bersandar pada salah satu tiang Ndalem.
"Ning Kayla,"
"Kang Ali,"
"Sabar nggih Nduk,"
"Kang Ali kok mboten sanjang Abah sakit (kok tidak ngomong Abah sakit) ?"
"Kang Ali minta ma'af nggih, Kang Ali mboten pengen konsentrasi Ning Kayla terganggu" ucapku duduk di sebelah Kayla.
Hening
Saat raut wajahnya sedih makin kelihatan manis. Duh, Ning kenapa setiap aku bersamamu jantungku rasanya pengen copot. Dulu kamu gadis yang cerewet, bawel. Tapi sekarang kamu anggun lan ayu.
"Kang Ali," suara itu terdengar merdu.
"Nggih nduk,"
"Kayla sedih Kang,"
"Enten nopo ( Ada apa) ?"
"Kayla takut Abah,"
"Husst, ampun sanjang ngoten (jangan ngoming seperti itu) ," aku menyeka kalamnya.
"Nggih Kang," ucapnya lesu.
Seorang anak satu-satunya pendiri Pesantren Al-Fatah. Sangat takut kehilangan Abahnya. Ku lihat bukan hanya itu beban yang Ia fikirkan. Ada hal yang lain yang membuatnya sedih.
"Tahun niki sampean lulus to Ning?"
"Nggih Kang,"
"Ngabdi (mengabdi) ?"
"Mboten semerep Kang (tidak mengerti) ,"
"Ono opo (ada apa) asline Ning? Sampean mboten saget ngapusi kangmu iki" dedesku pada Kayla.
"Kang, pernikahan mboten di dasari rasa cinta niku pripun (bagaimana) nggih Kang?"
Deg,
"Apa seorang Ning boleh menolak seorang Gus?" ucapnya dengan meneteskan air mata.
Deg,
Ya Allah, Ada apa sebenarnya? Apa Kayla sudah di tembung oleh keluarga Kyai Faqih?
"Kang, kok mendel mawon?" tanyanya lagi.
"Lelaki dan perempuan di pilih karena empat : dipilih karena agamanya, nasabnya, hartanya dan fisiknya. Pilihlah karena Agamanya," paparku meskipun aku harus memendam rasa sakit karena tak mengetahui siapa yang akan meminangnya."
"Kalau pernikahan satu pesantren antara Ning dan Abdi Ndalemnya ?"
Deg, lagi-lagi pertanyaan yang sulit untuk kujawab terlontar dari bibir manisnya.
"Contohnya?"
"Seperti Kayla dan Kang Ali" ucapnya memandang ke arahku
Deg,
"Enten nopo kok Ning Kayla bahas babakan nikah niki?"
"Sepertinya akan ada perjodohan di Pesantren ini dan Pesantren Kyai Faqih."
Deg, jangan-jangan. Ya Allah, apakah Ning Kayla di jodohkan dengan Gus Zein atau Gus Ghoffar? Lalu bagaimana denganku yang tak dapat menerima perempuan lain karena harapan terbesarku jatuh ke putri kecil bidadari Al-Fatah yang ada di sampingku.
Baru kali ini sekian lama air mataku menetes hanya karena seorang perempuan dan itu Ningku sendiri.
"Kang Ali, nangis?"
"Mboten nopo-nopo," ucapku tersenyum padanya seraya menyembunyikan rasa cemburuku pada semua pertanyaannya.
"Ning Kayla kapan balik Pesantren?"
"Wong baru saja datang Kang,"
"Hehe,"
"Kang Ali sampun gadah calon (sudah ada calon)? Kenalkan to sama Kayla."
Ya Allah Kayla, bila takdir dapat kutulis sendiri. Aku akan menulis bahwa jodohku adalah kamu.
"Dereng, kenapa nuw?"
Diam saja.
"Kayla ndak cinta sama Gus Zein Kang"
Deg,
Alhamdulillah, itu yang kuharapkan.
"Tapi apa boleh Kayla menolak Gus Zein?"
Kenapa pertanyaanmu selalu sulit untuk ku jawab Nduk.
"Boleh ndak Kang,?"
Ya Allah, apa yang harus aku jawab. Ning Kayla, andai sampean tahu aku sayang kalih sampean Ning. Tapi apalah dayaku dek, status seorang abdi ndalem yang tak sepadan membuatku minder.
Pernahkah kalian mengerti bagiamana terjebak lingkup asmara dengan putri kyai sendiri? Dia anak orang yang memberikan keluargaku hidup untuk yang kedua kalinya setelah Ibuku dan ayahku wafat saat kejadian itu.