Chereads / Menggapai ArasyMu / Chapter 23 - Berdua Saja

Chapter 23 - Berdua Saja

Masih tajam mata itu memandangku. Mata yang menandakan kekecewaan. Maafkan aku Kayla, aku tak bisa memenuhi permintaanmu.

"Wes ndang mari nduk, calon suamimu wes gak sabar," ucap Kyai Faqih membuat hatiku sangat sakit. Aku pun memutuskan untuk meninggalkan mereka semua menuju masjid yang terdekat dari rumah sakit.

Ya Allah, mendengarnya akan menikah hati ini sudah patah. Apalagi melihatnya bersanding dengan orang lain.

Kulangkahkan kaki meninggalkan ruangan Kayla menuju luar dengan wajah yang masam. Gus Syarif hanya memandangiku dengan datar.

Ya Allah, kenapa aku bisa mengagumi bahkan mencintai putri kyaiku sendiri?  Nampaknya jika aku mengkhitbahnya sekarang itu tak buruk tapi keadaan Kyai Ja'far tak memungkinkan untuk mendengarnya.

Aku pun menuju pintu keluar rumah sakit. Kulihat ada seseorang yang datang menujuku dan berkata, "Ustadz Ali,"

"MasyaaAllah sampean Kang Hasan?" ucapku dan kami berpelukan.

"Ada apa ke sini?"

"Begini Ustadz, saya mengantar adik saya sahabatnya Ning Kayla,"

Ku lihat sosok wanita yang sepadan dengan Kayla dan aku tak asing dengan wajahnya. Ia adalah teman Kayla yang saat itu pernah bertemu denganku.

"Ustadz Ali?" ucap gadis itu dan aku hanya tersenyum.

Mereka lalu masuk ke dalam untuk menemui Kayla. Sedangkn aku masih tak mau melihat pemandangan yang menurutku sangat melukai perasaanku padanya.

Aku melangkah menuju Masjid yang tak jauh dari Rumah Sakit. Walaupun di dalam Rumah Sakit ada masjid. Rasanya menyendiri di Masjid adalah hal yang dapat menenangkan hatiku.

Tak lama kemudian, aku menemukan Masjid yang tak jauh dari Rumah Sakit yang nampak banyak anak-anak mengaji. Aku menuju tempat wudhu dan saat aku selesai, seorang wanita yang cantik dan juga dewasa tak sengaja melihatku lalu masuk ke dalam Masjid.

Aku pun menuju shaf laki-laki dan sholat dua rakaat untuk menghilangkan kegundahan hatiku. Kulihat wanita yang berjilbab Syar'i itu sedang mengajari anak-anak mengaji.

Perempuan yang baik, sholiha dan cantik. Tiba-tiba matanya menuju ke arahku sontak aku menundukkan pandanganku dan pergi. Tak sengaja aku menabrak seorang bapak yang paruh baya di hadapanku.

"Astaghfirullah, ngapunten."

"Mboten nopo-nopo, sampean bukan orang sini?"

"Nggih,"

"Saya itu senang kalau ada anak muda mau sholat sunnah di Masjid,"

Loh kok bapak ini tau aku tadi sholat sunnah disana.

"Istiqomahkan, niku sae (itu bagus),"

"Nggih,"

"Namamu siapa gus?"

"Dalem Ali pak,"

"Oh,"

Bapak itu lalu menjelaskan gadis itu adalah anaknya yang baru lulus ngabdi di Pesantren dan sekarang mengajar ngabdi di TPA yang di kelola bapaknya.

"Dalem teng mriki karena keluarga dalem sakit teng Rumah Sakit meniko"

"Oh nggih, mugi cepet diparingi kewarasan kagem keluarganipun"

"Aamiin Ustadz,"

"Monggo pinarak riyen,"

"Mboten Ustadz,  repot-repot,"

"Mboten nopo-nopo, ayo!"

Aku pun di ajak ke rumahnya dan kami. Mengobrol disana. Tak lama kemudian gadis itu datang untuk menyuguhkan secangkir kopi dan setengah melirik dan tersenyum ke arahku.

"Oh berarti sampean niki putrane Kyai Faqih?"

"Mboten, dalem abdi ndalemipun."

"La,  Abah Yai karo aku ki konco biyen,"

Aku tak menyangka Abah Yai memiliki teman di sekitar sini aku hanya tersenyum saja karena tak mengerti apa yang harus aku tanggapi.

"Wes nikah?"

Hadduh, pertanyaan yang sulit yang harus ku jawab.

"Lek dereng yo gak popo, nopo purun kalih putriku Lilla wau,"

Wadduh, hati ini sebenarnya sudah ada yang mempunyai, Ia sedang terbaring lemah di rumah sakit. Sedang disini ada wanita yang memang cantik namun tak dapat membuat hatiku merasakan apa yang kurasakan bersama Kayla.

"Hehe, Ustadz kalih Abah niku sami-sami mondok teng Jombang?" ucapku mengalihkan pembicaraan.

Lalu beliau bercerita panjang lebar mengenai mondoknya bersama Abah saat di Jombang. Tak lama kemudian setelah mengobrol, aku pun meminta diri untuk segera kembali ke Rumah Sakit.

Kulihat Hasan dan Adiknya disana, sedangkan tak kulihat Gus Zein dan Kyai Faqih. Alhamdulillah mereka sudah pergi. Aku pun masuk ke dalam ruangan Kayla.

Nampak Ia tidur terlelap. Kayla, Kayla, tidurmu saja membuatku terpaku. Bibir yang rasanya inginku,  Astagfirullah. Selalu saja nafsu yang bergejolak ingin memilikinya hadir saatku memandanginya. Bulu mata yang lentk,  mata yang sayu dan bibir yang membuatku tergoda. Pikiran nakalku hampir saja membuat Ia terbangun. Ali,  sadarlah jangan kau kotori fikiranmu.

"Kang Ali," ucapan itu terdengar lirih di hadapanku. Mata yang belum terbuka, bagaimana Ia bisa tau aku ada disini?

"Kang," ucapanya lagi dengan mata tertutup. Nampaknya Kayla bermimpi tentangku. Aku pun mendekatinya.

"Nduk,"

Perlahan matanya terbuka dan mengarah ke arahku.

"Ono opo Kay?"

"Kayla pengen mantuk Kang."

"Ojo sek, sampean masih sakit."

"Ndak Kang, Kayla pengen mantuk mawon,"

Ia mencoba turun dari tempat tidurnya dan aku melarangnya.

"Sampean mau kemana?  Wes disini saja,"

Ia pun mengurungkan niatnya. Aku sangat mengerti Kayla tak pernah membantah apa yang keluar dari mulutku.

Tiba-tiba Amelia sahabat Kayla masuk ke dalam "Kayla,"

"Mel, sama siapa?"

"Mas Hasan,"

"Bagaimana keadaanmu? Kapan kamu balik pondok?"

"InsyaaAllah Mel, alhamdulillah aku baik, "

Merekapun mengobrol dan aku hanya memandanginya di kursi sebelah sampai akhirnya Amelia dan kakaknya memutuskan untuk pulang.

"Nduk, makan yo."

Ucapku menyuapinya.

"Ndak mau kang,"

"Pengen sembuh nopo mboten?"

"Hmmm,"

"Ayo,  di makan,"

Ia hanya menggelengkan kepala

"Ya wes,  makan rotine nggih,"

Akhirnya dia mau makan. Kayla, sifat manjamu ini yang tak bisa membuat aku melirik ke wanita lain. Aku pun menyuapinya.

"Kang Ali, tadi kemana?"

"Ke Masjid, mendoakanmu"

"Syukron ya Kang.,"

"Wes penting Ning Kayla waras,"

Nyai dan Gus Syarif kembali ke Pesantren tinggal aku dan Kayla sendiri di Rumah Sakit.

Kepercayaan keluarga Ndalem padaku memang tinggi. Karena mengerti Kayla dari kecil sudahku pomong. Tak heran jika budhe atau pakdhe biasa melihatku berdua dengan Kayla.

Dalam. Keadaan seperti ini tak mungkin aku berbuat macam-macam terhadapnya.

"Kang,"

"Dalem,"

"Sholawatan gih, Kayla mirengke,"

"Ojo isin,"

"Lah, kenapa to Kang kok isin,"

"La dimirengke bidadari syurga,"

"Halah Kang Ali mesti ngoten,"

"La ngunukui yo di Aamiini to,"

"Nggih Aamiin,"

"Sholawatan Kang,"  pintanya sambil memanyunkan bibirnya.  Deh, dalam keadaan ini bisa saja ku cium bibirnya. Manyunnya menggodaku.

Tapi aku bisa menahan gejolak nafsu. Saat melihatnya. Sebagai pria yang sudah lulus MA tentu saja gejolak ingin menyentuk,  memeluk,  mencium seseorang yang membuatku jatuh hati pasti ada.

Namun tak mungkin aku melakukannya. Karena posisiku sebagai abdinya dan salah satu pengajar di Al-Fattah. Aku menyadari aku adalah panutan di Pesantren tersebut.

Dalam posisi ini iman turun naik saat melihat wanita karena itu hal yang wajar.  Apalagi aku sudah tamat dari kitab tentang pernikahan sampe seterusnya.

Jiwa ingin menikah selalu meronta-ronta namun apa daya cinta yang gagal moveon dan tak dapat mencari sosok yang lain.