Chereads / Menggapai ArasyMu / Chapter 25 - Pertikaian

Chapter 25 - Pertikaian

Suara isak tangis keluarga besar Pesantren Al-Fatah menyelimuti perjalanan Almarhum sampai ke tempat tujuan berikutnya yaitu pusara.

Semua berduka mendengar kepergian Almarhum. "Kenapa Abah pergi dengan sangat cepat,  Kayla masih ingin Abah disamping Kayla"

Kulihat Mbah Uti melirik dengan wajah yang marah, seakan-akan menyalahkanku atas kepergian Abah. Apa salahku?  Kenapa aku harus menanggung rasa benci dari nenek tercinta?

Mataku seakan kabur tak melihat apa-apa,  hanya gundukan awan yang terlihat sampai akhirnya Amelia sahabatku datang memelukku dan berkata "Yang sabar ya Kayla,  insyaaAllah Jannah untuk Abah" dan aku pun membalas pelukannya.

Seorang sahabat yang sangat mnegerti saat jiwa ini ingin bersandar,  Mataku pun pulih menatap wajah-wajah yang cembung sampai di pusara Abah.

"Sakniki Abah mboten sakit malih, Kayla sayang kalih Abah" tangisku menetesi makam Abah setelah semua bubar.

"Goro-goro mikir awakmu Kayla,  Abahmu sampek loro..!! Teriakan bagai petir menyambar telingaku.

Aku hanya dapat diam dan menangis Mbah Uti selalu menyalahkanku.

"Cukup Bu, Kayla mboten salah nopo-nopo Gusti Allah langkung sayang kalih Kang Mas Ja'far" bantah Umi sambil memelukku.

"Kayla nyuwun ngapunten Mi,"

"Uwes Kay, sabar nggih Nak," ucap Umi mengusap kepalaku dan mencium keningku.

"Abah wonten wasiat Mi,"

"Opo Kay?"

"Kang Ali diutus Abah dados penerus Pesantren Al-Fatah"

"Umi setuju,"

"Ora iso! " suara itu datang lagi memotong pembicaraan kami. "Syarif iku gus, Ali cuma abdi ndalem!"

"Mboten masalah abdi ndalem nopo gus Bu, Kang Mas Ja'far mesti sampun gadah pemikiran engkang sae umpami Ali engkang dados penerus Pesantren niki"

"Kayla iku ngarang tok! " ucap Mbah Uti.

"Ngapunten Mbah Uti,  Kayla mboten ngarang, dalem diutus Yai Ja'far mimpin pesantren niki sareng kalih Mas Syarif Mbak Azizah." ucap Kang Ali yang melihat pertikaian terjadi.

"Dalem mboten berharap saget mimpin Pesantren niki, umpami dalem tolak niki wasiat Yai Faqih, nyuwun pandunganipun mugi dalem saget mimpin Pesantren niki."

"Amburadul Pesantren iki di cekel awakmu Al!" ucap Mbah Uti lalu pergi.

"Umi ngerti, ono wasiat siji maneh, opo iku Al?"

"Dek Kayla dereng ceriyos?"

"Kang Ali mawon yang menjelaskan," ucapku masih menundukkan kepala ke makam Abah.

"Opo Al?"

"Wasiat setunggal, dek Kayla nikah kalih dalem Bu Nyai,"

"MasyaaAllah,"

"Terus piye Gus Zein?"

"Dalem mboten memaksa dek Kayla,  menawi dek Kayla ajeng nikah kalih Gue Zein,"

Akupun kecewa mendengar pernyataan Kang Ali. Kenapa Kang Ali ragu dengan wasiat Abah? Ia pun pergi tanpa permisi.

***

"Ya Allah,  tanggung jawabku lebih besar sekarang. Aku tak bisa memaksa Kayla menikah denganku. Meski aku mengharapkannya Ya Allah" rintih Ali.

"Kang Ali jahat...!!" teriakku melihat Kang Ali yang berjalan di depanku dan akhirnya menghentikan langkahnya.  Hujan pun turut menangis melihat pertikaian ini.  Entah pertanda apakah ini.

Rintikan hujan mulai membasahi hijabku dan air mataku beradu dengan derasnya air hujan. Begitu pula Kang Ali yang tak mampu membendung air matanya.

"Maafkan aku dek Kayla,"

"Apa Kang Ali tega Kayla berjodoh dengan orang yang tak Kayla cinta?"

Kang Ali diam tak menjawab

"Itu wasiat Abah, Kang," rintihku dengan air mata mengalir dan Kang Ali menghampiriku menyentuh bahuku dan menatap tajam

"Aku menyayangimu Kayla, Aku mencintaimu. Tapi maafkan aku yang penuh kekurangan ini, Aku akan istikharah mengenai ini."

"Jika sudah yakin tak perlu istikharah kang .! Kayla kecewa dengan kang Ali! kang Ali tega!" ucapku pergi dari hadapan kang Ali

Ali hanya dapat memandang dengan aliran air mata. Nyai Faqih pun melihat keduanya turut bersedih dengan keadaan ini.  Wasiat itu membimbangkan hati Ali. Siapa dia?  Siapa Gus Zein?  Bagai langit dan bumi.

***

"Nduk Kayla," sapa Ummi melihatku dan memelukku.  Seakan sudah mengerti apa yang terjadi padaku

"Sudah, jangan nangis." kata Umi dan aku masih dalam dekapan hangatnya

"Sing sabar Nduk,"

Aku pun mengerti Ummi juga menginginkan kang Ali bersama denganku karena wasiat Abah. Aku pun melepaskan dekapan Umi dan pergi membersihkan diri.

Malam hari,  pujian itu terdengar lagi.  Qasidah Al-Burdah yang selalu melipur hati yang lara.  Namun kali ini justru membuatku bersedih.  Karena kudengar isakan tangis di antara syair-syairnya.

"Nduk ayo," ucap Umi yang sudah bersiap untuk pergi ke Masjid Pesantren.

"Kayla sholat teng ndalem mawon Mi,"

Nampaknya Umi mengetahui aku sedang tak ingin menambah bebanku.   Beliau hanya tersenyum dan membelai wajahku sambil berkata "sabar nggih."

Aku pun menguraikan sajadahku dengan munfarid. Masih dengan isakan tangis, konsentrasiku buyar tak menentu hingga lupa rakaat.

Ku buka mushaf dan kulantunkan Surat Cinta-Nya. Berharap ketenangan dan ketentraman dalam hati.

Notifikasi  pesan masuk turut menghiasi layar. Kubuka pesan itu,  ternyata dari Amel yang mungkin meminjam hp pengurus/ pondok atau mungkin kakaknya yang sedang menyambanginya.

Amel

Assalamualaikum Kayla, aku Amel.

Aku

Wa'alaikumussalam, ada apa Amel?

Amel

Kapan balik?

Aku

Aku malas mau balik Mel

Amel

Jangan sedih Kayla, aku tau kamu terpukul dengan wafatnya Abahmu

Sebenarnya bukan karena itu saja Aku malas balik ke Pesantren. Karena memang aku tak ingin bertemu dengan Gus Zein. Aku pun hanya membaca pesan Amel dan melanjutkan nderesku.

Tiba-tiba "tok, tok, tok..!" Mbak Azizah  pun menghampiriku.

"Ayoo,  makan Kay!" ajaknya.

"Mbak Azizah riyen mawon, Kayla tasek nderes." jawabku masih dengan mata yang fokus ke Al-Qur'an.

Mbak Azizah pun pergi. Rasanya makanpun tak bisa mengembalikan moodku.

***

Ruang Makan

"Kayla mana Zah?"

"Tasek teng kamar budhe"

Ali pun tak enak makan melihat Kayla yang tak mood dan tak memperdulikan dirinya sendiri. Nyai Faqih pun meminta Ali untuk membujuk Kayla,  karena Kayla rentan drop saat tak makan.

"Al, tolong bujuk Kayla Le,"

"Nggih bunyai."

kang Ali pun menghampiriku.

"Jangan menyiksa diri sendiri dan jangan mendzolimi diri," ucapnya di bersandar dengan tangan yang sendakep. Aku hanya diam tak menjawab sepatah katapun.

"Nduk, Kayla."

"....."

"Opo mau tak bawakan ke sini?"

"..."

"Sampai kapan sampean mau diemin kangmu ini?"

"....."

"Kayla,  sampun nderese mengken di lanjut melih."

"..."

Sudah kuduga Umi akan membujukku dengan kehadiran kang Ali.  Tapi rasanya hambar sudah.

"Yo wes tak ambilkan yo,"

"..."

kang Ali pun mengambilkan sepiring makanan untukku

"Di makan yo,"

"..."

"Dihabiskan,"

"..."

"Serahkan sedoyo kalih Gusti Allah dek,"

"..."

"Dimakan dulu,"

"....."

"Opo mau tak suapin?"

"...."

kang Ali pun melangkah meninggalkanku

"Kang..," langkahnya pun terhenti

"Kayla mau lanjut mondok lagi,  tapi Kayla mau pindah pondok saja,"

"Sampean mau kemana dek?"

"Kemana aja yang penting tidak di pondoknya Gus Zein,"

"Kayla, sampean sudah cukup mondoknya. Saatnya ilmu sampean bisa bermanfaat untuk pesantren Al-Fatah"

"Kayla akan bersedia kang, , asal Kayla tak menikah dengan Gus Zein."

"....."

"Kenapa kang Ali tega membiarkan perjodohan ini terjadi?"

"Kayla! aku tak pernah diam dengan semua ini!"

Kata-kata itu sedikit membuatku terhentak dan air mataku pun jatuh di depan pandangannya. Ku lihat kang Ali mendekat dan mengeluarkan sapu tangan dari saku bajunya.

"Kayla, maafkan aku. Aku tak bermaksud seperti itu."

"Tak apa kang,"

"Aku akan mencari cara agar wasiat Abah bisa terlaksana semua. Semoga Aku bisa memimpin Pesantren ini dengan baik"

Kulihat genggaman tangan itu menunjukkan bahwa kang Ali benar-benar yakin dengan ucapannya lalu pergi.