Sosok wanita yang tak pernah mengenal cinta. Gadis yang sangat polos telah membuat hati ini berdesir hebat.
Kulihat Ia masih merenung sambil bermain ujung jilbabnya.
"Ning Kayla kok gak mau sama Gus Zein? Padahal banyak lo yang suka Gus Zein." jawabku dengan merendah karena memang aku tak ada apa-apanya dengan putra Kyai Faqih itu.
"Kayla ndak cinta Kang,"
"Terus, Kayla cintanya kalih sinten?"
"Kalih..."
Deg-degan menanti jawaban apa yang akan keluar dari bibir manisnya. Saat Ia akan menjawab pertanyaanku, tiba-tiba Budhe datang dan mengajak Kayla masuk ke dalam.
Rasa penasaranku semakin memuncak. Siapa yang berhasil meluluhkan cah ayuku itu.
"Ali," suara itu membuyarkan khayalku.
"Gus Syarif,"
"Aku ngerti sampean suka to sama Ning Kayla?"
Aku hanya nyengir mendengar pernyataan Gus Syarif.
"Kubur perasaanmu kanggo Ning Kayla,"
Aku tak mengerti apa maksud Gus Syarif berbicara seperti itu.
"Kengeng nopo (kenapa)?"
"Kayla iku wes di jodohno karo Gus Ahmad Zein karo Pakdhe Ja'far lan Kyai Faqih"
Jantungku rasanya sakit sekali mendengar itu. Duh Gusti paringi dalem kiat ati. Dari kecil kita sudah bersama, jika sekarang ingin dipisahkan rasanya bagai sepasang merpati yang ditinggal mati kekasihnya. Sungguh diri ini ingin lenyap saja sebelum melihat pernikahan itu.
"Mbak santri nang kene akeh Al, awakmu tinggal milih" ucap Gus Syarif.
Berpindah ke lain hati itu tak mungkin bagiku. Hanya satu perempuan yang bisa meluluhkan hatiku dengan sifat manjanya, perhatiannya, kebawelannya, kecantikannya dan keshalihannya.
"Aku ndak minat Gus,"
"Ali.. Ali, ojo keduwuren olehmu khayal. Kayla iku putri Kyai sedangkan kamu mung abdi nang kene."
"Mboten wonten salahe to Gus, Ning Kayla nikah kalih dalem?,"
"Gak salah cuma iku gak akan kedadean (tidak akan terjadi),"
Gus Syarif kakak kandung Ninh Kayla sendiri selalu tak merestui aku menjalin hubungan dengan adiknya sendiri. Padahal Ia mengerti persis bagaimana aku dan Ning Kayla mengarungi setiap detik putaran waktu.
Malam hari, agin bertiup membelah badan. Ku lihat di gasebo Ning Kayla sedang duduk sendiri. Aku pun menghampirinya.
"Ning Kayla, kok teng mriki? Anginnya ndak bagus lo,"
Kulihat jilbabnya sudah terbasahi oleh aliran deras air matanya. Ada apa dengan cah ayuku? Siapa yang melukainya hingga air matanya harus mengalir seperti ini.
"Cerito kalih Kang Ali,"
"Ka-kang," ucapnya sesenggukan karena air mata telah menguasainya.
"Ono opo Nduk?"
"Abah menjodohkanku kalih Gus Zein."
Deg,
Tahan, tahan Ali jangan sampai engkau membuat parah tangisannya.
"Ning Kayla purun?" ucapku, entah kenapa panggilan Nduk seperti hilang sekejap untuknya.
"Niku keinginan Abah, Kang Ali semerep Abah sakniki gerah (sekarang Abah sakit) , Kayla dereng saget wangsuli amanat beliau (Kayla belum bisa menjawab amanat beliau)"
Ya Allah, kasihan sekali Ning Kayla. Aku tak sanggup melihat kesedihannya. Tapi apa yang bisa kulakukan selain menghiburnya?
"Ning Kayla, jawab engkang jujur nggih," ucapku menatap lentiknya bulu matanya.
"Nopo Ning Kayla sayang kalih dalem?"
Ucapanku membuat sepasang bola matanya mengarah ke arahku. Lebih baik aku pastikan dari pada aku berlarut dengan hal yang tak pasti. Tapi ini mungkin berat bagiku jika Ia mengatakan tidak. Suasana menjadi hening, sunyi dan tegang.
Sekian lama Ia diam hingga akhirnya Ia menganggukkan kepalanya pertanda jawabannya adalah YA.
Aku paham karena laki-laki yang selama ini dekat dengannya melebihi seorang kakak seorang sahabat adalah Aku.
"Kang Ali nggih sayang kalih Ning Kayla"
Nampak sunggingan senyum yang Ia suguhkan untuk pernyataanku. Selama ini aku hanya dapat memendam perasaan ini. Mungkin ini waktu yang tepat untuk mengungkapkannya.
"Nduk," akhirnya panggilan itu muncul lagi, salah tingkah diriku malam ini.
"Nggih Kang,"
"Sejak kecil sampai sakniki, hanya ada satu perempuan seng saget ndamel (yang bisa membuat) Lek Ali jatuh hati kalih perempuan tersebut," bahasa yang tak baku tersusun spontan.
"Sinten niku Kang?"
Sepertinya Ia penasaran dengan pernyataanku.
"Ning Kayla pengen ngerti?"
Hanya mengangguk.
"Gadis itu adalah gadis yang cantik, manis dan sholiha,"
"MasyaaAllah, sinten Kang?"
"Gadis itu orang sini saja,"
"Santriwati mriki?"
"Santri sekaligus pengajar,"
Dia nampak kebingungan, karena pasti dia berfikir Ustadzah disini banyak.
"Gadis itu bernama..."
Nampak Ia sangat penasaran.
"Kayla Nadhifa Almaira"
Hening
"Ma'af yo nduk, kangmu iki lancang tapi, tidak mungkin derajat kita berbeda tidak sekufu."
"Kang Ali serius?"
"Nggih"
"Kengeng nopo Kang Ali mboten sanjang sakderenge keputusan perjodohan Abah?"
"Ngapunten nggih dek, Kangmu iki gak duwe opo-opo, cuma numpang."
"Kayla ndak pernah memandang seperti niku Kang,"
"Tapi sampean putri Kyai, sedangkan Lek Ali cuma pembantu dek, cuma Abdi."
Air matanya pun menganak sungai lagi. Ya Allah, apakah ini tandanya Kayla juga mempunyai perasaan sama sepertiku?
"Selama ini Kayla ndak pernah dekat kalih laki-laki lain Kang, laki-laki asing yang pertama kali ndamel Kayla nyaman cuma Kang Ali,"
Deg,
Aku merasa bersalah Ya Allah. Jika aku mengerti perasaannya mungkin aku akan memintanya pada Pakdhe Ja'far walaupun aku tak mengetahui jawaban beliau menerima atau justru menolak.
Tapi nasi sudah menjadi bubur, haram meminang perempuan yang sudah dalam pinangan orang lain.
"Kayla nyuwun (minta), Kang Ali nembung Kayla ke Abah,"
"Mboten mungkin Ning. "
"Kenapa Kang?"
"Kang Ali sangat takdzim kalih Abahmu Ning,"
"Jadi Kang Ali mau Kayla menerima Gus Zein?"
"Jika itu terbaik, Kang Ali ikhlas,"
"Tanpa memikirkan perasaan Kayla?"
"Kang Ali mung saget dungo untukmu Ning." air mataku pun pecah.
"Kang Ali Jahat...!" hentakan kata itu membuat jiwaku sakit. Hancur sehancur-hancurnya. Melihat seorang yang ku cintai terluka akan perasaanya. Namun apa yang harus ku lakukan. Aku tak punya kuasa disini. Mungkin melepaskan lebih baik untuk aku dan Kayla.
Jika Allah berkehendak dari sudut manapun dari perasaan yang terbalik pun kelak akan menemui titik yang sama.
"Ning Kayla, tunggu" ucapku mengejarnya karena kecewa dengan perkataanku. Mungkin baginya aku laki-laki yang tak punya nyali. Laki-laki yang pengecut.
"Ning dengarkan aku,"
"..."
"Apa lagi Kang?"
"Kang Ali minta maaf,"
Dari jauh kulihat Yai Ishak melihat kami. Seakan memberikan senyum untuk kami bersabar.
"Kang Ali akan selalu menunggu Ning Kayla, sampai kapanpun sampai Kang Ali tiada" paparku padanya. Tapi nampaknya sia-sia. Kayla tak berbicara sepatah kata apapun padaku dan pergi masuk ke rumah Ndalem.
"Ali, seng sabar Le. Mungkin Kayla dudu jodohmu," ucap beliau menghampiriku.
"Tapi Yai,"
"Jodoh, rezeki, maut wis ono seng ngatur."
"....."
"Nek Kayla memang jodohmu insyaaAllah balik Le,"
"Aamiin Yai."
"Wes lang kunu tenangno pikiranmu wudhu nderes."
"Nggih Yai." Aku pun ke Masjid untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan dua rakaat agar hatiku tenang.