Waktu menunjukkan sepertiga malam. Saatnya para pengurus, Ustadz dan Ustadzah berpatroli mengelilingi kamar asrama santri. Kulihat wajah itu lagi mengenakan mukena terusan lengkap dengan sajadah di tangannya menuju Musholla.
"Dek Kayla," sapaku.
Namun tiada jawaban apapun darinya. Sepertinya Kayla masih tak memaafkanku. Ia berlalu begitu saja dari hadapanku.
Senyuman ramah kepada para santriwati yang takdzim padanya sangat memukulku. Mereka bisa menikmati senyuman manis dari Sang Putri Kyai malam ini tak seperti diriku yang mendapatkan lirikan mata tak peduli. Baru kali ini Kayla semarah ini padaku.
Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan? Apakah ini akan menjadi hari terakhir hamba melihat senyumnya? Walaupun senyuman itu tak tersuguh pada hamba.
Ingin rasanya aku bebicara pada Pak Dhe Ja'far tentang perasaanku ini. Tapi beliau sedang sakit keras. Perasaan bimbang hinggap dalam fikiranku.
Aku pun membngunkan para santri yang masih tertidur lalu menuju musholla. Setelah badha sholat Shubuh. Kulihat Kayla masih bertemankan Al-Qur'annya. Walau terdengar lirih, kurasakan kesejukan saat mendengarnya.
Bidadari Al-Fatah, rasanya aku tak rela Ia dimiliki orang lain. Gadis idaman yang selalu ada dalam rangkaian doa-doaku. Yang kucintai melalui doa.
Setelah sekian lama, aku memperhatikannya mengaji. Ia pun menutup mushafnya dan keluar dari Masjid Pesantren. Pandangan mata kami menyatu. Tapi, tak ada sepatah kata apapun lagi yang keluar darinya.
"Dek Kayla, sampai kapan sampean seperti ini?"
"....."
Tiada jawaban. Ya Allah Nduk, jangan siksa Kang Ali seperti ini. Sakit sekali rasanya di diamkan seperti ini. Langkahnya berlalu begitu saja menyalami para santriwati yang sedang ro'an di dekat halaman Masjid Pesantren.
🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸🌸
POV (Kayla)
Maafkan aku Kang Ali. Sangat sakit sekali saat melihat orang yang kita cintai tak dapat memperjuangkan cintanya sendiri. Kang Ali menganggap semua menilai dari segi materi. Padahal Kayla tak pernah menilai dari itu semua.
"Nduk, tolong buatkan Abah teh hangat yo Nduk,Umi mau ke asrama putri dulu" ucap Umi
Aku pun masuk ke dapur untuk membuatkan Abah teh hangat. Lalu mengantarkannya ke kamar Abah.
"Abah, di unjuk riyen obatipun (Abah, diminum dulu obatnya)" ucapku meminumkan obat kepada Abah.
"Nduk,"
"Nggih Bah,"
"Kyai Faqih, kepengen sampean jadi mantunya,"
"Nggih Abah, Kayla semerap (mengerti)."
"Nduk, sampean nangis,?
"Mboten Abah,"
"Kyai Faqih iku sahabate Abah dari Madrasah Tsanawiyah sampe sak iki (sekarang)"
"....."
"Abah pengen sampean nikah dengan salah satu putra beliau"
Air mataku mulai berkaca-kaca mendengar permintaan Abah yang sangat menyayat perasaanku. Ya Allah, aku harus kuat di depan Abah.
"Piye Nduk (Bagaimana Nduk)?"
Aku masih tak bisa menjawab pertanyaan yang begitu sulit untuk kujawab. Tapi melihat kedekatan Abah dan Kyai Faqih aku merasa bersalah bila tak menuruti permintaan Abah.
Apalah daya Seorang Putri Kyai yang sangat takdhim dan tawadhu pada Abahnya. Mungkin ini juga yang dirasakan Kang Ali. Tapi cinta tak bisa di paksa. Kalaupun aku menikah dengan putra Kyai Faqih. Mungkin perlu waktu yang lama untuk dapat mencintainya. Mungkin sampai Kang Ali menikah dengan wanita lain.
"Nduk?"
"Nggih Abah,"
"Piye?"
"Kayla dherek Abah (Kayla ikut Abah)... mawon (saja)"Â ucapku sambil meneteskan air mata
Entah Abah menganggap keberatan atau tidak jawabanku ini. Tapi aku terpaksa melakukan semua ini. Karena aku takut Abah semakin parah sakitnya.
Aku pun memutuskan untuk keluar dari kamar abah dan menuju ruang tamu yang terdapat Pakdhe Iskak dan Kang Ali disana.
"Nduk, saget nyuwun tulung (Nduk, bisa minta tolong)?"
"Nopo nggih Pakdhe (Ada apa ya Pakdhe)?"
"Damelaken kopi (buatkan kopi),"
"Oh, nggih Pakdhe,"
Kang Ali tampak tak meminta apapun hanya memandangiku dengan pandangan yang seperti kasihan kepadaku.
"Kang Ali mau minum apa?"
"Kopi mawon Ning,"
Aku pun membuatkannya. Tiba-tiba kepalaku pusing rasanya ketika mengaduk kopi yang akan kusuguhkan pada mereka dan aku tak ingat lagi apa yang terjadi. Saatku terbangun, aku sudah berada di atas tempat tidurku dengan lantunan ayat Qur'an Kang Ali di sampingku.
Lantunan ayat Qur'an yang merdu dan menyejukkan. Ya Allah, andai aku dapat menyaksikannya selalu melantunkan ayat Qur'an di sampingku seperti ini, alangkah bahagianya hidupku.
"Dek, alhamdulillah sampean sampun sadar." ucapnya dengan senyum yang berkaca-kaca.
"Minum riyen nggih," ucapnya lagi sambil menyodorkan teh hangat untukku. Aku hanya memandanginya tanpa berkata apapun.
"Tadi, sampean pingsan teng dapur saat membuatkan kopi untukku dan Bapak"
Ya Allah, ternyata aku pingsan. Pantas jika aku sekarang ada disini. Jangan-jangan Kang Ali yang membawaku kesini.
"Maaf nggih, Lek Ali sampun (sudah) lancang mbeto (bawa) Kayla teng mriki (disini),"
Deg,
Ternyata benar. Kang Ali yang membawaku ke sini.
"Ning Kayla mboten marah to?"
Aku hanya menggelengkan kepalaku pertanda tidak apa-apa.
"Nduk, sampean gak popo (kamu tidak apa-apa)?" sahut Umi yang menghampiriku.
"Mboten nopo-nopo mi,"
"Alhamdulillah, Al suwun yo Le,"
"Aku nitip (titip) Kayla sek yo" ucap Umi pada Kang Ali lalu pergi ke Pesantren lagi.
Semua mempercayai Kang Ali tanpa mengetahui apa yang melanda pada kami. Ia pun kembali menderes Qur'annya kembali.
"Kang,"
"Dalem"
"Tolong ambilkan Qur'anku,"
Ia pun mengambilkan Qur'an yang berada di atas meja belajarku.
"Dek,"
"....."
"Niku mahkota tasik (masih) sampean simpan, nopo mau tak bikinkan lagi? Niku sampun kering jelek" papar Kang Ali
Aku sengaja menggangtungkannya disana walau warnanya sudah memudar dan tak cantik lagi seperti yang Ia berikan enam tahun yang lalu.
"Kang Ali buatkan malih nggih,"
"....."
Kang Ali lalu pergi entah mau kemana. Atau mungkin ke sawah lagi. Ya Allah, bagaimana aku tak jatuh hati padanya? Sedangkan perhatiannya dan kasih sayangnya seperti kakakku sendiri dan terkadang lebih dari itu.
Walau badan rasanya masih lemas, Aku melangkahkan kaki ke luar rumah Ndalem.
"Ape nondi Kay (mau kemana Kay)?" ucap Mbah Uti.
"Dalem ajeng teng sungai mriko, Mbah (saya mau ke sungai sana, Mbah)"
"Wong sek loro kok gak gelem leren (masih sakit kok tidak mau berhenti istirahat)." gerutu Mbah Uti.
Sekian lama aku tak disini, tetap saja sikap Mbah Uti padaku tak jauh berbeda saat sebelum aku pergi mondok ke Kyai Faqih.
"Koyo Azizah kui pinter ngiwangi Umimu ngajar santri (seperti Azizah itu pintar bantu ibu kamu mengajar para santri),"
Ya Allah, masih saja aku dibandingkan dengan Mbak Azizah. Seandainya Mbah Uti tau aku di Pesantren pun juga mengajar para santri sebagai Ustadzah disana. Mungkin beliau takkan mencaciku.
Kalau pun umi memintaku untuk mengajar di Pesantren akupun tak merasa keberatan. Umi sendiri yang melarangku untuk mengajar dan fokus pada kesembuhan Abi dan menggantikan tugas beliau selagi beliau berada di Pesantren. Walaupun ada Mas Syarif, Kang Ali, Mbak Azizah, Pakdhe Iskak. Umi tak mau merepotkan mereka semua untuk mengurusi Abah.
Mbak Azizah adalah anak dari Pakdhe Ahmad yang sudah dari kecil ditinggal wafat kedua orang tuanya. Hingga akhirnya Ia di titipkan ke Abah sekaligus Mbah Uti juga di bawa Abah ke Pesantren.