Setelah menghabiskan jatah makanan. Seorang santri menghampiri kami dan berkata, "Kayla" ucapnya. Aku mendongak ke arahnya.
"Kamu, di panggil ke Ndalem"
Upsss, ada apa lagi ini? Apakah aku akan di hukum atau di jadikan saksi atas apa yang di lakukan Ustadzah Arumi pada Nurul.
"Kay, perasaanku tak enak" ujar Amelia.
"Semoga tak terjadi apa-apa Mel, bismillah."
Aku segera menuju Ndalem, dari luar ku pandang Kyai Faqih dan Bu Nyai dengan Gus Zein dan juga Ustadzah Rumi ada di dalam.
Detak jantungku semakin tak menentu, Aku pun berjalan perlahan sambil menundukkan pandanganku.
"Tok...tok..tok.. Assalamu'alaikum" ucapku dengan nerfesh dan grogi. Ya Allah lindungiku dari perasaan su'udzon. Aku melihat sunggingan senyuman yang di tampakkan di wajah Kyai Faqih dan Bu Nyai.
"Rene Nduk," perintah Kyai Faqih.
Tak berfikir lama, Aku pun menghampiri mereka dan menyalaminya dengan takdhim. Ku lihat ketulusan di wajah Bu Nyai tergambarkan kala tangan beliau merangkul kepadaku.
Ustadzah Arumi masih menatap tajam ke arahku. Sepertinya amarahnya sangat besar padaku.
"Wonten nopo nggih, Pak Kyai kalih Bu Nyai nimbali dalem?"
"Ora usah wedi Nduk, Aku pengen sampean jadi Pengurus Pesantren iki " ucap beliau.
Ya Allah, lagi-lagi do'a isengku terkabul. Kulihat Gus Zein tersenyum lembut kepadaku. Apa yang difikirkannya? Bola matanya masih menatap ke arahku.
"Nduk, sampean mboten keberatan to?" timpa Bu Nyai kepadaku. "Kyai Ja'far itu seorang Kyai yang tawadhu' sabar dan tegas Nduk, Umi yakin sampean mempunyai sifat seperti Abahmu" papar beliau.
Aku tak dapat menjawab apa-apa, bibir rasanya terkunci. Alamat aku akan nambah 1 atau 2 tahun di Pesantren ini.
"Bagaimana Nduk?" ucapan Kyai Faqih mengambyarkan lamunanku. Secepat ini Ya Allah, bahkan aku baru saja khatam beberapa kitab saja. Apalagi Qur'anku belum 30juz dan belum mutqin. Ya Allah tolong hamba.
Menjadi pengurus sebuah Pondok Pesantren merupakan sebuah amanah yang besar dan berat. Karena kami harus mendidik para santri dan kadang akan mentakzir santri yang melanggar peraturan.
"Nduk?"
"I..inggih Yai, insyaaAllah dalem bersedia"
"Alhamdulillah"
Nampak wajah yang senang ketika aku memberikan jawabanku pada beliau.
"Minggu ngarep, ono lomba Banjari nang Tuban. Aku pengen sampean nderek ngonconi poro santri seng melu lomba"
Deg
Deg
Deg
Belum ku mulai menjadi pengurus, aku sudah mendapatkan tugas yang sangat jarang di berikan kepada para pengurus untuk menemani para santri mengikuti lomba banjari se-JawaTimur.
"InsyaaAllah, Kyai."
Lagi-lagi Gus Zein menatap dengan pandangan yang penuh makna. Aku pun memohon diri untuk kembali ke pondok putri.
"Nduk."
"Nggih Kyai."
"Anggepen Abah, kalih Umi Asiyah iki bapak, ibumu dewe."
"Nggih Abah, dalem rumiyen Assalamualaikum."
Dengan penuh lamunan kulangkahkan kakiku menuju kamar shofia 2.
"Heh!"
Langkahku terhenti seketika, ku tolehkan kepalaku, ternyata Ustadzah Arumi mengikutiku.
"Kecil-kecil pinter sekali yo sampean cari-cari perhatiannya Gus Zein."
".....?"
"Ustadzah Arumi yang terhormat, dalem ndak pernah mencari perhatiannya Gus Zein, niat dalem teng mriki murni thollabul ilmi."
"Halah, ora mungkin."
"Terserah."
Ku lihat rotannya mengayun kepadaku lagi dan aku berhasil menangkasnya.
"Ustadzah Arumi, posisi dalem dengan sampean sami. Mohon Ustadzah Arumi jaga adab Ustadzah."
"Sampean!!" ucapnya geram.
"Tampar saja Ustadzah!"
Nampak beliau tak berani melakukan itu. Aku pun melanjutkan langkahku karena ku lihat semua pasang mata para santri menuju kepada kami.
Tak lama kemudian terdengar suara Adzan.
"Allahu Akbar, Allahu Akbar...."
"Allahu Akbar, Allahu Akbar..."
"Laa illa hillallah..."
Kami pun berbondong turun ke musholla yang berdempetan dengan aula di lantai dasar. Ku lihat tertera tulisan "Pelantikan Pengurus Baru Pondok Pesantren Mambausshofa"
Cepat sekali tulisan itu berdiri disana.
"Kayla." ucap Nurul menepuk bahuku.
"Sampean tadi ribut lagi ya sama Ustadzah Rumi?"
"Biasa, kita sholat dulu yuk!"
Setelah selesai sholat berjamaah, Kyai Faqih menggiring para santri menuju panggung kecil yang berdiri di ujung aula.
"Harap nama yang saya sebutkan menuju ke samping panggung" Ucap Ustadzah Ainun di atas panggung.
"Khodijah min Aisyah 1, Kayla min Shofia 2, Asma' min Marwa 4 terakhir Izzati min Zulaikha 1, mohon semua yang saya panggil menuju ke samping panggung terimakasih "
Deg...
"Wah, Kayla hebat sampean," ucap Amelia mengagetkanku.
"Mel, kamu selalu mengagetkanku "
Ku lihat Siska menatap sinis di belakangku dan berkata, "Sial, kenapa tidak Aku? Aku kan ketua kamar Shofia, kenapa anak yang baru kemarin sore jadi pengurus sekarang, ini tak adil!!" gerutunya.
Aku segera menuju ke samping panggung. Nampak senyuman yang di suguhkan Gus Zein lagi.
"Dek Kayla." Ustadzah Ainun sontak memelukku "akhirnya sampean jadi pengurus juga."
"Alhamdulillah Mbak, niki berkat bimbingan Mbak Ainun."
"Mboten, Dek Kayla. Sampean pantas mendapat apresiasi niki."
Acara pelantikan pun di mulai. Sungguh hatiku deg-degan. Aku baru naik ke Madrasah Aliyah, sedang yang lainnya yang di lantik merupakan santriwati yang sedang menjajaki perguruan tinggi di Pesantren ini.
Kami pun berjajar di atas panggung. "Selamat atas prestasi yang di torehkan ke empat santriwati ini. Mulai sekarang, tempat ini adalah rumah kalian berkhidmat. Tulus dan Ikhlaslah dalam mengabdi di Pesantren ini."
"Kami santriwati Mambausshofa siap mengabdi pada Pesantren ini," jawab kami semua para pengurus baru.
Setelah pelantikan aku pun turun menuju ke Aula menghampiri Amelia dan Ririz yang sedang nderes di ujung Aula.
"Mbak Ririz, Amelia".
"Ning Kayla, selamat ya," ucap Amelia memelukku "kita akan pisah kamar." imbunya mengeluarkn butiran air matanya.
"Walaupun pisah kamar, kita tetap sahabat, hanya beda kamar saja kok. Kita masih bisa kan nderes bersama. Makan bersama."
Mereka sontak memelukku. MasyaaAllah, persahabatan selama tiga tahun telah mendarah daging dalam kehidupan kami.
Walaupun kami dari daerah ynmang berbeda, tak lahir dari orang tua yang sama. Rasa persahabatan kami melebihi saudara pada umunya.
Inilah Pondok Pesantren tempat menemukan kebahagian, keluarga baru, teman dan sahabat yang sejati. Berjuang bersama, berikhtiar bersama dalam menggapai Ridho Sang Illahi.
Uang saku habis, tak pernah kami khawatir, karena kami mempunyai prinsip "Uangmu uangku dan Uangku uangmu" itulah prinsip kami dalam makna saling membantu, saling peduli satu sama lain.
"Kayla," suara itu terdengar lagi. Ya Nurul, murid yang tempo hari di takzir dengan Ustadzah Arumi. Sekarang Ia menjadi sahabat kami.
Jam menunjukkn pukul 4 sore. Saatnya kami mengaji kitab gundul. Kitab yang selalu ada dalam lingkup pondok Pesantren Salaf (tradisional).
"Faslun utawi iku fashol" ucapan makna kembali terdengar dalam ngaji hari ini. Kubuka lembaran kitab Fathul Qorib yang akan di maknai Bu Nyai.
"Kletuk" suara bolpoint hi-tech Amelia jatuh ke lantai.
"Kayla, aku pinjam kitabmu ya aku ketinggalan."
Ku lihat bolpoint itu jatuh di depan bu Nyai. Bagaimana cara Amel mengambilnya? ah, Amel ada-ada saja ulahmu.
Bu Nyai menatap ke arah kami "Ono opo?"
"Laa Ba'sa Bu Nyai," ucap Amelia.
Duhh, Amel! Seharusnya kamu berterus terang saja. Hmm... Aku hanya dapat menghela nafasku. Walaupun ada bolpoint juga Ia akan tertinggal lagi memaknai kitab.