Lembaran kitabku termaknai dengan sempurna. Ku lihat Amel yang masih kebingungan. Ya, aku tak heran lagi pasti setelah ini Ia akan bilang
"Ning, hehe...kitabnya" ujar Amel dengan sedikit nyengir.
Benar kan, belum aku memberitahukan apa perkataannya, Amelia sudah mendahuluinya. Ku berikan kitabku padanya.
"Nduk, Kayla.." sapa Bu Nyai Asiyah padaku.
"Nggih Bu Nyai" dengan takdhim aku menghampiri beliau dan meninggalkan Amelia.
"Tulung sampean nang ndalem, jupukno kitabku seng ono nang mejo ruang tamu, warnane coklat"
"Nggih Bu Nyai" ucapku. Walaupun aku tak paham kitab yang mana. Aku segera menuju Ndalem dan lagi-lagi kudapati Gus Zein ada di ruang tamu dengan mushaf di tangannya.
Ya Allah, Gus Zein lagi. Entah aku sangat sungkan sekali pada beliau. Tak lama kemudian pandangannya menuju ke arahku yang terdiam, tak berani berkata apapun saat melihat sosoknya.
"Jangan berdiri di situ, masuklah!"
Ku lihat tak ada orang lain selain Gus Zein di Rumah Ndalem. Terlihat pula sebuah buku hitam coklat di atas meja ruang tamu di sampingnya.
"Ada perlu apa kesini?"
"Ngapunten Gus, saya di suruh ambil kitab Bu Nyai"
"Kitab nopo?"
"Kitab yang ada di..samping Gus"
Kedua bola matanya memandang kitab yang ku maksud. Ia lalu mengambil kitab tersebut dan berjalan ke arahku dan menyodorkannya padaku. Aku pun dengan hati-hati menerimanya lalu bergegas kembali menuju aula.
Entah, jika aku berhadapan dengan seorang laki-laki yang bukan Kamg Ali, rasa canggung, grogi dan sungkan hinggap dalam diriku.
Gus Zein, anak dari Kyai Faqih yang ternyata lulusan Universitas Luar Negeri, menjadi idaman semua santri terkecuali aku. Entah aku merasa hanya rasa sungkan yang beradu saat aku berjumpa dengannya.
"Bu Nyai niki kitabipun"
"Matur suwun Nduk"
"Nggih, Bu Nyai"
Malam menyapa, angin malam menerobos celah jendela dan pintu Pesantren. Malam jum'at, jadwal para penghuni pesantren untuk berdzikir dan bersholawat
"Ning Kayla bisa vokal kan?"
"InsyaaAllah Mbak Khodijah"
"Ya Wes pegang vokal"
Deg
Allah, bagaimana ini? Aku memang bisa vokal. Tapi, sudah bertahun-tahun aku tak mengasah vokalku lagi. Ya Allah, permudahlah aku untuk melantunkan syair-syair cinta untuk Kekasih-Mu.
Mbak Khodijah lalu menarik tanganku dan menuju sekelompok santri dengan seperangkat alat hadroh yang lengkap. Kami pun bergabung dengan mereka semua.
Allahumma Sholli Wassalim Wa barik Alaih Wa Ala Ali.
Busyrô lanâ nilnâl munâ, Zâlal 'anâ wa falhanâ
(Kebahagiaan milik kami karena kami memperoleh harapan, dan hilang sudah semua kesusahan, lengkap sudah semua kebahagiaan)
Waddahru anjaza wa'dahu, Wal bisyru adlhâ mu'lanâ
(Dan waktu sudah menepati janjinya, dan kebahagiaan menampakkan kemuliaan kami)
Yâ nafsu thîbî billiqô, Yâ 'ainu qorrî a'yunâ
(Wahai jiwa bahagialah, karena kau akan berjumpa dia.. Wahai mata, tenanglah dan tenanglah)
Hâdzâ jamâlul Mushthofâ, Anwâruhu lâ hat lanâ
(Lihat! Inilah keindahan al~Mushthofa, Cahayanya memancar-mancar menembus jiwa kita)
Yâ Roudlotal hâdisy-syafii' Wa shôhibaihi wal baqii'
(Duhai taman Nabi pembawa petunjuk, dan pemberi syafa'at dan kedua temannya serta tanah Baqi')
Uktub lanâ nahnul jamii' Ziyârotan lihabîbinâ
(Catatlah kami semua, bahwa kami berziarah kepada kekasih kami)
Itu adalah penggalan syair Busyrolana.
"Wah mantep suaranya" celoteh Mbak Asma' yang juga vokal.
"Biasa saja mbak, bagus Mbak Asma'"
"Ini banjari yang akan di lombakan minggu depan Mbak?"
"Nggih dek, Kita masuk kategori banjari putri. Untuk Banjari putra Gus Zein"
"Oh, Nggih Mbak"
Setelah selesai maulidan kami pun bubar. Untuk para santriwati akan setoran hafalan kepada para Ustadzah dan pengurus yang ada di Pesantren ini.
Hari ini pertama kalinya aku menyimak hafalan para santriwati. Termasuk menyimak ketua kamar yang dulu aku tinggali Siska dan juga parewangannya Ayu.
Mereka mendapat jadwal setoran pada barisanku. Ku lihat Ia sangat tidak senang melihat aku yang akan menyimak setoran hafalannya. Ia pun pelan-pelan melangkah pergi.
"Jika ada yang pergi, Ustadzah yang lain tidak akan mau menyimak setoran sampean" ucapku memberikan sindiran padanya.
Ia lalu kembali ke barisanku lagi. Kini giliran Ayu yang aku simak. Hafalan kitab Al-Fiyah terlantun dari bibirnya sambil memandang sinis.
Setelah Ayu, kini saatnya Siska untuk menyetorkan hafalannya. Beberapa kata Ia salah dan aku mencoba untuk membenarkannya. Tapi apa yang ku lakukan menyulutkan emosinya.
"Berani ya sekarang" gertaknya kasar dan bangkit. Semua mata memandang ke arahnya.
"Duduk, atau kamu takkan lulus"
"Kali ini kamu menang, tapi suatu saat aku yang menang" ancam Siska. Aku tak memperdulikan apa yang keluar dari mulutnya.
"Aku tak pernah membencimu Siska, tapi kenapa kamu sangat membenciku?"
"Aku tak suka kamu ada di Pesantren ini"
"Apa salahku? apa aku pernah melukaimu?"
Dia terdiam mendengar kata-kataku.
"Aku disini hanya untuk Thollabul Ilmi, apa salahku?"
"Salahmu, kamu tak pernah menghormatiku seperti yang lain"
"Oh"
Aku menghela nafas sebentar
"Jika kau ingin di hormati, hormatilah orang lain"
"Terserah kamu sekarang, jadwal setoranmu ada di barisan in" ucapku sambil mengontakkan mataku ke depan.
"Kalau kamu tak ikhlas, silahkan pergi ke Mbak Ainun untuk ganti jadwal, kamu boleh pergi"
Siska dengan pandangan yang tajam perlahan pergi.
"Astaghfirullah, ngapunten Ya Allah, hamba hampir menjadi budak amarah hamba"
"Dek, sabar nggih" kata Mbak Ainun menepuk bahuku.
"Nggih Mbak, sudah biasa. Giliran selanjutnya! Silahkan di mulai" ucapku pada santriwati yang berada di belakang barisan Siska.
Waktu menunjukkan pukul 11 malam. Waktunya para santri untuk beristirahat. Aku bersama pengurus yang lain berkeliling asrama untuk memastikan semua santri tertidur.
Setelah itu, Aku dan para pengurus lainnya menuju kamar pengurus untuk meluruskan punggung dan beristirahat.
Malam yang sunyi..
Angin malam menembus hati..
Rintikan hujan datang mengitari..
Para pejuang thollabul ilmi..
Sebelum tidur, Aku dan Mbak Ainun mengobrol santai di kamar kami. Ya, inilah kamar baruku, lebih besar, lebih lega dan lebih nyaman untuk berimajinasi dalam awan mimpi.
"Dereng tilem dek?" sapa Mbak Ainun yang sedang mengerjakan tugas kuliahnya.
"Ustadzah, mboten sare?"
"Dalem kok mboten penak nggih, timbali Mbak Ainun mawon" pinta Mbak Ainun memandang ke arahku.
"Emm, nggih Mbak Ainun"
"Wau Gus Zein menitipkan niki untuk sampean" ucap Mbak Ainun menyodorkan selembar kertas.
"Kelihatannya, Gus Zein niku remen kalih sampean" ucapnya lagi.
Deg
Mana mungkin?
Ah, tak mungkin
"Mboten Mbak, Gus Zein niku pendidikanipun tinggi. Lulusan luar negeri. Jadi mustahil rasanya Mbak, beliau remen kalih dalem"
Mbak Ainun terdiam sejenak dan membuka suaranya lagi.
"Dek"
"Dalem"
"Kang Ali, niku sinten? Kok wingi sampean nglindur nyebut asmane beliau?" tanya Mbak Ainun.
"Kang Ali, niku sampun kados mas dalem piyambak, beliau abdi ndalem pesantren."
"Loh? Ustad Ali? kok Kang manggilnya?"
"Mboten ngertos Mbak, panggilan Kang sampun melekat kagem beliau, bade nimbali Mas nggih kraosipun niku beda Mbak"