Keesokan harinya. Seperti biasa semua santri berbondong menuju kamar mandi. Tapi hal yang tak biasa terjadi..
"Aaaaaaa!!"
Kudengar teriakan salah satu santriwati di barisanku yang masuk ke dalam lalu keluar dengan wajah yang ketakutan.
"Mbak, wonten nopo?" ujarku menarik tangannya.
"Ada orang keserupan Mbak."
"Astaghfirullah," ucapku menutup mulutku.
Aneh sekali, pesantren tempat menuntut ilmu agama. Kenapa bisa seseram ini tempat para pelayan Allah? Ya Allah lindungi kami semua.
Aku mencoba menenangkannya. Semua santri berhamburan keluar ketika mendengar ada salah satu santri yang kesurupan. Panik dan bingung ap yang harus kulakukan?
Kuputuskan untuk segera ke Ndalem walaupun keadaan masih petang dan hanya cahaya lampu pesantren menjadi penerangnya.
Ku lihat pintu ndalem sudah terbuka. Alhamdulillah berarti semua sudah bangun.
Kulihat Kyai Faqih menuju luar rumah. Segera aku menghampiri beliau. Karena keadaan sudah kacau.
"Assalamu'alaikum Abah Yai," ucapku sambil ngos-ngosan karena lumayan jarak kamar mandi dan rumah ndalem
"Wa'alaikumussalam ono opo Nduk? Kok sampean ngos-ngosan ngunu? Ono opo rame-rame kui?" ucap Kyai Faqih yang pandangannya mengarah ke kamar mandi santriwati.
"Wonten engkang kesurupan Bah."
"Astaghfirullahaladhim."
Kami pun menuju ke arah kamar mandi. Para santriwati melonggarkan barisannya memberikan jalan untuk Sang Kyai tercinta.
Nampak beliau menyembuhkan santriwati yang kesurupan tersebut. Aku hanya terduduk di tangga aula seraya menunggu insiden menyeramkan itu segera berlalu.
Otakku tak bisa berfikir, apa yang terjadi dengan santriwati tersebut? kenapa Ia bisa keserupan? Astaghfirullah.
"Kayla!" seru Amel yang lagi-lagi membuat jantungku ingin jatuh saja.
"Sampean itu bisa ndak kalau datang ndak ngagetin?"
"Alafu Ustadzah Kayla," celotehnya.
"Mel, kok aneh ya. Masa di Pesantren ada hantunya?"
"Kamu pernah denger hantu herlina?"
"Aku kira itu hanya fiktif belaka Mel, nggak mungkinlah."
"Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini."
Suasana jadi mistis ketika Amel menceritakan hantu santriwati tersebut.
"Sudah ah, jangan di ceritakan lagi."
"Kenapa? Kamu takut ya!!" pekik Amelia sambil tertawa.
Aku hanya dapat berdzikir saat Amelia mulai menceritakan tentang hantu santriwati yang menjadi buah bibir cerita di setiap pesantren. Cerita hantu yang semua santri pasti tak asing. Hantu yang menurutku sangat jorok sekali. Menghisap darah lewat pembalut wanita. Hi, kurasa hantu itu tak dapat berfikir, kan bisa dia membunuh ayam atau burung juga sama-sama ada darahnya.
"Sudah ah, jangan nakut - nakutin."
"Haha, eh Kayla kapan kira-kira Kakangmu itu sambang lagi?"
"Ehhh" kenapa Amelia tiba-tiba ngomong seperti itu? Jangan-jangan."
"Aku dengar dari kak Hasan. Ada salah satu Ustadz di Al-Fatah. Namanya itu Muhammad Ali Miftahuddin."
Deg..
Eh, itu nama Kang Ali. Apa jangan-jangan Amelia suka dengan Kang Ali? Tapi mereka tak pernah bertemu. Bagaimana bisa? Ah, tidak mungkin.
"Kemarin kak Hasan sempat sowan di Pesantren Abahmu. Terus dia bertemu dengan Ustadz Ali tersebut. Katanya tanyakan sama Ning Kayla. Kenal tidak dengan Ustadz Ali? Katanya Ustadz Ali masih jomblo ya?" ucap Amelia dengan menarik turunkan kedua alisnya.
Deg..
Tak lama kemudian Kyai Faqih keluar dari area kamar mandi santriwati. Nampak orang yang di gotong para santri itu tak asing di mataku.
"Eh, itu Siska," celoteh Amelia.
Ya, aku yakin itu Siska. Jelas sekali di depan mataku. Aku dan Amelia segera mengikuti mereka menuju Shofia 2. Terlihat wajah yang pucat dan lemas yang terbaring di atas tikar milik seorang santri.
Entah itu hukuman atau ujian atau bala' untuk Siska. Karena Ia sangat jahat dengan para santri-santri disini khususnya kamar Shofia 2.
Matahari mulai bersinar. Saatnya para santri untuk nadhoman setelah itu melakukan kegiatan ro'an atau kerja bakti untuk membersihkan halaman dan lingkungan Pesantren. Semua santri membersihkan Pesantren dengan suka cita.
Tiba-tiba Bu Nyai menghampiriku.
"Nduk, tolong bersihkan kamarnya Gus Zein dan Gus Ghoffar nggih," ucap Bu Nyai membuatku terkejut.
"Nggih Bu Nyai."
Deg
Kenapa harus aku? Aku memandang ke arah Amelia.
"Mel, bantuin aku yo?"
"Ada apa?"
"Bu Nyai menyuruhku untuk membersihkan kamarnya Gus Zein dan Gus Ghoffar."
"Aku takut."
"Ayolah Mel, aku sungkan to kalau harus bersihkan sendirian, pliss Mel."
"Ya sudah aku bantu, Ayo!"
Kami pun menuju ke rumah Ndalem. Keadaan sepi di rumah itu, mungkin karena semua orang tak ada di rumah. Aku pun membersihkan kamar Gus Zein, sedangkan, Amelia membersihkan kamar Gus Ghoffar.
Saat ku ingin masuk ke dalam kamar Gus Zein tiba-tiba "Aaaaaaaaaaaa!!"
"Astaghfirulllah." aku menutup mataku, melihat Gus Zein hanya berbalutkan sarung dan kaos oblong.
"Ada apa sampean kesini?!"
"Punten Gus, dalem di perintahkan Umi Asiyah membersihkan kamar Gus."
"Ya sudah sebentar, saya ganti baju dulu."
Aku pun duduk di kursi ruang tamu seraya menunggu Gus Zein selesai mengganti pakaiannya.Tak lama kemudian Gus Zein keluar dari kamarnya. Menuju ke ruang tamu.
"Silahkan! di bersihkan yang bersih," ucapnya lalu pergi.
Aku pun menuju kamar Gus Zein. Untuk membersihkan kamarnya. Ku arahkan sapu ke kolong tempat tidurnya.
"Apa itu kenapa panjang dan empuk?" gumamku melihat suatu benda di bawah kamar Gus Zein. Ku raih benda itu drngan sapu.
Tiba-tiba "Aaaaaaaa...! Tolong..!" teriakku. Amelia lalu menghampiriku.
"Kenapa to Kay?"
"I...ituu ada ular disana."
Amelia lalu mendekat ke benda itu dan menyentuhnya.
"Ih, Mel berani sekali sampean. Hati-hati."
"Kay, lihat to. Ular mainan ini!" ucapnya menunjukkan ular mainan itu di depanku.
"Astaghfirullah."
"Ya sudah ayo tak bantu bersihkan kamarnya Gus Zein." ajak Amelia.
Kami pun membersihkan kamar itu bersama-sama. Setelah selesai kami keluar dari Ndalem.
"Mbak," terdengar suara bukan Pak Kyai, bukan Gus Zein. Seseorang yang ada dalam keluarga Ndalem yaitu Gus Ghoffar.
Tumben sekali beliau terlihat disini. Kata Bu Nyai, Gus Ghoffar kuliah di UIN Jakarta.
Langkah kami terhenti lagi.
"Sampean yang namanya Kayla?" ucap Gus Ghoffar.
"Nggih Gus."
"Sampean yang di tunjuk mendampingi santri lomba banjari nggih?"
"Nggih Gus."
"Nggih mpun." ucapnya lalu masuk ke Ndalem.
"Kakak Adik sama saja."
"Sama apa Kay?"
"Sama-sama ndak jelasnya," ucapku menuju ke Aula bersama Amel. Amel hanya tertawa mendengar ocehanku.
Setelah selesai ro'an para santri mendapat jatah makanan. Amelia kembali ke kamar Asrama untuk makan bersama para santri disana.
Sedangkan, aku harus makan bersama Mbak-mbak Pengurus lainnya.
Kami biasanya makan bersama dengan satu nampan besar yang di makan 4 orang per-nampan. Entah saat ini aku tak bernafsu memakan apapun.
"Dek Kayla, kok ndak makan?" ucap Mbak Ainun yang melihatku menundukkan kepala saja tak ikut makan dengan mereka.
"Nggih Mbak."
"Wonten Masalah?" ucapnya lagi.
"Mboten Mbak."
"Ayo di makan, nanti sampean sakit lo."
"Nggih Mbak."