Baru satu hari disini Allah sudah memberikanku rezeki yang tak derduga dan nikmat yang selalu dalam setiap langkah kakiku.
"Bakso tiga, es kelapa 3 pak" ujar Mas Hasan kepada penjual bakso.
Aku hanya terdiam dan menundukkan pandanganku karena aku sangat malu mengingat pesan abah. 'Ojo njaluk ojo ngemis, lek di paringi di terimo' pesan singkat namun selalu saja terekam dalam memori otakku.
"Ning, kok diam saja?" ucap Mas Hasan membuat lamunanku ambyar seketika.
"Em..ndak apa-apa Mas Hasan," ucapku sesekali melihatnya lalu memalingkan pandanganku lagi.
"Ning Kayla rumahnya dimana?"
"Bojonegoro Mas"
"Oh iya, saya dengar disitu ada Pesantren tradisional ya, yang bangunannya dari kayu, kalau tidak salah namanya Al-Fatah. Benar tidak?" paparnya membuatku terkejut yang disampaikannya adalah Pesantren Al-Fatah milik Abah.
"KH. Ja'far Shodiq" timpanya lagi.
"Uhuk, uhuk.." serasa bakso yang ku makan tak mengalami proses pengeyahan hingga membuatku tersedak di tambah kuah bakso yang agak pedas.
"Ning Kayla kenapa? Sakit?" ujarnya dengan khawatir.
Amelia lalu memberikanku minum agar rasa pedas itu tak menyakiti rongga tenggorokanku.
"Hati-hati Ning kalau makan"
"Nggih, maaf" ucapku masih dengan batuk-batuk.
"Sebentar kak Hasan bilang, KH Ja'far Shodiq, kok seperti nama Abahnya Ning Kayla?" ucap Amelia memandang ke arahku.
"I-iya itu Abah" ucapku dengan lirih membuat Mas Hasan terkejut.
"MasyaaAllah, beliau dulu pernah mengisi acara di Pesantrenku Ning, jadi Ning Kayla putri Kyai Ja'far? salam takdhim ya Ning, maaf kalau saya su'ul adab" timpanya berkali-kali.
"Ndak apa-apa Mas Hasan, dalem yang seharusnya berterimakasih."
Jam menunjukkan pukul 17:00 WIB. Waktunya kami untuk kembali ke Pesantren untuk persiapan sholat maghrib.
Setelah mendengar alunan nada syahdu tersebut, kami memohon diri untuk kembali ke Pesantren. Ku lihat kebahagiaan menyelimuti Amelia dan Mas Hasan. Ya, akhirnya kakak beradik itu harus terpisah lagi.
"Ya sudah, hati-hati ya kalian" ucapnya pada kami sampai pintu asrama putri. Ku lihat pandangan mata itu masih terpampang di depan kelopak mataku. Aku hanya dapat menyunggingkan senyuman untuk Mas Hasan yang sudah sangat baik kepadaku.
"Ning Kayla" ucapnya saat aku ingin melangkah bersama adiknya masuk ke asrama.
"Nggih"
Nampak Mas Hasan tak bisa berkata apa-apa. "Dalem rumiyen nggih" salam takdhim ku padanya seraya menelungkupkan tanganku.
Kami lalu masuk ke dalam meninggalkan Mas Hasan. Dengan segera kami menuju kamar untuk mengambil mukena dan turun lagi ke aula.
"Kalian kemana saja to?" ucap Ririz.
Kami tak memperdulikannya, hanya kata "Ayo sholat, kalau telat bisa di takzir" Aku tak mau saja kena hukuman itu walaupun takzir disini ringan yaitu jika terlambat sholat harus menghafal 1 muka Al-Qur'an.
Dengan segera kami mengambil wudhu dan berkumpul di dalam shaf yang sudah kami tumpuki mukena.
Tak lama kemudian Kyai Faqih datang "Alhamdulillah, hampir saja" ucapku sambil menghela nafas, kami pun mengikuti setiap intruksi sholat Kyai Faqih.
Setelah melaksanakan sholat maghrib. Kyai Faqih bercerita tentang ke istimewaan santri.
"Sampean-sampean iki beruntung ono nang Pesantren iki, najan ninggal wong tuo, sanak saudara. Ora opo-opo wong jenenge mondok. Tirakate di kencengi dungone di akehi. Mengko lak sampean dadi opo-opo. Aku tau ngomong to Mondok nek gak gudiken gak mlebu ilmune. Kenopo? Delengen sampean sedino adus peng piro?"
"Lo ono seng njawab peng siji ono seng gak blas, yo iku nggarai gudiken"
Kalamnya mengundang gelak tawa para santriwati.
"Ngene nduk yo, ora kudu gudiken, seng penting sampean-sampean ki sregep ngaji. Lek bahasane lare-lare kan Ngaji sampek Mati, Mondok sampek Rabi. Dadi sampean-sampean ki ojo mikir rabi sek, mengko lek wayahe, sowan nang ndalem "Bah, dalem pengen rabi" ngunu.
Tawa gelak santriwati semakin mengental di dalam majelis setetes ilmu badha maghrib ini.
"Ora opo-opo. Santri putraku ki yo sek akih nduk, kari milih sampean"
Lagi dan lagi mengundang para santri. Tak terasa adzan Isya' berkumandang. Kyai Faqih mengakhiri ceramahnya dan kami pun melanjutkan ibadah sholat isya'.
Setelah selesai, kami menuju kamar asrama untuk menghafal imrithi lalu di setorkan ke ustadzah masing-masing. Alhamdulillah Ustadzah Ainun menjadi salah satu Ustadzah yang menyimak hafalan malam ini.
Ku lihat Amelia serius sekali membacanya. Walaupun Abah sudah pernah menerangkan bab imrithi padaku dan aku pun sering mengikuti ngaji mbak-mbak santri di Miftahul Huda, alhamdulillah aku bisa menghafalnya dengan lancar.
"Ning, simak ya hafalanku, nanti gantian" ucap Amel dan aku hanya menganggukkan kepalaku.
Ku simak Amel masih sedikit terbata-bata untuk menghafal imrithi, aku pun membantunya. Dengan bersila berhadapan dengannya kami pun saling menyimak.
"Kalamuhum lafdhun mufidun musnadul mufrod# Walkilmatul lafdhul mufidzul mufrod# Wal qoulu lafdhun qod afidza madhlaqoo nirtaqoo," (penggalan nadhom imrithi bab kalam)
"Wal qod afadza mudhlaqoo bukan afidza madhlaqoo" ucapku memperbaikinya.
"hehe, maaf aku coba lagi" ucapnya dan membetulkan bacaannya. Asyik kami menyimak tiba-tiba Ustadzah Rumi salah satu Ustadzah yang akan menyimak hafalan para santri lewat di depan kami.
"Lima menit lagi setoran"
"Na'am ustadzah" ucap kami mengangguk ke pada beliau. Beliau adalah ustadzah yang sangat di takuti.
Karena tangannya tak pernah lepas dari batang rotan. Jika ada yang membuatnya murka. Rotan itu akan melayang pada mereka.
Seperti yang kami lihat beliau ke arah para sntriwati yang bergurau ria dan "Tassss!" bunyi itu pun muncul dari pukulan rotan tersebut.
"Kasihan mereka, Ustadzah Rumi itu sangat keras sekali kepada para santriwati, sebelum aku masuk kesini. Aku sudah di beritahu oleh kakak kelas inkafa disini. Kebetulan dia tetanggaku" papar Amelia.
Andai saja Ustadzah Arumi di pondok abah mungkin entah apa yang akan di perbuat Abah padanya. Abah tak suka kekerasan dalam mendidik para santri.
"Cantik tapi sayang, galak" bisikku pada Amelia. Ia hanya tertawa.
Tiba-tiba dari belakang Ustadzah Arumi sudah berada di samping Amelia. Aku pun memberi kode padanya dengan berbicara tanpa suara kepada Amelia. Tapi tetap saja Ia tertawa tak mendengar kodeku.
"Tassss!" bunyi rotan itu terdengar lagi. Aku yakin itu akan terasa sedikit panas. "Aw, kenapa kamu gak bilang sih?" ucap Amelia.
"Aku sudah kasih kamu kode, tapi kamu tetap tertawa"
Amelia sedikit menyingkap sarungnya, terdapat luka memar merah.
"Apa Kyai tau soal ini?"
"Entahlah Ning" jawabnya masih merasakan panasnya pukulan itu. Tertawa saja sudah membuat rotan itu terbang. Apalagi jika setoran salah? Apakah juga di pukul? Penjara suci yang aneh. Kenapa makhluk seperti itu di jadikan seorang ustadzah di Pesantren ini.
Ya Allah, jangan sampai aku di simak beliau, takut juga jika rotan itu menggambar kakiku seperti apa yang terjadi pada Amelia Aku masuk ke dalam untuk mengambil sebuah minyak unyuk Amelia. Agar memarnya tak panas lagi.
"Aku obatin ya Mel, lain kali jangan ketawa kalau ada Ustadzah Rumi" ucapku seraya mengobati lukanya.
"Syukron Ning, Ustadzah Rumi memang jahat. Tapi kalau sudah bertemu Gus Zein, hilang jahatnya" terangnya.
Aku bingung dengan pernyataaan Amelia. Ada apa dengan Ustadzah Arumi dan Gus Zein? Iya, aku tau Gus Zein memang idaman di Pesantren ini. Tapi kenapa Ustadzah Rumi?
"Ustadzah Rumi itu suka sama Gus Zein" imbuh Amelia.
Ya salam, pantesan kalau ada Gus Zein diam, jaga image. Aku tak heran lagi dengan itu. Waktu lek Ali lewat di Pesantren putri pun juga jadi tontonan dan tak jarang ada yang mencintainya dalam diam. Ya mungkin itu yang di rasakan Ustadzah Arumi.
"Haha" tiba-tiba suara itu keluar dari mulutku.
"Heh, kok ketawa Ning?"
"Dasar makhluk Pesantren dimana-mana sama Mel kalau sudah berhadapan dengan keluarga ndalem, yang jahat jadi baik, yang cerewet jadi pendiam. Apalagi kalau di hatinya ada rasa, hmmm, di baik-baikin jaga image dan munafik" terangku pada Amel.
"Iya Ning, benar itu. Cintanya munafik tuh Ustadzah Rumi"
"Sudah ah, kita setoran yuk jangan ghibah lagi nanti pahala kita diambil sama Ustadzah Rumi, enakan dia lagi" tuturku pada Amel.
Kami beranjak turun ke aula untuk menyetorkan hafalan. Disana ada lima Ustadzah yang sudah menunggu para santri untuk setoran hafalan imrithi.
Ku lihat di nomor satu terdapat Ustadzah Ainun. Aku pun menarik tangan Amelia dan mengajaknya turun di barisan Ustadzah Ainun.
"Eh, kok kesana. Kesini lo masih sedikit antrinya" ucap Ustadzah Arumi.
"Maaf Ustadzah kami ke Ustadzah Ainun saja" jawab Amelia membuat muka seram Ustadzah Arumi terlihat lagi.
"Sampean itu yang baik ke para santri Rum, ojo di weden-wedeni sakno" lontaran kata sindiran terangkai dari bibir Ustadzah Ainun. Membuat Ustadzah Arumi diam seribu bahasa sambil memandang ke arah kami.
Kini giliranku untuk menyetor hafalanku. Dengan kalimah basmallah ku lantunkan nadhoman tersebut dan akhirnya lancar dan benar.
"Alhamdulillah dek Kayla, hafalan sampean bagus. Pasti abah sampun pernah bahas kitab imrithi niki nggih?" kata Ustadzah Ainun bertanya kepadaku dengan ramah dan lembut.
"Alhamdulillah Ustadzah"
"Boleh sampean terangkan nadhom niku nopo maknane?"
" Kalam nahwu : lafadl mufid serta musnad # Kilmah adalah lafadl mufid yang mufrod. Isim, fi'il serta huruf bagiannya # Ketiganya terkenal kalim namanya"
Aku menjelaskan sampai dengan hafalanku tentang bab kalam tersebut.
"MasyaaAllah, yakin sampean setelah ini jadi Pengurus muda teng mriki" ucap beliau lagi.
Pengurus muda? Wah, aku sangat tertarik sekali. Dengan senyuman aku bertekad untuk lebih banyak menghafal lagi.