Aku menangis mendengar kisah yang di sampaikannya. Kesabaran Rasulullah sangat besar. Sedangkan aku sendiri anak yang masih kecil. Hanya dapat membayangkan bagaimana jika aku yang di posisi beliau pasti aku akan marah bahkan emosi. Tapi beliau memperlakukan nenek tua itu dengan baik. Kang Ali masih tersenyum padaku dan aku menyambut senyumannya.
"Ning Kayla, tetep hormati Mbah Uti nggih. InsyaaAllah suatu hari Mbah Uti sadar," ucapnya menyandarkan tangannya di bahuku
Aku pun mengangguk dan tersenyum pada Kang Ali. Ia lalu merogoh saku yang terletak di samping kokonya.
"Niki permen untuk Ning Kayla," ucapnya sambil membukakan permen itu dan memberikannya padaku.
Hari berganti hari, Mataku tersilaukan dengan jendela yang berada di sebelahku. Ya Allah, aku tertidur lagi setelah sholat shubuh. Ku lihat Kang Ali sedang menyapu halaman masih dengan sarung, koko serta pecinya.
Aku melepaskan mukenaku dan segera menuju keluar halaman rumah. Tiba-tiba tangan nenek mendarat di kepalaku. "Adus disik! (mandi dulu)," ujarnya di depanku. Aku pun membelokkan langkahku untuk ke kamar mandi.
Setelah setelah selesai membersihkan tubuhku, aku pun mencari Kang Ali. Ku lihat tak ada Kang Ali di halaman ndalem. Ku susuri pesantren dan langkahku di hentikan lagi dengan Mas Syarif.
"Mau kemana dek?"
"Kang Ali teng pundi (dimana) Mas?"
"Niku teng mriku (itu disana), jangan terlalu dekat dengan abdi ndalem dek, ndak sekufu. " jawab Mas Syarif padaku sambil memberi isyarat tangannya menunjuk di dekat danau. Aku pun berlari dan tak peduli dengan kalamnya menuju ke Kang Ali yang sedang melempar batu di sungai dekat dengan persawahan di sekitar pesantren.
"Kang Ali!"
"Ning Kayla, ada apa to?"
"Kang, , kok ndak ada kerjaan to lempar-lempar kerikil ke sungai," ujarku pada Kang Ali yang asik melempar batu. Ia hanya tersenyum padaku dan mendaratkan jarinya ke bibirku hingga nampak manyun dan Ia pun tertawa.
"Gemes aku sama sampean, cerewete nemen, mendel (Gemas aku sama kamu, cerewetnya itu berlebihan, diam),"
Aku pun diam sesuai intruksinya. Hamparan hijau di depanku menarik perhatianku. Aku sontak menarik tangan Kang Ali.
"Ayo ke sawah!," tanganku menarik tangannya dengan paksa.
"Arep nopo to Ning nang sawah?"
"Ayoo!" ujarku sambil memaksanya dan menarik-narik tangannya dan akhirnya Kang Ali mau mengabulkan permintaanku.
Kami pun bermain, berlari di hamparan sawah hijau yang masih belum di tumbuh menjadi jagung. Satu dua kali sarung Kang Ali terinjak kakiku dan membuatnya memperbaiki sarungnya berkali-kali.
Sampai pada tengah hamparan sawah terdapat batang tebu yang berjajar. Aku mencabut salah satu batang tebu itu. Rasanya manis seperti gula.
"Adduh, Ning jangan! saget marah niki petanine," ucapnya padaku. Tapi aku tak meresponnya.
Tiba-tiba seorang bapak-bapak dari jauh berteriak "Heh! Anak.e sopo kui nyolong (mencuri) tebuku!" ujarnya sambil menghampiri kami.
Kang Ali segera menarikku dan berlari sekencang-kencangnya sampai akhirnya aku terjatuh dan kakiku terkilir.
"Ayo dek, kecekel mengken (ketangkap nanti)," ujar Kang Ali padaku.
Dasar KangAli, apa Ia tak mengerti aku terjatuh dan kakiku terkilir. Aku pun tak sanggup untuk berlari lagi. Salahku juga sih mengambil tebu itu. Akhirnya kami dikejar oleh bapak-bapak mengerikan itu.
Air mataku jatuh menahan kulitku yang tergores duri hingga terluka. Kang Ali yang melihat lukaku pun panik dan menjongkok di hadapanku "ayo naik!" serunya.
Aku pun menaiki punggungnya dan Ia membawaku ke rumah gubuk yang tak jauh dari Pesantren. Aku terduduk di gubuk itu dan dan sarungku pun tersingkap menjelaskan luka yang ada di kakiku.
Kang Ali pun memetik daun, entah daun apa yang Ia petik. Dengan daun itu lukaku kering dan tak sakit lagi.
"Lain kali ampun (jangan) di ulangi nggih Ning," ucapnya padaku dan aku hanya mengangguk.
Aku tahu aku salah dan sepertinya aku mengecewakannya walaupunKang Ali tak menampakkan rasa kecewanya padaku.
"Sampean teng mriki riyen (disini saja dulu) nggih," ucap Kang Ali perlahan meninggalkanku. Entah kemana. Aku menikmati hamparan hijau yang subur itu dengan bersenandung.
Lir-ilir, lir-ilir tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar
Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro
Tiba-tiba Kang Ali datang dan menyambung syi'ir tersebut.
Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane,
Mumpung jembar kalangane
Yo surako… surak iyo…
Ia pun duduk di sampingku sambil membawa sebuah rangkaian rumput dan bunga padi yang dirangkai menjadi mahkota yang indah dan memakaikannya ke ke kepalaku.
"Indah Kang, suwun nggih" ucapku padanya dan Ia hanya tersenyum memandangku.
"Sampean saget nyanyikno, ngerti artine nopo mboten?" ucapnya padaku dan aku hanya menggelengkan kepala, karena memang aku tak mengerti artinya. Ia pun menjelaskannya padaku dan aku menyimaknya.
"Lir-ilir maksude iku tangio, sadaro utawi bangunlah. Tangio teko keterpurukan, kemalasan.
Tandure wis sumilir Maksude niku iman yang ada di diri kita masing-masing mulai menghijau utawi bersemi. Tembang niki bertujuan membangunkan manusia terutama para generasi muda dari tidur panjang/angan-angan semu.
Generasi muda diibaratkan bagai tanaman yang siap dipanen (tandure Wes sumilir), yang sudah saatnya sadar bahwa setiap manusia memiliki tugas yang harus dikerjakan; tugas sebagai hamba Allah dan tugas untuk menjadi manusia yang berguna bukan hanya untuk dirinya sendiri tapi juga orang lain.
Tak ijo royo-royo tegese niku tanaman niku hijau indah utawi iman iku tumbuh subur dalam diri manusia. Niku menggambarkan rahmat Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang demikian besar namun alih-alih mensyukuri rahmat Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang tak terhitung banyaknya, kita sebagai manusia sering kali justru melakukan kerusakan di bumi Allah Subhanahu Wa Ta'ala baik sengaja ataupun tidak, karenanya harus disadarkan untuk tidak membuat kerusakan atau berani melawan pembuat kerusakan, dengan berbagai cara karena mendiamkan pembuat kerusakan sama artinya dengan berbuat kerusakan itu sendiri.
Tak senggo temanten anyar tegese niku lek kita memiliki iman yang kuat niku diibaratkan seperti pengantin baru. Nganten niku indah to? Apik di pandang. Kanjeng Sunan berusaha menyadarkan kaum muda dari mimpi & angan-angan panjang yang membuat kita terlena.
Kehidupan dunia hakikatnya adalah seperti mimpi, yang dapat membuat kita terlupa dan melupakan tugas dan tujuan kita sebagai hamba Allah Subhanahu Wa Ta'ala. 'Bangun dan sadarlah' bahwa ada kehidupan lain yang menanti kita, kehidupan yang baru, kehidupan yang abadi setelah kehidupan di dunia. kehidupan yang baru inilah yang diibaratkan sebagai 'penganten anyar'.
Tiba-tiba belum selesai Kang Ali menjelaskan semua. Abah memanggil kami dari seberang sungai kecil yang kami lewati untuk menuju sawah.
"Kayla, Ali!" teriak Abah yang melihat kami di gubuk.
Kami lalu berlari menghampiri Abah. Abah hanya memanggil kami untuk makan. Aku masih penasaran dengan makna yang terkandung dalam syi'ir Mbah Sunan Kalijaga.
Kami segera masuk ke rumah ndalem. Nampak Mbah Uti, Umi, Pakdhe, Mas El, Mbak Azizah dan Mas Syarif menunggu kami. Mulailah Mbah Uti marah kepadaku lagi.
"Nduwe putu, angel tuturane (punya cucu, sulit diatur). Pak Slamet mau rene (tadi kesini), jarene Kayla nyolong (mencuri) tebune," ucapnya beliau memandang sinis kepadaku.
Selera makanku hilang seketika tapi Aku ingat kisah yang di ceritakan Kang Ali padaku.
"Nduk, cah ayu ampun di ulangi malih nggih. Kayla dosa mundhut sesuatu yang bukan hak Kayla," tutur Umi padaku.
"Kenapa to Mbah Uti selalu ndak suka sama Kayla? Padahal Kayla ndak pernah benci kalih Mbah Uti. Mbak Azizah selalu di sayang. Tapi Kayla mesti salah terus di mata Mbah Uti," Tegasku membuat makan siang hari ini tak nyaman.
"Sampun-sampun mboten usah diributkan malih (sudah-sudah jangan diributkan lagi), monggo di dahar (silahkan di makan). Nduk, ampun merugikan orang lain nggih," tutur Abah padaku.
Ya Allah padahal aku hanya mengambil satu saja, Pak Slamet juga banyak tebunya. Mungkin jika ku hitung dengan jari ratusan tebunya. Pelit banget toh jadi orang. Wong ambil satu saja ndak boleh. Orang pelit kuburannya sempit "uh" gumamku sebal dengan nama Pak Slamet.