Hai, dokter. Ini aku, Fara. Maaf mengejutkan. Dokter pasti heran, aku menulis surat ini. Aku lupa, apa kabar Dokter Adam? Agnes yang memberikan alamat email Dokter kepadaku. Aku rasa Dokter sangat sibuk sekali di sana tentunya.
Semoga Dokter sehat selalu dan aku berharap semuanya akan berjalan dengan lancar dan dimudahkan oleh Tuhan, aamiin.
Semangat yah Dok, jaga kesehatan.
Aku tidak pandai menulis surat ....
Best Regard
Fara
Masih kupandangi layar laptop di hadapanku, aku tak menyangka Fara mengirim email untukku. Aku tahu surat sederhana dan hanya berisi sapaan ... tapi ini sangat berarti untukku. Aku menyimpannya di draft lalu aku print out.
Setelah selesai di print out, kertas putih itu masih aku pegang dan kubaca berulang-ulang, aku gila. Kutempel di depan meja belajarku surat dari Fara, separah inikah aku. Usiaku sudah dua puluh delapan tahun saat ini, dan aku masih merasa seperti anak SMA yang baru pertama kali menerima surat dari gadis pujaan.
Oh Tuhan ... ada apa dengan hidupku.
"Kamu udah bangun Dam."
"Eh.. ibu." Istri Bapak Atmodjo tiba-tiba berdiri di belakangku, aku memanggilnya ibu dan ayah, merekalah yang memintaku agar kami akrab, katanya. Aku bangun pagi sekali hari ini di awal bulan Desember.
"Ayo sarapan dulu, kamu pasti kangen sama menu nasi goreng."
Aku mengikutinya ke ruang makan, di sana Bapak Atmodjo telah duduk dan menanti kami. Kugeser kursi dan kujatuhkan tubuhku masih dengan menggigil. Mereka sudah dua hari kembali dari Italia dan akan tinggal di sini selama satu pekan rencana setelah itu mereka akan ke Austria untuk kembali mengurusi bisnis mereka di sana.
Aku sangat mengagumi mereka berdua mereka terlihat sangat kompak dan logat jawanya terkadang keluar dari spontanitas candaan mereka. Aku banyak belajar bahasa Jerman dari mereka berdua walau terkadang aku sedikit pusing ketika aku pergi ke salah satu supermarket terdekat untuk mencari bahan makanan ketika mereka tak di rumah.
Dan dengan baik hati Ibu Atmodjo mencatat semua bahan makanan dengan bahasa Jerman dan aku tinggal menyodorkan kepada penjaga toko dan kantong belanjaanku telah penuh aku tak perlu pusing.
"Hmmmm.. akhirnya." Aku menyendok nasi goreng dihadapanku, Ibu dan Bapak Atmodjo tersenyum melihat tingkah lakuku.
"Bagaimana Dam, dengan kuliahmu semester ini?"
"Puji Syukur semua baik-baik saja, nilai ujianku bagus dan ada sedikit kendala dengan salah satu profesor, karena ia tak faseh dalam bahasa Inggris terpaksa aku harus menterjemahkan bahasa Jermannya dengan salah seorang teman, untungnya mereka mau membantu."
"Sabar, nanti lambat laun kamu pasti bisa." Ibu Atmodjo memberiku semangat
"Dam, ada rencana ke mana nanti libur natal? Mau kembali ke Indonesia untuk sementara atau liburan di sini aja?"
"Aku rasa, aku menetap di sini saja Bu, seminggu waktu yang cepat dan ada beberapa pratikum yang harus aku dan teman-teman kerjakan bersama beberapa profesor jadi mungkin aku akan sibuk juga liburan natal nanti."
"Dam, kamu harus menikmati juga di sini. Kamu jangan mengurung diri terus di rumah. Aku baru kali ini mendapatkan mahasiswa yang selalu berdiam diri di rumah, kebanyakan yang sudah-sudah mereka melancong menggunakan kesempatan untuk jalan-jalan ke kota-kota di Jerman."
"Bapak, aku tak sempat. Banyak hal yang harus aku kerjakan. Aku ingin cepat menyeleseikan studi aku dan cepat pulang."
"Hmmmm ... ada seseorang yang menunggumu di Indonesia ya?" Ibu Atmodjo dengan spontan mengatakan itu, aku tersedak dan mengambil gelas berisi air putih di depanku, cepat meminumnya. Aku mendelik, mereka berdua menertawakanku.
"Lihat Yah, dia sampai tersedak." Ibu Atmodjo masih menggodaku, aku meringis.
"Yah, aku mengerti." Bapak Atmodjo membuka lembaran koran harian Indonesia yang setiap hari diantar oleh seseorang untuk warga Indonesia dari beberapa mahasiswa Indonesia yang tinggal di sini dan mereka membuat artikel sendiri.
"Teroris lagi" Bapak Atmodjo mendesah.
"Kamu tahu, kami umat muslim ikut prihatin dengan berita ini." Lanjutnya.
Aku masih diam karena dimulutku penuh dengan nasi goreng.
"Sebenarnya mereka kasihan para teroris, mereka tak memahami Islam secara menyeluruh. Jihad ... mereka selalu mengatakan hal itu di setiap aksi mereka. Nabi Muhammad SAW. Pada jamannya bersama para sahabat jihad di medan perang bukan berarti membabi buta membunuh orang-orang tak berdosa. Dan jika mereka ingin berjihad dengan sesungguhnya saat ini dengan berperang melawan hawa napsu. Kamu pasti sangat tidak suka dengan aksi mereka Nak Adam."
"Hmmmm ... aku berpikir sama dengan Ayah, aku telah membaca banyak buku tentang Islam dan aku dulu sangat membenci mereka karena mereka selalu mengatakan bahwa kaum kami tak pantas hidup. Namun aku setelah mengetahui cerita tentang mereka di mana mereka hanya sebagian orang yang salah masuk dalam kelompok dan terkadang mereka mendapatkan doktrin yang salah tentang ajaran mereka, aku sadar betapa sebenarnya mereka sangat kasihan sekali. Bukan begitu Ayah."
"Yah, kamu benar. Aku selalu menjunjung tinggi saling menghormati antar umat beragama. Indonesia negara besar namun banyak oknum yang ingin menghancurkan keutuhan Indonesia. Seandainya saja semua orang di Indonesia memiliki pemikiran yang sama dengan kita, aku yakin tidak ada saling benci dan adu domba."
"Iya." Jawabku sambil menghabiskan nasi goreng di piring, Ibu Atmodjo melihatku ia tersenyum dan menepuk pundakku sambil mengambil bekas piring milikku lalu mencucinya di westafel suara air kran terdengar dengan keras dan suara-suara gaduh piring dan gelas yang beraduan meramaikan suasana hening di ruang makan pagi ini.
Aku berpamitan untuk kembali ke kamar tidur dan membereskan semua perlengkapan milikku karena hari ini aku akan pergi ke sebuah kota pinggiran Jerman bersama beberapa mahasiswa untuk sebuah kunjungan ke rumah sakit dan membantu mereka, ini adalah kegiatan sosial yang selalu mahasiswa lakukan di setiap awal bulan kegiatan rutin kami.
Setelah aku berpamitan dengan ayah dan ibu, Ibu Atmodjo membawakan aku bekal roti berisi meses dan keju beberapa potong dalam kotak plastik dan kopi hangat yang dimasukkan ke dalam botol almunium yang telah dilapisi bahan awet panas. Ibu Atmodjo sangat perhatian dan sayang kepadaku, walau aku bukan anak kandungnya ia selalu menganggapku seperti anaknya sendiri. Aku sering kali dibuat tak enak hati kepadanya, aku bersyukur Tuhan mempertemukan aku dengan keluarga Bapak Atmodjo yang baik hati.
Bersambung..