Ponsel Papa Via bergetar. Tapi dia sedang sibuk menyuapi anak bungsunya makan.
"Pa, ini ada telepon masuk," kata putri sulungnya sambil memberikan ponsel yang semula berada di nakas.
"Oh, iya. Makasih ya, Kak," kata Papa Via. Yang langsung mengangkat telepon tersebut.
"Selamat pagi kembali. Ada apa, Pak Polisi?" tanya Papa Via pada orang di seberang telepon.
Polisi? Pagi-pagi begini? Batin Via.
Papa dari gadis itu memasang wajah khawatir. Yang membuat kedua anaknya dan istrinya saling tatap bergantian. Setelah mengakhiri panggilan yang cukup lama, Papa Via menatap Via.
"Kenapa, Pa?" tanya Via.
"Tadi Papa dapet informasi dari Pak Polisi yang sedari tadi malam menjaga ketat rumah kita dan rumah sakit ini bersama pasukannya dengan sembunyi-sembunyi, menangkap orang bertopeng berpenampilan persis seperti yang datang ke rumah malam itu. Namun, beda orang," jelas Papa Via yang sukses membuat seisi ruangan tak bergeming.
"Sebenernya orang-orang bertopeng itu siapa sih, Pa?!" tanya Via kesal.
"Kamu tau Pak Yudho, ayahnya nak Sophie?" tanya Papa Via hati-hati.
"Iya tau, Pa. Kenapa?" tanya Via. Seolah ada tamparan dahsyat mendarat di pipinya, Via baru sadar kata-kata Sophie padanya kemarin sebelum dia pingsan.
"Jadi orang-orang bertopeng ini adalah sebuah komunitas jahat yang sudah dari dulu menjadi musuh terbesar para Polisi. Mereka tak ada jera nya walaupun beberapa temannya sudah menjadi korban masuk penjara oleh aksi mereka yang merupakan target itu," jelas Papa Via.
"Target? Maksud Papa, kecelakaan yang menimpa Gito udah direncanain sama mereka?" kata Via.
"Iya, Kak. Kamu tau 'kan Pak Yudho itu seorang pengusaha besar ketiga setelah Papa?"
"Iya, Pa. Aku tau."
"Komunitas ini membunuh para pengusaha besar di kota ini," kata Papa Via lagi yang sukses membuat cairan bening terjun dari kelopak mata milik Via.
"Aku takut, Pa," kata Via disela-sela tangis.
"Jangan takut, sayang. Kamu selalu di jaga oleh Allah," kata Mama Via menenangkan.
"Tapi 'kan, Ma--"
"Kak, jangan khawatir. Salah satu Polisi akan mengantar dan menjemputmu kemana pun kamu pergi sampai masalah ini selesai," jelas Papa pada putri sulungnya yang sedang menangis.
"Iya, Pa."
"Dia ada di kursi depan," sambung Papa Via lagi.
"Dia udah datang?" tanya Via terkejut.
"Baru saja sampai," kata Papa Via lalu memperlihatkan layar ponselnya.
Bobby: Permisi, Pak. Saya sudah berada di depan kamar rawat 201.
"Lho, kok, malah bengong," kata Papa Via. "Udah sana berangkat. Nanti telat, lho," sambungnya.
"Ya udah, Pa, Ma, Dek, aku berangkat dulu, ya. Assalamualaikum," kata Via sambil menyalimi tangan orangtuanya.
"Wa'alaikumsalam," jawab mereka serempak.
"Hati-hati ya, Kak," kata Mama Via sambil memberikan uang bekal untuk putrinya.
"Kak, pulangnya bawa makanan ya," kata Gito.
"Makan aja tuh bubur rumah sakit yang hambar!" kata Via sambil menjulurkan lidah yang disambut lemparan bom di Hiroshima. Eh, di sambut lemparan bantal dari Gito.
"Awas aja lho, Kak, kalo gue udah sembuh!" gerang Gito.
"Bodooo," kata Via sambil berjalan keluar kamar rawat adiknya.
Mata Via sibuk mencari. Ya. Via mencari Polisi yang Papa nya maksud tadi. Via berjalan mondar-mandir sekitar kamar adiknya. Namun dia tak menemukan satu pun Polisi.
Akhirnya Via memutuskan untuk kembali ke kamar rawat adiknya untuk menanyakan dimana kah Polisi yang akan mengantar jemputnya itu. Saat Via berbalik, dan... Duk!! Tubuhnya yang mungil berhasil bertabrakan dengan sebuah tubuh yang tegap. Tentu saja Via kehilangan keseimbangan. Tapi dengan sigap, tangan seseorang menahan tubuh Via yang hendak terjatuh.
"Eh, sorry-sorry," kata Via sambil mengadahkan kepalanya untuk melihat siapa yang tadi Via tabrak. Tenggorokannya tiba-tiba mengering. Via tak bisa bicara.
Lelaki itu tersenyum padanya.
"Bobby? Lo ngapain di sini?" jawab Via masih terkejut.
"Gue yang bakal jagain lo, Vi," kata Bobby. Yang membuat Via seketika ingin terbahak.
"Apaan sih lo?! Emang lo pikir lo siapa bisa jagain gue?" kata Via disela-sela tawanya.
Bobby tersenyum.
Ya ampun. Senyum itu! Kenapa gue harus hidup diantara manusia-manusia indah sih? Haha sadar Vi! Batin Via gereget sendiri.
"Gue polisi, Vi," kata Bobby berbisik di telinga Via yang membuatnya tersadar dari lamunannya.
"Jangan bercanda deh lo," kata Via masih belum percaya.
"Gue nggak bercanda," kata Bobby datar sambil memperlihatkan sebuah identitas kepolisian yang ada dibalik jaket hitamnya.
"Tapi 'kan lo baru 20 tahun?" tanya Via menautkan kedua alisnya.
"Gue dapet beasiswa sama akselerasi. Lo lupa? Setelah gue keluar dari sekolah asrama 'kan gue sekolah kepolisian," kata Bobby mengingatkan Via.
"Oh iya iya gue inget. Sambil jalan, yuk," ajak Via.
Bobby pun tertawa. "Lagi kayak gini masih bisa ngajakin gue jalan?" katanya yang membuat Via bingung.
Lha? Maksud gue bukan 'jalan' yang itu kali! Pede banget sih ini orang. Batin Via terkekeh.
"Sorry ya, gue tiba-tiba ngilang nggak ada kabar," kata Bobby tiba-tiba.
Deg!
"Vi?" kata Bobby memastikan bahwa jiwa Via masih pada tempatnya.
"Eh iya? Santai aja, lagian gue udah maafin lo kok," jawab Via berusaha se-santai mungkin.
"Bohong!" jawab Bobby cepat. Sampai membuat Via terkejut.
"Gue nggak bohong kok," kata Via sambil memasuki taksi. Yang selanjutnya diikuti Bobby.
"Oh, ya udah kalo gitu," kata Bobby datar.
Jujur saja, Bobby ini mungkin termasuk kategori wajah tingkat atas. Alias tampan. Dengan pakaiannya yang cool itu, semakin membuat mereka jadi pusat perhatian. Eh, sorry. Bobby yang jadi pusat perhatian. Bukan Via. Satu sekolah rasanya seperti kedatangan artis papan atas bersama pembantunya. Seolah sadar banyak yang memperhatikannya, Bobby malah membercandai Via.
"Kapan tinggi non?" ledek Bobby dengan wajah jahilnya.
"Ih! Lo tuh ya, mentang-mentang tinggi ngehina kaum pendek kayak gue mulu!" jawab Via sebal.
"Nggak usah manyun-manyun gitu, sok imut!" ledek Bobby lagi yang membuat Via makin ingin mengkuliti cowok itu. "Tapi emang imut sih," sambung Bobby lalu mencubit pipi Via yang chubby.
Via merasakan pipinya memanas. "Ih! Apaan sih!" katanya salting. Yang di sambut tatapan jijik dari semua orang.
Ada ya polisi modelan kayak gini haha. Batin Via.
Mata Via bertemu dengan sepasang mata yang menyebalkan.
"Ini tuh sekolah, bukan mall! Kalo mau pacaran sana ke mall aja!" kata Aldo sewot.
"Lha? Lo kenapa sih, Kak? Kok sewot gitu haha," kata Via lalu tertawa yang diikuti tawa Bobby. "Lagian mall kan tempat belanja bukan tempat pacaran."
Aldo pun tiba-tiba pergi meninggalkan mereka dengan sejuta pertanyaan di benak Via.
***
Semua berjalan normal seperti biasa. Pelajaran berlangsung membosankan. Tiba-tiba saja ada keramaian di luar yang membuat guru yang sedang mengajar pun berhenti melakukan aktifitasnya lalu berjalan keluar. Yang diikuti Via dan teman-teman. Si kepo Sophie berlari melesat paling pertama. Di tengah riuhnya suasana, dia memanggil Via.
"Alivia!" teriak Sophie. Suaranya masih tertimbun jutaan suara lainnya yang membuat Via tak terlalu jelas mendengarnya.
"Apa, Phie?" teriak Via juga.
"Itu orang yang tadi bareng sama lo lagi ngeborgol orang!" teriak Sophie lagi.
"Nggak usah bercanda deh, nggak lucu!" teriak Via yang mulai was-was.
Tiba-tiba Via merasakan tangannya di tarik oleh seseorang yang ternyata adalah Sophie. Mereka pun menyelip-nyelip di antara ramainya kerumunan manusia-manusia kepo. Saat Via sudah berada di barisan paling depan kerumunan, Via pun menghampiri Bobby.
"Lo ngapain?!" bentak Via tertahan.
"Ini salah satu anggota dari komunitas itu yang nyamar jadi penjaga kantin!" kata Bobby yang langsung membuat orang yang di maksud makin meronta ingin melarikan diri.
"Ada apa ini?" tanya suara yang tidak asing. Ya, dia kepala sekolah di sekolah Via.
"Maaf, Pak, saya membuat keributan di sini. Saya sedang menangkap mata-mata yang sedang melakukan aksinya," katanya sambil memperlihatkan identitas kepolisiannya.
"Baiklah. Saya serahkan urusan ini pada anda," kata Bapak kepala sekolah.
Bobby pun segera menghubungi teman-temannya yang beberapa menit kemudian datang memakai seragam lengkap. Entah apa yang di bicarakan antara Bobby serta teman-temannya dengan Bapak kepala sekolah, mereka pun pergi membawa penjahat itu ke dalam mobilnya.
Via dan seluruh manusia kepo pun kembali ke kelas masing-masing. Dan Bobby seperti tadi, patroli di sekitar kelas Via. Saat Via dan teman-temannya memasuki kelas, dengan sorak sorai mereka bergembira karena guru fisika yang tadi sedang mengajar pergi entah kemana. Via yang sedang asik berbicara dengan manusia-manusia kepo di kelas, ujung matanya menangkap sesosok bayangan yang dia rasakan memperhatikannya sedari tadi.