Chereads / Between Love and Time / Chapter 12 - 11

Chapter 12 - 11

Via menoleh pada sosok bayangan itu. Tak ada siapa pun yang sedang memperhatikannya. Semua orang sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Saat sedang asyik mengobrol, ponsel yang Via simpan di saku rok sekolahnya pun bergetar.

"Halo?" kata Via pada orang diseberang telepon.

"Berangkat ke sekolah sama siapa? Ganteng tuh!" kata orang jutek di seberang telepon. Siapa lagi kalau bukan Dio.

"Oh itu. Dia polisi." kata Via. Seolah baru sadar, Via pun melanjutkan. "Oh iya! Dia itu Bobby sahabat aku dulu, inget nggak dia kan kakak senior di asrama kita dulu juga, lho?! Terus, ya, dia itu dapet beasiswa! Loncat kelas gitu saking pinternya! Jadi bisa langsung jadi polisi gitu, hebat, ya!" jelas Via antusias.

"Ooohh, polisi, ya. Seneng dianterin sama polisi ganteng?"

"Biasa aja sih."

"Pasti seneng, lha! Namanya juga dianterin sama mantan gebetan masa nggak seneng," kata Dio menyindir. Masih dengan nada yang sama.

"Ciee, kamu cemburu, ya?" goda Via.

"Gimana nggak cemburu doi nya dianter jemput sama mantan gebetannya?!"

"Hahaha kamu nggak usah cemburu, 'kan hati aku cuma buat kamu," kata Via mencoba gombal.

Tut... Tut... Tut...

Yah, malah dimatiin. Batin Via sambil terkekeh.

Bel pulang pun berbunyi. Dengan terburu-buru Via membereskan barang-barangnya lalu berjalan cepat keluar kelas untuk menghampiri Bobby.

Disisi lain seorang laki-laki berwajah manis sedang gelisah.

"Cepet kasihin mumpung dia masih di deket pintu!" seru temannya itu sambil mendorong tubuh lelaki berwajah manis yang sedang memegang sebuah botol minum milik gadis yang menarik untuknya.

"Iya iya!" jawab lelaki itu lalu berjalan menghampiri seorang gadis yang sedang berdiri diambang pintu.

Tiba-tiba satu suara asing meneriakkan nama Via.

"Alivia!" teriak suara itu.

"Eh, ada apa?" tanya Via bingung.

"Ini botol minum lo ketinggalan di meja," kata cowok itu sambil terus memperhatikan Via.

"Oh iya! Thanks ya!" kata Via sambil merebut botolnya dari tangan cowok itu lalu berjalan cepat keluar kelas.

"Yuk, pulang!" kata Via pada Bobby saat Via sudah berada di hadapannya.

"Yuk!" jawab Bobby sambil merangkul pundak Via yang tentu saja langsung menjadi pusat perhatian.

***

"Emangnya mau bawa Via kemana?" terdengar suara Dedi yang sepertinya sedang ngobrol entah dengan siapa.

"Ke rumah aku, Om. Katanya Bunda pingin kenalan."

Via dan Bobby pun masuk ke kamar rawat Gito yang langsung membuat semua yang ada di dalam melihat ke arah mereka berdua.

Lho? Ada Dio? Batin Via terkejut.

Awas aja kalo lo ngancurin rencana gue! Batin Dio setelah melihat Bobby.

"Eh, Kakak udah pulang?" kata Mama Via yang sedang duduk di samping ranjang putra bungsunya.

"Iya, Ma," jawab Via lalu menyalimi tangan lembut wanita paruh baya penuh jasa itu. Bobby pun melakukan hal yang sama.

"Vi, ikut aku, yuk," ajak Dio yang langsung di sambut anggukan orangtua Via.

"Eh, bentar dong! Ganti baju dulu kali," kata Via lalu pergi mengambil baju dan berjalan menuju kamar mandi.

Tak butuh waktu lama Via pun telah siap dengan kaos polos, celana jeans dan sepasang sepatu kets kesayangannya. Via dan Dio pun berangkat menaiki motor bebek milik Dio.

Dalam perjalanan Via masih merasa was-was. Takut suatu saat dijegat oleh salah satu anggota komunitas bertopeng itu. Mata Via tak bisa berhenti mengawasi sekitar.

"Kamu kenapa? Kamu takut, ya?" kata Dio yang membuat Via terkejut.

"Iya," jawab Via masih dengan mata yang menyapu sekitar.

Tiba-tiba suatu gerakan membuat Via sangat terkejut. Dio menarik tangan Via dan melingkarkan di perutnya. Via tak bisa berkutik. Via merasakan jantungnya berdegup tak konstan. Yang langsung di sambut oleh semburat merah muda di pipi chubby-nya yang putih.

"Kamu nggak usah takut. Aku nggak akan ngebiarin orang yang aku sayang disakitin orang lain. Siapa pun itu," kata Dio yang langsung membuat jantung Via rasanya ingin melompat dari tempatnya.

"I-Iya. Makasih udah sayang sama aku," jawab Via sambil menyandarkan kepalanya di punggung Dio.

Mata Via terpejam. Entah untuk berapa lama. Yang jelas, saat ini Via ingin menikmati sandaran pada punggung tegap Dio ini. Lama Via terpejam, tiba-tiba sebuah suara membuat Via terkejut.

"Masih mau tidur?" tanya Dio sambil mencolek pipi Via tanpa membuat Via terbangun dengan susah payah.

"Eh!" seru Via terkejut. "Nggak, kok," lanjut Via sambil memperhatikan sekitar.

"Kita udah nyampe, lho. Dari tadi," kata Dio polos.

"Lha? Kenapa nggak bilang kalo udah nyampe dari tadi?" kata Via malu.

"Hehe abisnya aku nggak mau rubah posisi ini," kata Dio lalu tersenyum jahil sambil menaik turunkan pundaknya yang membuat punggung yang sedang disandari Via sedari tadi bergerak yang membuat gadis itu tersadar. Via pun langsung turun dari motor.

"Ayo! Katanya Bunda kamu mau kenalan sama aku?" kata Via menyembunyikan malunya.

"Cie, semangat banget mau ketemu calon mertua," ledek Dio yang Via sambut dengan pukulan kecil di lengannya.

"Aduh! Galak amat sih," kata Dio lalu menggaet lengan Via dan membawanya menuju pintu rumahnya.

"Assalamualaikum," kata Dio sambil mengetuk pintu rumah yang cukup luas itu. Banyak berbagai macam burung dalam sangkar berjajar rapi di langit-langit teras rumahnya.

"Wa'alaikumsalam," suara seorang wanita yang lalu membuka pintu itu dari dalam.

Ceklek.

Ya ampun! Jantung nggak bisa diajak kompromi banget sih! Batin Via.

"Eh, Abang! Oh ini, ya, pacar baru Abang?" kata Bunda Dio dengan senyuman tulus diwajahnya. "Lho, kok, malah bengong, masuk, yuk, cantik," sambungnya lalu mengajak Via masuk ke rumahnya.

"I-iya, Tan... Te?" jawab Via bingung harus memanggilnya dengan embel-embel apa.

"Panggil Bunda aja, sayang," kata Bunda lembut.

"Oke, Bunda," jawab Via yang di sambut dengan cengiran Dio yang memperhatikan wajah Via sedari tadi.

Mereka sampai di ruang tamu lalu Via pun di persilahkan duduk. Sedangkan Bunda pergi entah kemana.

Kayaknya Bunda nyiapin minum deh haha. Pede banget ya gue? Maklum. Haus, haha. Batin Via.

Dan benar saja, Bunda datang dengan membawa nampan yang berisi minuman serta camilan.

"Dimakan, dong. Buatan Bunda, lho," Kata Bunda sambil menunjuk dengan dagunya ke arah brownies yang wangi itu.

"Iya, Bunda," jawab Via.

"Dari tadi iya-iya terus nih, oh iya belum kenalan, ya, sama Bunda?" kata Bunda.

"Hehe belum, Bun,"

"Namanya siapa?" tanya Bunda.

"Alivia Anna, Bun," jawab Via.

"Kelas berapa?" tanya Bunda lagi.

"Sama kayak Dio, Bun," jawab Via.

"Lho? Bunda kira kamu masih SMP," kata Bunda yang langsung disambut tawa Dio.

Via pun menatap Dio dengan wajah sebal.

"Hehe maafin Bunda, ya, Aliv. Bunda kira kamu masih SMP. Soalnya muka kamu baby face sih. Badannya juga mungil," kata Bunda.

Badan gue mungil? Pendek maksudnya? Untung camer. Batin Via.

"Hehe iya, Bun. Emang banyak yang bilang gitu," jawab Via. Dan percakapan berlangsung hangat dan cukup lama.

Tak terasa kini jam sudah menunjukkan pukul lima sore, Via pun segera pamit untuk kembali ke rumah sakit. Tetapi Bunda menahannya. Bunda pergi ke dapur lalu kembali dengan satu kantung plastik di tangannya.

"Nih, Aliv, buat adik kamu yang lagi sakit. Semoga cepet sembuh, ya. Maaf Bunda nggak bisa ke sana," kata Bunda sambil memberikan kantung plastik itu pada Via. Yang sepertinya isinya brownies.

"Duh, Bunda, jadi ngerepotin," kata Via sambil menerima kentung plastik itu.

"Ngerepotin-ngerepotin tetep di ambil," ledek Dio.

"Hahaha 'kan mubazir, ya, Bun," jawab Via.

"Tau nih kamu, Bang. Bilang aja takut keabisan brownies nya," kata Bunda yang membuat mereka tertawa.

"Ya udah, Bun. Aku pamit, ya. Makasih banyak buat oleh-olehnya," kata Via sambil menyalimi tangannya.

"Iya sama-sama, sayang. Jangan lupa salam dari Bunda ya, buat keluarga kamu," kata Bunda.

"Siap, Bunda," jawab Via.

"Ya udah, hati-hati, ya. Awas lho, Bang, kalo ngebut-ngebut! Bawa anak orang, lho," kata Bunda.

"Siap, Bundaku yang cantik," jawab Dio sambil menyalimi tangan wanita yang melahirkannya itu.

Mereka pun pergi meninggalkan rumah Dio dan menuju rumah sakit. Karena terlalu asik mengobrol dengan Bunda, akhirnya saat sang matahari telah tenggelam mereka masih dalam perjalanan. Dingin. Ah, apa ini? Biasanya Via tak pernah merasa kedinginan seperti ini? Apa mungkin udaranya memang sedang seperti ini? Tiba-tiba Dio memberhentikan laju motornya lalu dia membuka jaket yang dia pakai. Tanpa meminta persetujuan dari Via, dia memakaikan jaketnya yang besar pada tubuh Via yang mungil. Tentu saja longgar.

"Gede banget sih jaketnya, aku jadi kayak orang-orangan sawah," kata Via mengerucutkan bibirnya sambil merentangkan kedua tangan lalu menaik turunkannya. Dio tertawa.

Ganteng. Batin Via.

"Terus kamu nggak pake jaket, dong?" kata Via baru sadar melihat Dio hanya menggunakan kaos hitam polos.

"Ya, emang kenapa?" tanya Dio.

"Dingin, lho."

"Nggak pa-pa aku kedinginan, yang penting bidadari aku nggak kedinginan," kata Dio yang sukses membuat jantung Via berdegup kencang.

"Huuu! Gombal aja terus!" kata Via lalu mencubit pinggang Dio gemas.

"Ih! Sakit tau!" rengek Dio.

"Bodo! Cepetan berangkat!"

"Iya-iya!"

Mereka pun melanjutkan perjalanan. Bulan pun menjadi saksi betapa bahagianya insan itu.