Setelah melewati perjalanan yang cukup lama, mereka pun sampai di parkiran rumah sakit. Lama? Tentu saja. Bagaimana tidak? Dio saja membawa motornya hanya dengan kecepatan sekitar 10 km/jam, kalian bisa bayangkan betapa lamanya mereka dijalan. Dasar orang pacaran! Bahkan jika orang berlari pun dengan kecepatan itu Dio tidak akan bisa menyusulnya. Ah, modusnya Dio.
"Yuk, masuk!" ajak Dio.
"Yuk!" jawab Via. Tiba-tiba seseorang menepuk salah satu pundak Via. Dia pun menoleh. "Lho? Kak Fikri? Ngapain di sini?" tanya Via bingung.
"Mau jenguk adik kamu, katanya di rawat di sini, ya?" kata Fikri.
"Oh iya, Kak."
"Ya udah bareng, yuk, ke ruangannya, aku belum tau di ruangan mana adik kamu di rawat," kata Fikri seolah tidak menyadari ada Dio di sana. Dio pun berdeham.
"Ehem! Ada gue, lho, di sini," kata Dio bete.
"Eh? Lo siapa? Sorry, gue nggak liat," dan nggak mau liat. Lanjut Fikri dalam hati.
"Kenalin, gue Dio. Pacarnya Alivia," kata Dio sambil menekankan suaranya pada kata "pacar" dan mengulurkan sebelah tangannya dengan malas.
"Oh gitu. Gue Fikri," kata Fikri sambil membalas uluran tangan Dio.
"Ya udah, yuk, masuk," kata Via berusaha mencairkan suasana melihat dua lelaki dihadapannya itu terlihat sama-sama bete.
"Yuk!" jawab Fikri dan Dio bersamaan. Mata mereka langsung membulat dan saling tatap satu sama lain. Yang membuat Via terkekeh.
"Jangan tatap-tatapan terus, nanti dari mata turun ke hati, lho," kata Via jahil yang sepertinya membuat mereka makin bete.
Tak memakan waktu lama mereka pun sampai di ruangan Gito dirawat.
"Assalamualaikum," kata Via sambil membuka pintu.
"Wa'alaikumsalam. Lho? Bawa rombongan nih?" tanya Mama Via jahil.
"Hehehe iya nih, Ma."
"Halo, Tante," kata Fikri ramah sambil menyalimi tangan Mama Via.
"Wah, siapa lagi ini, Kak?" tanya Mama Via terlihat sedikit antusias.
Karena Kak Fikri ganteng kayanya nih antusias banget. Batin Via.
"Itu Kak Fikri, Ma. kakak kelas aku," jawab Via.
"Lho? Tadi juga ada yang ke sini jengukin Gito katanya sekalian nyari kamu, tapi kamunya nggak ada. Kakak kelas kamu yang waktu itu, lho," kata Mama Via yang berusaha mengingat namanya.
"Siapa, Ma?" tanya Via walaupun dia sudah tahu jawabannya.
"Ehm... Oh iya! Nak Aldo!" kata Mama Via baru mengingatnya.
"Oh, Kak Aldo," jawab Via sekenanya.
"Iya. Dia nitipin ini buat kamu," kata Mama Via sambil memberikan sebuah kantung plastik putih pada putri sulungnya itu.
Gila! Ni orang tau dari mana gue suka banget sama greentea? Mantep nih buat begadang. Batin Via setelah melihat apa yang ada di dalam kantung plastik pemberian Aldo.
"Apaan tuh, Kak?" tanya Gito ingin tahu.
"Kepo lo!" jawab Via.
"Ah paling juga makanan rasa sabun itu 'kan?" kata Gito. Ya begitulah dia menyebut greentea setelah dia mencoba minuman rasa greentea milik Via.
"Enak aja! Nggak kayak sabun, kok!" jawab Via sebal.
"Eh, udah-udah. Nggak malu itu diliatin sama Dio dan Fikri?" kata Mama Via. Yang menyadarkan Via baru bahwa masih ada dua cowok itu di sana.
"Oh iya, ya. Sorry-sorry," kata Via sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Oh iya, ini jaketnya. Makasih, ya," sambungnya sambil melepas jaket Dio dan mengembalikannya.
"Iya, sama-sama," jawab Dio. "Oh iya, Tante, ada salam dari Bunda. Dan ini ada titipan juga dari Bunda," sambungnya sambil memberikan kantung plastik yang sedari tadi di pegangnya.
"Bilangin ke Bunda, wa'alaikumsalam. Dan makasih banyak gitu, ya," kata Mama Via sambil menyambut kantung plastik itu.
"Iya, Tante nanti aku sampein. Oh iya, aku pamit pulang, ya, Tante," kata Dio.
"Kok, buru-buru?" tanya Mama Via.
"Hehe kasian Bunda nggak ada yang jagain, Tan," jawab Dio bohong. Via tahu sebenarnya Bunda di rumah di temani Dino adiknya Dio.
"Oh, ya udah kalo gitu. Hati-hati, ya, nak Dio," kata Mama Via saat Dio menyalimi tangannya.
"Oke siap, Tante. Assalamualaikum," kata Dio lalu pergi meninggalkan kamar rawat Gito yang sebelumnya mata dia bertemu dengan mata Via. Ada suatu kilatan aneh dimatanya.
"Tante, ini buat Tante sama Gito. Maaf cuma sedikit," kata Fikri sambil memberikan sekantung plastik yang Via tak tahu apa isinya. Tapi kantung plastik itu terlihat penuh.
"Terimakasih banyak, lho, Nak Fikri. Maaf ngerepotin," jawab Iis sungkan.
"Oh, nggak repot, kok, Tante," kata Fikri dengan senyum manis serta lesung pipitnya yang dalam itu.
"Wuih! Kak Fikri mirip Afgan, ya!" kata Gito antusias. "Malah gantengan Kakak!" sambungnya lagi.
"Haha Gito minus deh kayaknya," ledek Fikri.
"Yeh, Kakak di puji malah gitu. Beda banget sama Kak Aliv! Dia mah malah suka muji-muji dirinya sendiri saking pengennya di puji sama aku!" kata Gito.
"Untung lo lagi sakit! Awas aja kalo lo udah sembuh! Gue cekek longgar tau rasa!" jawab Via sebal.
"Cekek longgar? Nggak kerasa, lha, Kak!" kata Gito yang di sambut tawa olehnya, Fikri dan Mama Via.
"Oh iya, ya," Via pun ikut tertawa.
Pembicaraan berlangsung lama, lalu Fikri pun pamit pulang karena sudah malam katanya.
Setelah tinggal mereka bertiga di ruang rawat, mereka pun berpesta makanan. Karena hari ini camilan hingga memenuhi kulkas dan berserakan di sekitar nakas. Ah, biasanya Papa Via akan atraksi dengan makanan-makanan ini. Tapi sayangnya Ayah dari dua anak itu sedang mengurusi pekerjaannya yang sempat tertunda oleh insiden waktu itu. Tak tinggal diam dengan insiden itu, Papa Via memanggil pengacaranya yang profesional dan jujur itu untuk menangani masalah ini ditemani bodyguard yang dia sewakan agar keselamatannya terjaga.
Dr... Dr... Dr...
Ponsel Via bergetar lama tanda adanya panggilan yang masuk.
"Halo?" kata Via dengan mulut penuh camilan.
"Oh, jadi kamu deket sama banyak Kakak kelas laki-laki, ya?" kata Dio dari seberang telepon.
"Cuma sebatas Kakak kelas, kok," jawab Via meyakinkan.
"Halah. Masa sih?" sanggah Dio.
"Cie, cemburu cie," kata Via berusaha meredam amarahnya.
"Nggak lucu!" kata Dio ketus.
"Iya deh, maaf maaf. Tapi aku sama mereka cuma sebatas adik sama kakak kelas doang, kok, suer," kata Via sambil mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya.
Gito yang melihatnya hanya menatapnya dan berbicara tanpa suara "are you crazy?"
Bodoh! Mana bisa liat, ya! Batin Via.
"Yakin? Nanti lama-lama jadi cinta, lho, kayak di novel-novel gitu," kata Dio.
"Kalo ada kamu yang sayang sama aku, kenapa harus cari yang lain? Satu hati hanya boleh mencintai satu hati 'kan?" jawab Via.
"..." tak ada jawaban dari seberang sana.
"Loha? Masih ada orang?" kata Via lagi, memastikan.
"..."
Tut... Tut... Tut...
Lho? Kok dimatiin? Emangnya gue salah ngomong, ya? Batin Via mulai kebingungan.
***
Hari ini adalah surganya dunia bagi seluruh siswa di sekolah Via. Pasalnya, para guru sedang mengadakan rapat. Kelas X.3 yang sudah mulai akrab ini menjadi riuh dan terasa hangat. Tapi hanya satu yang membuat Via bingung, kelas ini terbagi menjadi dua golongan. Ada golongan kiri, Via termasuk didalamnya. Dan golongan kanan. Walaupun kesannya seperti berkelompok, namun kami tetap saling bertegur sapa.
Ada satu orang yang selalu menjadi bahan ledekan oleh Via dan teman-teman. Yaitu salah satu orang yang duduk tak jauh dari tempat duduk Via yang sedang tertidur pulas dengan mulut yang sedikit terbuka. Yang tentu saja membuat mereka terbahak melihatnya. Padahal suasana kelas sedang berisik.
"Vi, Kakak lo tuh lagi tidur!" ledek Virsya.
"Lo tuh, ya, suka nggak ngakuin Kakak sendiri. Durhaka lo!" jawab Via menahan tawa.
"Beuh, mantab djiwak! Lagi tidur aja cetar membahana badai!" ledek Mila dengan ekspresi yang nggak banget.
"Muke gile! Harus diabadikan tuh!" kata Vina yang hobinya selfie itu.
"Cepetan-cepetan mumpung masih pules!" tambah Via.
"Kalem napa!" jawab Vina menyiapkan kamera ponselnya.
Dan... Cekrek!
"Mampus!" kata Via terkejut. Yang tadinya ingin memfoto diam-diam pun jadi ketahuan. Karena kamera ponsel Vina mengeluarkan suara yang cukup keras. Dan tersangka pun malah bertingkah seolah tak terjadi apa-apa.
"Du du du du du," Vina bersenandung ria yang membuat teman satu kelasnya terbahak melihat wajahnya yang seolah tanpa dosa itu.