Chereads / Between Love and Time / Chapter 15 - 14

Chapter 15 - 14

"Haha, anjir! Bisa aja lo bercandanya, Phie," kata Via dengan tawa yang dipaksakan.

Positif thinking, Via. Batinnya.

"Siapa yang bercanda sih, Vi?" kata Sophie. "Masa' bercanda pake berita kayak ginian, 'kan nggak lucu," sambungnya.

Deg!

Benar juga. Seolah tersadar bahwa Via melamun, Sophie melanjutkan dialognya.

"Gue ke rumah lo sekarang, ya? Gue tau di rumah sakit mana Kak Aldo sama keluarganya di bawa warga," kata Sophie. Belum sempat Via menjawab telepon sudah terputus.

***

Di dalam mobil yang Sophie bawa, Via masih shock. Doa yang tak berhenti dia panjatkan pun terhenti ketika mereka sampai di depan sebuah rumah sakit. Seolah tertusuk pisau tepat di jantungnya, Via tercekat melihat bagaimana parahnya mobil yang di derek menggunakan mobil derek itu. Wajah Via pun berpaling ke arah Sophie. Meminta penjelasan.

"Iya, Vi. Itu mobil Kak Aldo sama keluarganya," kata Sophie pelan.

Via menutup mulutnya dengan sebelah tangan. Seketika pandangannya sedikit demi sedikit mulai buram. Cairan memenuhi matanya yang sepertinya dengan satu kedipan saja bisa menumpahkan bendungan itu. Pikiran buruk mulai mengantri masuk ke dalam otak Via. Via pun turun dari mobil dan menghampiri mobil Aldo.

Kondisi mobil yang ditumpangi oleh Kak Aldo dan keluarganya hancur. Bagian kap benar-benar tak berbentuk lagi. Kaca depan pecah. Saking tidak berbentuknya, kursi depan saja terjepit oleh bagian kap mobil yang terdorong mundur. Darah berserakan. Suster berlalu lalang dengan tergesa-gesa.

Saat Via mulai dekat dengan mobil tersebut. Ya ampun! Sang pengemudi terjepit diantara kap yang terdorong paksa secara mundur dan kursi yang dia duduki. Begitu pun wanita yang duduk di kursi samping pengemudi. Seseorang mengelus dengan lembut pundak Via yang masih terguncang. Ya, dia Sophie.

Via menghentikan seorang suster yang melintas tepat di hadapannya.

"Sus, korban ada yang selamat nggak?" tanya Via disela-sela tangisnya.

"Sampai sekarang belum di ketahui dengan jelas. Dua orang laki-laki sedang berada di ruang UGD," kata suster itu lalu pergi dari hadapan Via dan Sophie.

Dua orang laki-laki? Emangnya Kak Aldo punya saudara kandung, ya? Batin Via bingung.

Emang Kak Aldo punya saudara, ya? Batin Sophie tak kalah bingung.

Via dan Sophie mulai berjalan dengan tergesa-gesa menuju ruang UGD. Terlihat dari jauh, seorang wanita berkisar 50 tahunan sedang duduk di kursi depan ruang UGD dengan wajah yang dia benamkan di kedua telapak tangannya. Dia menangis dengan hebat. Via pun menghampiri wanita itu diikuti Sophie.

"Bu? Ibu kenal dengan keluarga korban?" tanya Via hati-hati.

"Bukan kenal lagi, Neng. Saya teh yang ngasuh salah satu anaknya dari kecil," kata wanita itu lembut dengan logat sunda yang kental.

Via pun bingung. Wanita paruh baya itu menatapnya lekat-lekat.

"Neng siapa? Kenal dengan Nak Aldo?" tanya wanita itu lagi.

"Kenal, Bu. Saya adik kelas di sekolahnya," jawab Via lembut.

"Neng tau adik kelas Nak Aldo yang bernama Al.. An.. Aduh Bibi lupa," kata wanita yang menyebut dirinya "Bibi" masih mencoba mengingat.

"Alivia Anna?" tanya Via sekenanya.

"Nah iya, Neng. Neng kenal?"

"Saya Alivia Anna, Bi."

"Foto Neng sama keluarga Neng ada di tempat yang janggal menurut Bibi."

"Maksud Bibi, janggal gimana?"

"Bibi nggak bisa kasih tahu, Neng. Tapi sebaiknya Neng minta pihak yang berwajib buat nanganinnya, Neng."

Via bingung setengah mati.

"Ini bukan hal yang main-main, Neng."

Disela kebingungannya seorang dokter membuka pintu ruang UGD, yang tentunya langsung membuat mereka berdiri lalu menghampirinya.

"Gimana, Dok, keadaan korban?" tanya Bibi itu khawatir.

"Maaf, Bu. Kami telah melakukan sebisa kami. Tapi Tuhan berkehendak lain."

"Gusti nu agung," kata Bibi setengah tertahan. Dia menjatuhkan tubuhnya di lantai rumah sakit yang dingin dengan tangisnya yang tak kentara.

"Bi, sabar, Bi," kata Via mencoba menenangkan padahal dirinya sendiri sebenarnya ingin menangis sejadi-jadinya.

Mereka pun berjalan menghampiri ranjang Aldo dan saudaranya yang kini sudah tertutup kain putih besar. Wanita yang menyebutnya "Bibi" pun membuka sedikit kain putih itu yang memperlihatkan wajah tampan Aldo yang kini telah tidak bernyawa. Pias. Hati Via sakit melihatnya. Walaupun Via tidak ada hubungan apapun dengannya, tapi setidaknya Aldo pernah hadir dan mewarnai hidupnya.

Bibi pun menutup kembali wajah Aldo dengan kain putih. Lalu berjalan menghampiri ranjang saudara Aldo dan melakukan hal yang sama dengan yang tadi dia lakukan. Saat kain itu telah tak menutupi wajahnya, lagi-lagi Via tercekat. Air matanya bertambah banyak. Sophie merangkul tubuhnya yang dingin dan mulai melemas itu.

"K-kak Fikri," Via berkata dengan lirih. Tak disangka ternyata saudara Aldo yang dimaksud adalah Fikri.

***

Pemakaman. Ya, hari ini Via dan Sophie tidak sekolah. Karena ikut mengantarkan jenazah Aldo dan keluarganya sampai ke rumah asal mereka. Tanah. Guru-guru pun menghadiri pemakaman itu. Mata Via yang sembab itu tak bisa lagi ditutupi. Jelas saja. Di tambah semalaman dia tidak bisa tidur.

Setelah pemakaman selesai, semua orang satu persatu mulai pergi meninggalkan mereka setelah memberikan doa untuk keluarga Aldo. Kini tersisa Via, Sophie dan Bibi. Via dan Sophie ditawari mampir ke rumah sang pemilik yang telah tiada itu untuk sekedar menemani Bibi walau sebentar.

Setelah melewati jalan yang cukup sepi karena ini masih jamnya orang beraktifitas, mereka sampai di pelataran rumah yang cukup luas. Mereka mulai memasuki rumah besar itu dan duduk di ruang tamu.

"Tunggu sebentar, ya, Neng. Bibi bikinin minum dulu," kata Bibi masih dengan logat sundanya.

"Iya, Bi," jawab Via.

Mata Via masih sibuk menyapu ruangan itu. Banyak foto-foto yang terpajang di dinding. Tak lama kemudian Bibi pun datang dengan nampan yang berisi dua gelas air minum dan camilan. Namun Via baru ingat, kalau sekarang bulan puasa.

"Mangga, Neng," kata Bibi ramah.

"Bi, ini 'kan bulan puasa," jawab Via menahan tawa.

"Astagfirullah, Neng. Bibi baru inget!" kata Bibi lalu menepuk jidatnya.

Mereka bertiga pun tertawa. Bibi kembali ke dapur untuk menyimpan kembali minuman dan camilan tadi. Dan saat Bibi kembali duduk dihadapan Via dan Sophie, suasana tiba-tiba menjadi hening. Via pun membuka percakapan.

"Bi, aku mau nanya sesuatu tentang keluarga Kak Aldo, boleh?" tanya Via hati-hati.

"Boleh, Neng," jawab Bibi lembut.

"Kak Aldo sama Kak Fikri saudara kandung atau saudara tiri?"

"Saudara tiri, Neng. Tapi nak Aldo nggak mau punya Ibu tiri dan saudara tiri. Saat Ibu kandungnya meninggal, nak Aldo masih sempurna mendapat perhatian utuh dari Ayahnya. Tapi tiba-tiba Ayahnya berubah menjadi orang yang kasar entah apa sebabnya, dan tidak peduli lagi pada anaknya. Bahkan dia sering membawa perempuan-perempuan muda dan seksi ke rumah. Tanpa memperdulikan anaknya yang saat itu masih kecil melihatnya.

Dan akhirnya beliau menikah dengan janda cantik beranak satu pada saat nak Aldo berumur 10 tahun. Nah, dialah Ibu kandungnya nak Fikri. Dia perempuan yang baik. Nak Fikri pun mewarisi sifat Ibunya. Tapi sudah satu tahun terakhir ini, Ayahnya nak Aldo jarang pulang, dan rumah ini sering di datangi oleh orang-orang asing dan misterius. Tiba-tiba saja, beliau datang lalu mengajak keluarga untuk jalan-jalan," jelasnya yang membuat Via dan Sophie tidak bisa berkutik. "Dan sampai akhirnya Bibi dapet kabar dari rumah sakit," sambungnya sedih.

"Maaf ya, Bi, aku bikin Bibi sedih lagi," kata Via tak enak hati.

"Nggak apa-apa, Neng," jawab Bibi lembut.

***

Saat sampai di rumah, Via langsung berjalan menaiki tangga lalu memasuki kamarnya tanpa memperdulikan Mamanya yang ada di ruang tamu. Via terkejut saat melihat kamarnya. Di kasurnya tergeletak se-bucket bunga mawar biru yang cantik. Bahkan sangat cantik. Via pun menghampiri lalu mengambilnya dan mencium aromanya yang wangi. Ada sepucuk surat disana.

Don't be crying, dear.

Kalo udah adzan maghrib buka kulkas kamar kamu, ya. Siapa tau sedihnya ilang.

Tulisan itu membuat Via terkekeh sendiri. Tulisan yang mirip dengan ceker ayam ini sudah pasti milik Dio. Via pun berjalan menghampiri kulkas lalu membukanya.

Pluk!

Sebatang coklat greentea jatuh ke lantai. Ya ampun. Kulkasnya penuh dengan semua makanan dan minuman greentea kesukaannya. Via pun langsung mencari ponselnya lalu mengetik nama Dio pada kolom panggilan.