Fiana memiringkan kepalanya saat merasakan pembicaraan mereka kali ini akan memasuki tahap masa lalu seseorang. Gadis itu tetap menatap dalam kearah Rezvan yang mulai membuka mulutnya.
"Keluarga Filbert dan Keluarga Norville, memiliki sebuah problematika. Marga Leon tidak berasal dari nama ayahnya, tapi sebaliknya, marga itu dari nama ibunya. Karena Ibunya, Leon dan Liona, ditinggal oleh ayah mereka sejak kecil."
"Lo tau sesuatu Fin? Juna Malden Norville adalah saudara tiri Leon, ayah Leon meninggalkan keluarganya dan malah menikah dengan ibu Juna."
Deg!
Kedua bola mata Fiana membulat sempurna dengan bibir yang sedikit terbuka, suaranya berasa tercekat diantara lidah yang terasa kelu, keterkejutan tak bisa terelakkan saat ia mendengar informasi sepenting ini.
Rezvan menutup matanya sesaat saat sudah menduga reaksi terkejut Fiana. Benar, semua informasi ini ia dapatkan dari penyelidikan Papanya yang sudah bergerak dari lama. Itu mengapa ia sudah cukup sangat terbantu.
"M-MEREKA SAUDARA SATU AYAH ATAU BUKAN!?"Tanya Fiana saat dirinya tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutannya beserta air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata.
Kedua tangannya bahkan sudah mencengkeram kuat lengan Rezvan yang terkejut akan refleks tiba-tiba dari Fiana. Pemuda itu sedikit menegakkan badan saat mengetahui Fiana bisa menangis kapan saja.
"Mereka berdua... saudara satu ayah."
Tetesan air mata yang pertama jatuh saat Rezvan menjawab pertanyaannya. Gadis itu seakan merasakan ikut kesedihan yang mendalam saat mendengar fakta ini tentang temannya.
Apalagi ia tak kuasa melihat wajah polos dari Liona. Gadis kecil itu, apa yang sebenarnya membuat gadis tak bersalah dan se rapuh Liona mengalami hal tak adil seperti ini?
Jika Leon dan Juna satu Ayah, itu artinya Ayah Leon sebelumnya selingkuh dengan Ibu Juna. Apa-apaan fakta seperti ini? lalu seberapa keras perjuangan Leon untuk melindungi adiknya selama ini?
"Fin...?"
"Hiks..."
Rezvan membeku ditempat saat melihat air mata Fiana sudah mengalir deras bagaikan air tak dapat dibendung kembali. Pemuda jangkung itu kelabakan sendiri dan menepuk-nepuk pundak Fiana agar gadis itu sedikit tenang.
Menangis deras didalam sepi membuat suara tangisannya terdengar nyata ditelinga Rezvan. Pemuda itu tak tau lagi harus bercerita apa, saat melihat keadaan Fiana begini.
"SEBENARNYA! SEBERAPA BANYAK LO TAU TENTANG KELUARGA GUE!?"
"!?"
Rezvan terkejut untuk yang kedua kalinya saat kerah bajunya ditarik kuat oleh Leon. Entahlah datang dari mana pemuda itu, sepertinya ia sudah mendengar semua pembicaraannya tadi.
Bukannya takut, Rezvan malah menatap tajam tepat di bola mata Leon. Siapa yang akan diam saja saat dirinya merasa diancam begini?
"Jangan semena-mena sama gue, bukan berarti kalau gue tau tentang latar belakang keluarga lo, gue bakalan berniat hancurin lo apalagi manfaatin lo."
"Alasan gue yang memang sebelumnya sempat tertarik dengan kehidupan lo, karena gue mau selamatin lo dari kurungan Robert, bukan hanya lo, Liona dan Juna harus gue selamatkan juga, apalagi Juna yang setiap hari harus menahan kesedihan atas keadaan ibunya yang tengah koma."Ucap Rezvan dengan tenang membuat Leon lama-kelamaan melepaskan cengkeramannya.
"Gue harus pisahin Robert dari kalian semua bagaimanapun caranya, karena Robert adalah salah satu lawan dari rencana kita."Lanjut Rezvan yang sedikit merapikan bajunya.
Leon terdiam ditempat. Bukan tanpa sebab, pemuda itu masih berpikir apa ia harus percaya dengan Rezvan atau tidak.
10 menit kemudian...
"Mau lo berpikir kek apapun kalau jarak waktu pikir lebih dari 10 menit begini berarti otak lo lebih dangkal dari gue, makanya otak tuh dipake, jangan dibuat panjangan doang."Cibir Rezvan yang dibalas tatapan menghina dari Leon.
"Ya mohon maaf Tuan Muda Rezvan, gue gak sepintar dan se licik lo soalnya, mentang-mentang dah lo kampret!"Lawan Leon yang kali ini malah adu argumen tak berguna bersama Rezvan.
"Jadi? apa yang ingin lo ketahui lagi biar rencana ini berhasil Fin?"
Rezvan dan Leon berhenti adu bacod saat mendengar suara seorang pemuda lagi diantara mereka. Keduanya sama-sama menolehkan kepala dan melihat Juna sudah berjongkok didepan Fiana yang masih menangis deras.
"Kalian berdua nguping kami ya?"Tuduh Rezvan dengan wajah julid nya membuat Leon dan Juna hanya bisa tersenyum kaku.
"Ya maap, soalnya pembicaraan kalian menarik si, apalagi gue dibawa-bawa sebagai tokoh didalamnya, berasa ada fans berat."Balas Juna dengan tingkat kesombongannya yang tinggi, membuat Rezvan dan Leon bergaya muntah ditempat.
"B-berapa lama lo pura-pura bahagia selama ini?"Tanya Fiana dengan tangan kanan yang mengusap air matanya kasar. Gadis itu menarik nafas dan kembali membuang-buang agar merasa lebih tenang.
Juna yang diajukan pertanyaan oleh Fiana hanya tersenyum manis. Pemuda itu menghapus jejak air mata Fiana dengan telaten sembari berucap sesuatu.
"Sejak gue tau fakta tentang Keluarga gue, gue udah hidup didalam kepura-puraan. Mungkin sejak kelas 1 SD? entahlah, gue udah lupa."
Gadis satu-satunya diantara mereka kembali meneteskan air mata. Entahlah, hatinya merasa tercabik-cabik mendengar fakta demi fakta menerobos masuk ke dalam gendang telinganya.
Mencoba berpura-pura untuk tak terlalu mendengarkan terlalu banyak fakta yang merembes keluar, tapi gagal karenanya akibat melihat tatapan terluka Juna.
Grep!
Fiana memeluk erat Juna yang berjongkok tepat didepannya. Sembari mengusap rambut pemuda itu lembut, kata-kata penyemangat meluncur mulus dari bibir tipisnya.
Seorang pemuda yang sudah mengetahui seluruh informasi disini hanya diam tak memandang kearah Fiana. Perasaan bersalah menyeruak masuk ke dalam hatinya saat melihat bagaimana teman barunya itu kerap kali meneteskan air mata.
"Gue pamit dulu, ada sesuatu yang harus diurus."Jelas Rezvan tanpa basa-basi yang segera melenggang pergi dari tempat.
Pemuda itu tak melirik atau menoleh sedikit saja kebelakang, dimana ada Fiana, Juna dan Leon yang masih berdiam di tempat. Ia lebih memilih menjauh dan percaya dengan rencana Fiana yang bahkan tak gadis itu ucapkan sama sekali.
Lebih tepatnya, Fiana harus lebih mendekatkan dirinya kepada mereka untuk mendapatkan kepercayaan yang kuat. Gadis itu tanpa diperintah pun sudah cepat tanggap dan mempercayai segala ucapan Rezvan.
Entahlah, apa yang ada dipikiran Fiana, Rezvan tak bisa mengetahuinya, bisa dikatakan bahwa, gadis itu bisa menjadi penopang untuk kesuksesan misi besar kali ini.
"Rezvan Earnest Caldwell, apa yang lo pikirkan sekarang?"Tanya seorang gadis yang terlihat sudah terduduk lama di salah satu kursi lobi penginapan, terlihat sudah menduga bahwa Rezvan akan datang kesana dan dengan sengaja menunggunya.
Pemuda itu berdecih kecil sembari memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana. "Diam dan menonton, ada saatnya lo harus maju dan ngebantu gue, tapi bukan sekarang."
Bola mata gadis itu menyipit licik saat mendengar penuturan Rezvan. Seperti telah mengetahui segala pikiran pemuda yang ada dihadapannya, gadis itu membuka mulutnya.
"Baiklah, kalau butuh bantuan, Angel bisa jadi kartu kita untuk mengancam Leon."