Wush!
Sepasang tirai berwarna abu-abu menyibak kuat akibat tamparan kencang dari angin malam yang menerobos masuk melalui jendela.
Bintang-bintang bertaburan indah di atas gelapnya langit tanpa terhitung jumlahnya. Bulan tak nampak sinarnya, tapi langit malam tak terlihat redup atau kehilangan cahayanya hari ini karena banyaknya sinar sang bintang yang saling memancar.
"Kakak gak kedinginan?"
Sosok gadis bersurai hitam panjang sedari tadi hanya duduk diam ditengah jendela tanpa bergerak dan melamun dalam sembari menatap manik-manik langit yang memantul indah di bola matanya.
Gemerlap cahaya yang tak kehilangan sinarnya walau langit seakan-akan bisa memakannya dalam kegelapan tanpa ujung yang realistis, membuatnya seakan enggan mengalihkan atensinya semenjak 1 jam lalu.
"Anginnya gak akan pernah terasa dingin kalau kamu mencoba menerimanya tanpa mengeluh." Jawabnya dengan perasaan ringan, jari-jari lentik itu terangkat yang kali ini menyibak tirai agar semakin terbuka lebar menampakkan pemandangan indah di luar sana.
Suara desiran air pantai yang mengalun indah bagai melodi merembes masuk melalui gendang telinga, suasana tenang nan damai terhirup sejuk tanpa adanya hiruk-pikuk orang-orang yang saling berdesakan.
Tapi heningnya malam yang tenang tak berlangsung lama sesaat suara derapan langkah kaki yang tergesa-gesa terdengar nyaring didepan pintu kamar.
Dok! Dok! Dok!
"FIANA TOLONGIN GUE FIN!"
Gadis cantik yang dipanggil heboh oleh salah satu temannya berjengkit kaget dan segera berlari membukakan pintu. Disaat yang bersamaan, tubuh Hendri limbung dan terjatuh dilantai akibat dirinya yang menumpukan tubuhnya ke pintu sepenuhnya.
BRUK!
"HEH KAGET!"
Fiana terkesiap dan segera berjongkok untuk membantu Hendri berdiri, baru saja ia berhasil menggapai tangannya, seseorang lebih dulu menginjak punggung Hendri agar tak dapat berdiri.
"JIHAN! TURUNIN KAKINYA!" Gertak Fiana yang merasa kasihan dengan keadaan Hendri. Sudah gadis itu pastikan, pemuda yang saat ini tengah berteriak mengeluh kesakitan habis membuat masalah dengan Jihan.
"Heh! Lo kudu nurut sama gue." Ancam Jihan dengan mata berkedut kesal merasa Hendri terlalu banyak melawan dan cerewet hari ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Hendri sangat-sangat menentang rencana Jihan kali ini, oh ayolah! Harga diri Hendri sebelumnya sudah pernah diinjak-injak! Untuk apa ia melakukan hal memalukan seperti itu dua kali!?
"GAK! GAK MAU! MINGGIR!"
GUBRAK!
Hendri yang cukup kesal dengan perlakuan Jihan memutar tubuhnya secara paksa dan membuat pemuda jangkung yang berada diatasnya refleks kehilangan keseimbangan dan menabrak pintu kamar.
"BAJINGAN! GUE GAK MAU! FIANA TOLONG!" Lagi-lagi menolak dengan tegas sembari merangkak dan bersembunyi dibelakang tubuh Fiana, sang gadis hanya berdiam ditengah-tengah keduanya mencoba menghentikan Jihan yang ingin melawan dan memukuli wajah Hendri.
"Oke-oke! Berhenti! Bisa jelaskan ada masalah apa dengan kalian berdua?" Tanyanya mencoba mencairkan suasana, apalagi mengingat didalam kamar ada Liona dan Kyara yang menonton mereka.
Jihan mendengus kasar dan segera mengajak Fiana ke depan ruangan untuk berbicara. Hendri menciut dibelakang seperti anak kecil yang tak ingin ditinggalkan oleh ibunya, jari-jarinya bergetar kecil dan menarik baju Fiana pelan.
Fiana hanya melengos merasa menjadi seorang ibu yang ingin memarahi keadua anaknya yang nakal, demi apapun, Hendri sangat-sangat mirip dengan anak kucing sekarang ini.
"Ok jadi?" Tanya Fiana saat ia berhasil duduk di salah satu sofa yang memiliki tempat cukup untuk menampung dua orang.
Jihan menghela nafas saat melihat Hendri yang masih saja mendelik tajam kearahnya, beberapa detik setelahnya, pemuda itu memilih meringsut dibelakang punggung Fiana dan bersembunyi seakan-akan ingin diculik oleh om pedofil.
"Jadi begini..."
Flashback On
Brak! Brak! Brak!
"...!?"
Dua pasang mata saling melotot dibalik dinding saat mendengar suara sesuatu yang keras tengah terbanting didalam ruangan. Pemuda jangkung yang memakai sweater itu menghentikan temannya yang mencoba memastikan keadaan dibalik ruangan.
Jari telunjuknya terangkat didepan bibir untuk menyuruhnya diam. Pemuda yang tingginya hanya sebatas hidungnya itu mengangguk-angguk menurut dan ikut menguping.
"Bajingan! Cewek kayak lo itu gak pantes sok jual mahal!"
"Enaknya diapain? Di hajar sampai mampus?"
"Tapi kenapa dia dari tadi diam aja? Kayak udah gak ada nyawa nih."
Tawa yang saling bersautan didalam terdengar nyaring menembus gendang telinga, pemuda yang sedikit pendek itu menggertakkan giginya dan nekat mendobrak pintu ruangan.
Temannya melotot ditempat persembunyian tanpa ada niatan untuk membantu, ia mencoba menebak apa yang akan dilakukan teman kecilnya itu.
"Pengecut brengsek! Maju sini lawan gue!" Tantangnya nyaring yang dibalas tatapan tak terduga dari orang-orang didalam ruangan.
Ada 3 orang laki-laki dan satu wanita meringkuk di sudut ruangan dengan tubuh penuh luka dan darah. Hendri menggeram dan segera maju untuk melawan para lelaki brengsek itu.
Ini bukan adegan klise yang Hendri suka dimana tokoh utama pria datang terlambat dan menyelamatkan wanitanya. Tapi ini adalah adegan dimana ia mempertaruhkan dirinya untuk mengulur waktu.
Jihan yang sudah mendengar suara perkelahian sedikit melirik dari sisi dinding. Ia dapat melihat Hendri menarik perhatian dan membawa ketiga laki-laki itu menjauh, dengan langkah pelan ia memasuki ruangan dan mendekati wanita muda yang sudah pingsan ditempat.
Segera ia menggendongnya dan berlari keluar, dibelokkan koridor ia menolehkan kepalanya dan berteriak sekuat tenaga.
"HENDRI LARI!"
Hendri yang baru saja terkena bogem menyeringai puas. Ia segera berbalik dan berlari menjauhi para laki-laki tadi. Jujur saja, Hendri adalah anak SMP modal preman yang hanya bisa berkelahi melawan teman sebaya.
Tentunya jika ia melawan ketiga laki-laki tadi, ia akan berakhir menyedihkan. Lalu kenapa bukan Jihan yang melakukannya? Karena jelas Hendri tak akan bisa berlari cepat sambil menggendong seorang wanita tak dikenal.
Alangkah lebih baik Hendri mengulur waktu untuk membiarkan Jihan menyelamatkan wanita itu dan setelahnya, ia melarikan diri dengan tak bertanggung jawabnya.
Jangan salah, Hendri adalah salah satu lawan tangguh Jihan bila harus melakukan rencana melarikan diri begini. Karena di sekolah, ia sering kejar-kejaran dengan guru BK karena tingkahnya yang kelewat nakal.
5 menit berlalu. Mereka sampai di penginapan dengan nafas ngos-ngosan. Angel yang baru saja memasuki lobi terlonjak kaget dan refleks memanggil para perawat pribadi agar membawa tubuh wanita tak dikenal didalam gendongan Jihan menuju kamar darurat.
"Hosh... hosh... kita harus balas dendam." Kata Jihan membuka suaranya sembari terduduk diatas lantai, matanya bergulir dan menatap Hendri yang sudah tepat disampingnya.
"Gue tau salah satu laki-laki tadi, dia om-om yang kepalanya gak sengaja kena bola voli tadi, lalu wanita muda itu..." Lanjutkan yang kali ini memilih menatap salah satu koridor yang berhubungan dengan kamar rawat darurat pribadi penginapan.
"Ah gue inget, tapi gue gak tau wajahnya." Balas Hendri yang tadi sore hanya melihat wajah wanita itu dalam jarak kejauhan. Jihan mengangguk membenarkan dan menyeringai kecil.
"Lagi bosen nih Hen, balas dendam sambil jahilin itu om-om lanjut gak?" Tawar Jihan dengan penuh minat yang dibalas tatapan berbinar dari lawan bicara.
Ngomong-ngomong, semenjak liburan, Jihan dan Hendri sudah lama tidak membuat keributan, biasanya mereka akan melakukan keributan bersama disekolah dan bermain kejar-kejaran dengan para guru.
Tapi karena sekarang tidak ada korban, yah sekalian saja refreshing. "Ok, gak masalah, jadi apa rencana?" Tanyanya penuh semangat tapi kali ini ekspresi nya menurun saat melihat wajah penuh kelicikan Jihan.
"Transformasi lah jadi Hendri ver female."
"BAJINGAN!"
Flashback Off
Fiana membeku ditempat dan menatap ngeri kearah Jihan. Pemuda itu hanya menyunggingkan senyum anehnya dan menatap sinis kearah Hendri yang masih saja menciut dibalik punggung Fiana.
Gadis yang berada tengah-tengah mereka berdua berdiri dan berbalik menatap wajah memelas Hendri.
"Fiana baik kan? Bakalan bela gue kan?" Tanyanya penuh harapan seakan Fiana adalah penyelamat hidupnya.
Hendri lupa, kalau Jihan adalah seorang iblis! Rencana Jihan pasti akan membuatnya memasuki rute kesulitan dan penderitaan sepanjang hari. Tapi mau bagaimana lagi, pemuda itu sudah terlalu sering mengalami penderitaan karena rencana konyol Jihan.
Mungkin perasaan terbiasa itu mulai tumbuh dan membuatnya melupakan fakta dalam beberapa periode waktu. "Bukannya lo sendiri yang niat ya? Katanya udah lama gak buat keributan, jadi selamat bersenang-senang." Jawab Fiana dengan penuh kelembutan sembari menunjukkan senyum berekspresi gelap membuat Hendri secara refleks bergetar.
Punggungnya secara naluriah terasa dingin saat melihat wajah menakutkan dari Fiana. Ia meneguk ludah dan dengan cepat memutar otaknya. Mau tak mau, jelas cara yang ia dapat adalah.
Melarikan diri.
"UWAAAAAAAAAAAAAAAAA!"
Hendri tepat dikejar oleh Jihan dan Fiana dibelakangnya. Ekspresi penuh terkhianati terpampang jelas diwajahnya. Matanya melotot saat ada ember berisi air penuh untuk mengepel lantai didepan matanya.
Mau tak mau ia menerobosnya dan menendang entah kemana ember berisi air itu sekuat tenaga. Mata Fiana mengikuti arah ember yang ditendang dan membuka mulutnya untuk segera berteriak.
"INDRA AWAS!"
BYURRRR!
Pluk!
Indra menjatuhkan kue kering yang ia bawa ke lantai saat merasakan seluruh anggota tubuhnya terasa dingin menusuk dan basah. Matanya bergerak cepat untuk melihat seorang pelaku yang berani-beraninya melakukan ini kepadanya.
Ia dapat melihat Jihan menoleh kearahnya dan menunjuk-nunjuk kedepan, disana ada Hendri yang masih berlari kencang dengan menabrak beberapa temannya dan tanpa rasa bersalah tetap berlari sekuat tenaga.
"BAJINGAN HENDRI!"