Keesokan harinya pukul 19.00
"Siap!"
Sosok cantik terpantul sempurna didepan cermin setengah tubuh. Pemuda itu meramalkan segala makian kasar didalam mulutnya untuk secara bersamaan ia ingatkan akan segera meledak didepan wajah seseorang.
"Gak bisa jadi ganteng, cantik pun jadi lah." Komentar seseorang diseberang pintu yang baru saja menyembulkan kepalanya kedalam ruangan. Ia terkekeh kecil dan berjalan dengan penuh semangat mendekati seorang pemuda yang berwajah masam.
"Memang tangannya Fiana seperti sebuah arsitektur ya, it's perfect!" Katanya penuh pujian sembari mengangguk-angguk puas. Tangan kanannya terangkat dan menepuk-nepuk pelan kepala Hendri yang sedari tadi tertunduk tak berdaya.
"Apakah ini sebuah akhir dari kehidupan Hendri Marquel!?" Tanya pemuda itu dengan cukup sarkas membuat lawan bicaranya hanya mengedipkan sebelah matanya seolah-olah pertanyaannya tadi tak begitu berarti untuknya.
"Henny ku sayang, coba ubah cara bicaramu agar lebih lembut." Balas Bianca terkesan ramah sambil terkikik geli membuat Hendri ingin sekali memukul kepala gadis itu, sekali saja — jika ia bisa melakukan itu, sayangnya keinginannya hanyalah sebuah mimpi semata.
Fiana yang berdiri dibelakang Hendri hanya tersenyum penuh arti. Ia menepuk pelan kedua pundak Hendri dan memberikannya semangat kecil. "Tenang, gue sama Indra bakalan ikut kok."
Hendri tak merasa membaik akan bujukan itu, malahan suasana hatinya semakin buruk saja daripada tadi. Ia hanya membalas dengan gumaman malas dan sedikit menundukkan kepalanya kearah smartphone nya.
Disana ia mengambilnya dan membuka aplikasi chatting. Jari-jari tangannya bergerak lincah untuk segera mencari room chat dengan nama "Kanjeng Jihan Bajingan" sebagai nama kontak.
Lalu ia sedikit mendesah lelah dengan bibir menyunggingkan seringai kecil saat matanya membaca tulisan penuh percaya diri seorang Jihan di layar ponselnya.
Kanjeng Jihan Bajingan :
Nanti kita jadiin Rezvan kambing hitam, tp sebelum itu, lo harus injak harga diri itu om² dulu supaya rencana berhasil
Kanjeng Jihan Bajingan :
Drpd berantem, lo kan emng lebih pinter bikin harga diri org lain tertindas, habis itu, gue jadiin Rezvan sbg kambing hitam buat balas dendam sama itu om²
Kanjeng Jihan Bajingan :
Dengan begini, kita bisa jd nonton pergulatan live didepan mata dgn tokoh utama Rezvan
[•]•[•]•[•]
Seorang gadis dengan setelan jaket panjang berwarna hitam dan rambut yang dikucir kuda tengah berjalan tergesa-gesa menuju suatu ruangan. Bulir-bulir keringat membasahi pelipisnya kala ia memaksakan kakinya untuk bertahan menopang berat tubuhnya yang mulai dibatas kelelahan.
Tok. Tok. Tok.
Suara ketukan pintu yang lembut mengalun halus didepan sebuah ruangan ber-cat abu-abu. Gadis berkucir itu menunggu dengan sabar untuk mendapatkan balasan orang didalamnya.
1 menit...
2 menit...
Gadis itu mengetuk pintu kembali dan menunggu.
Lagi-lagi...
Tidak ada sahutan.
"Brengsek! Woi! Bukan pintunya setan!"
Brak!
Akhirnya emosi yang sedari tadi ditahan meledak-ledak bagaikan bom waktu, tanpa sepatah kata lagi, pintu pun digedor-gedor tanpa ampun sampai membuat penghuni didalamnya bergerak untuk membalas.
"Iya-iya anjing..."
Ceklek.
"Mhmm?"
"Gimana sama flashdisk nya?" Serobot gadis itu acuh tak acuh saat melihat penampilan pemuda dihadapannya sudah acak-acakan seperti sehabis memikirkan sesuatu yang membuatnya frustasi berat.
Pemuda jangkung yang tengah memakai sweater berwarna putih itu hanya bergumam hal random dengan lirih tanpa mengatakan sesuatu secara jelas. Mungkin ini efek yang dideritanya karena baru saja mengalami frustasi berat kala membuka data flashdisk yang diberikan gadis dihadapannya tempo hari.
"Kalau ngomong yang jelas bego!" Sentaknya tak sabaran, gadis itu — Falisa mencoba mengedarkan pandangannya kedalam kamar milik Rezvan-Jihan yang amat sangat berantakan akan kertas.
Rezvan berkedip kecil dan sedikit menampar pipinya agar segera tersadar, pikirannya kacau balau karena baru saja selesai mengartikan data yang diberikan Falisa didalam flashdisk itu.
"Lalu? Siapa penjahatnya?"
Pemuda yang ditanya hanya memiringkan tubuhnya untuk menatap kearah laptop yang menyala dengan cahaya samar, ia mendecak kasar saat tiba saatnya untuk ditanya hal merepotkan seperti ini.
"Gak ada penjahatnya, Ayah lo gak salah, tapi disisi lain juga salah." Hanya itu satu-satunya jawaban yang bisa ia berikan untuk saat ini.
Benar, disatu sisi Ayah Falisa dan Ziano tidak bersalah tentang kasus yang mereka bahas tempo hari, tapi di sisi lain, orang itu juga melakukan kesalahan yang merugikan.
Belum saatnya mereka membahas hal ini lebih lanjut, karena ada masalah lain yang sebentar lagi akan menimpa Rezvan cepat atau lambat.
"Si bajingan Jihan..."
[•]•[•]•[•]
Jihan dan Hendri sudah berdiri berdampingan didepan sebuah gedung mewah yang mendatangkan pesta perjamuan untuk merayakan ulang tahun pembentukannya. Benar, ini adalah rencana pertama mereka.
Saat kemarin ia tak sengaja berjalan-jalan dengan Hendri, seseorang memberikannya brosur untuk datang dan meramaikan pesta yang diselenggarakan untuk umum. Bertepatan sebelum mereka berangkat, wanita muda yang ditolong Jihan mengatakan sesuatu setelah ia siuman.
"Pria itu... namanya Rudy... dia membenciku karena aku melepaskannya... kau tau kenapa? Karena dia brengsek."
"Dia juga... akan datang ke pasta itu... karena pesta itu milik orang tuanya... seperti dugaan... dia pasti tengah mencari korban baru, jika bisa... tolong hentikan dia... atau kau bisa memukulnya seperti sore hari tadi, bahkan sampai membuatnya masuk rumah sakit pun tak apa."
Kesempatan emas untuk biang keladi seperti Jihan dan Hendri yang hobi membuat masalah dilingkungan sekolah.
"Hen — ny ekhm, intinya jangan banyak bicarakan ok?"
Pemuda cantik disampingnya hanya menganggukkan kepala karena tak mau repot-repot menjawab, walaupun ia cukup setuju dengan rencana gila Jihan, bukan berarti dirinya memaafkan kelakuan Jihan yang membuat harga dirinya terlukai kembali.
Beberapa pasang mata mulai saling melirik kearah mereka yang berpenampilan seperti seorang tokoh utama, Hendri diam-diam mengepalkan tangannya mencoba bersabar untuk tidak meninju wajah mereka satu persatu.
"Wah, siapa ini? Wisatawan kah? Aku tidak pernah melihat kalian disekitar sini." Sapa seorang pria dengan wajah sumringah saat melihat kecantikan Henny yang cukup indah dipandang mata.
Beruntung, pria itu tidak mengenali wajah penuh make up Hendri — Henny ataupun Jihan disampingnya, yah mengingat Jihan hanya melarikan diri kemarin.
Dan bertepatan sekali, pria ini adalah salah satu yang menindas wanita muda — Jaelyn di ruangan kosong kemarin, korban pertama yang harus mereka singkirkan.
"Benar, kami seorang wisatawan dan dia adikku." Jawab Jihan cukup cepat agar pria dihadapannya tidak terlalu banyak memuntahkan omong kosong yang bisa saja membuat telinganya kepanasan.
"Oh? Adikmu sangat cantik, namaku Stephen." Katanya memperkenalkan diri sembari mengulurkan tangannya terlebih dahulu didepan Henny.
Si cantik itu tersenyum miring dan membalas jabatan tangan pria dihadapannya dengan tenaga yang cukup untuk membuat lawannya tersentak gugup dan cepat-cepat menarik tangannya.
"Henny."
"Ahem!" Jihan berpura-pura terbatuk saat mendengar suara lembut Henny mengalun indah memasuki gendang telinganya. Awalnya ingin tertawa dan meledeknya habis-habisan, tapi dia tau diri, atau kalau tidak, rencana ini akan gagal total dengan Hendri yang mengamuk habis-habisan kepadanya.
"Henny?"
Gadis lain datang untuk menyapa saat seseorang yang ia kenal tengah berdiri di sisi tengah aula.
"Oh siapa ini? Gadis cantik lainnya." Stephen tersenyum cerah saat dirinya bertemu dua gadis cantik — menurutnya, selama kurang lebih dari 10 menit berturut-turut.
Dan tanpa bertanya pun, Jihan paling mengerti tatapan seperti apa itu.
Gadis dengan gaya desain coat panjang yang menempel indah ditubuhnya tersenyum lembut, matanya bahkan sampai menyipit membuat keindahan akan pesona kecantikan itu tak dapat mengalihkan perhatian lawan bicaranya.
"Selamat malam Tuan." Sapanya penuh keramah-tamahan membuat Stephen terkesiap sesaat, takut kepergok tengah memuja-muja wajah cantik dihadapannya tanpa malu.
"A-ah iya, selamat malam Nona, nama saya Stephen."
"Namaku Fiana, salam kenal Tuan."
Hendri — Henny yang kali ini sudah tidak menjadi pusat perhatian mengubah ekspresi wajahnya dengan penuh kejulitan, bahkan pemuda disampingnya sudah ikutan mengumpat dalam hati saat pria bernama Stephen itu dengan tidak tahu malunya menatap Fiana terang-terangan dengan cukup lama.
'Bajingan tengik ini benar-benar minta gue tonjok mukanya...'
"Wah-wah, selamat datang tamuku." Sapa sang Tuan rumah dengan senyum penuh arti membuat Jihan mulai was-was kepadanya.
"Maaf terlambat." Seseorang baru saja ikut bergabung dan berdiri tepat dibelakang Fiana seakan menjaganya. Stephen mengernyit samar dan riak tak suka mulai memenuhi ekspresi wajahnya.
"Dia adikku, namanya Indra." Jelas Fiana yang cukup peka dengan tatapan orang-orang disekelilingnya. Gadis itu tersenyum ramah dan berjabat tangan dengan Rudy yang baru saja menyambutnya dengan baik.
Pria itu melirik temannya — Stephen agar pria itu balas mengangguk seakan sesuatu telah mereka persiapkan sebelumnya.
"Baiklah, mari kita bergabung dengan yang lainnya Tuan dan Nona yang cantik." Katanya penuh semangat yang malah membuat Hendri — Henny tak sabar untuk meninju wajah sombongnya itu.
"Tenang Hen, belum saatnya." Peringat Jihan setengah berbisik membuat sang empu yang diajak bicara menghela nafas kasar dan mengangguk tanpa daya.
Matanya bergulir dan melirik kearah Fiana yang juga balas menatapnya, gadis itu mengedipkan sebelah matanya seakan-akan tengah memberikannya sebuah kode...
'Mari menjadi seseorang yang sombong.'