Hei, kemari dan duduklah. Akan saya ceritakan padamu sebuah kisah. Tentang cerita khayal yang terlalu tidak nyata untuk dipercaya. Terlalu fiksi dan susah untuk dimengerti. Disertai dengan misteri dan teka-teki. Durasi yang terlalu panjang, dan alur yang terlalu rumit.
Masih mau mendengarkan?
Kisah ini terjadi jutaan tahun cahaya jauhnya dari bumi, antara perbedaan sistem dan dimensi. Ratusan tahun berlalu setelah perang terakhir. Ratusan tahun setelah keruntuhan besar terjadi. Dan ratusan tahun setelah ribuan pasukan besar itu mati.
Di pertengahan cerita, saat semuanya hampir berakhir, benteng besar yang tampak gugup itu akhirnya bangkit. Bangun dari kejatuhan besar yang pernah terjadi. Membangun pasukan terkuat, dan merebut milik mereka kembali.
Dan kini, hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Hari yang sibuk untuk seluruh pasukan kerajaan, jajaran petinggi, dan semua orang yang ada di wilayahnya. Hari penobatan kembali sang raja sedang dilaksanakan. Sudah setengah perjalanan, hampir selesai.
"Ucapkan sumpah seorang raja!"
Di sana, di tengah megahnya benteng yang berdiri dengan kokohnya. Seorang laki-laki berdiri menghadap seluruh rakyat dengan gagahnya. Tangan kanannya memegang tongkat otoritas. Tangannya yang lain menggenggam cincin perjanjian. Di atas ambang kepalanya sudah ada kitab turun temurun kerajaan, ia sedang mengucapkan sumpahnya.
"Temuilah kembali Sang Raja dari Voreia, Aryan Setth."
Sorakan demi sorakan dari bawah sana terdengar sangat keras. Bersahut-sahutan menyambut kedatangan Sang Raja yang kembali mengambil alih kerajaannya. Riuh semangat, juga kegembiraan terus terdengar. Ini puncak acaranya.
Kata demi kata, kalimat demi kalimat, sudah selesai disampaikan. Sang Raja telah selesai dengan pidato dihari penobatannya. Dengan tatapan tegas, menatap ke depan pada rakyat, dengan bibirnya mengulas senyuman singkat. Kerajaan yang hampir runtuh, ia harus kembali membangun kerajaan ini dari awal.
﹋﹋
Tahun kesekian, setelah seluruh pasukan berhasil pergi dan pulang melalui portal dimensi. Tidak terhitung berapa kali mereka membuka portal penghubung Voreia ke Bumi. Keadaan kerajaan beberapa tahun kebelakang yang terlalu monoton. Kegiatan para pasukan mulai membosankan dan mereka memutuskan untuk pergi mencari profesi.
Baru beberapa minggu berada di kerajaan setelah kembali dari bumi, namun Aryan sudah cukup bosan. Tidak ada yang ia lakukan setelah menentukan daftar para pasukan petinggi. Para pasukan yang lain kembali berlatih. Beberapa pergi meninggalkan kerajaan, kembali mengerjakan tugasnya di bumi. Sedangkan dirinya? Hanya duduk menopang dagu, menatap kosong ke depan tanpa henti.
Aryan menghela napas lelah lalu berdiri dari kursi. "Saya pergi dulu." Pamitnya pada beberapa penjaga yang ada.
Langkahnya mulai menjauh. Mendorong pintu besar, menyusuri lorong, lalu kembali di ruangan pribadinya. Sebuah kotak kaca di ruangan rahasia. Tangannya terulur memindahkan penutup kaca kesamping. Ia menanggalkan mahkotanya di sana, dan kembali menutup tempat persegi itu dengan penutup kaca.
Sedikit mundur dari tempatnya, tangannya mulai bergerak acak. Mengeluarkan sihir pembuka portal. Sebuah lingkaran bercahaya muncul mengambang di hadapannya. Dua meter tingginya, hampir satu meter lebarnya. Tanpa ragu, kakinya melangkah masuk ke dalam sana.
Dalam sekejap saja, tubuhnya muncul di sebuah ruangan luas yang didominasi oleh warna putih. Melemparkan pandangannya ke setiap sudut ruangan. Sampai sebuah sofa panjang menarik atensinya. Ia berjalan mendekat. Duduk sebentar di atas sana, lalu beralih merebahkan tubuhnya.
Bumi abad dua puluh dua dengan seluruh teknologinya, Aryan Setth memiliki segalanya. Di sampingnya, di atas nakas, sebuah ponsel miliknya berdering. Aryan menoleh malas, namun tangannya segera bergerak mengambil ponsel untuk menjawab panggilan.
"Heh, Pak!" teriak dari seberang membuat Aryan otomatis menjauhkan ponselnya dari telinga. Terlalu nyaring, dapat membuat pendengarannya tuli. "Ini kerjaan lo mau numpuk di gue sampai kapan?"
Aryan menghela napas. "Saya nggak tahu, kamu kerjain aja."
"Wah, gila. Udah pas penobatan lo jadi raja gue nggak lihat, malah dikasih tugas beginian. Mana banyak banget."
"Terus?"
"Berangkat lo! Banyak berkas yang butuh lo tanda tangan."
Sesuatu mengingatkannya, Aryan tampak kebingungan, "kamu telepon saya dari tadi?"
"Enggak, barusan."
"Kamu tahu kalau akan saya angkat?"
"Iya," jawaban dari seberang kembali membuatnya bingung. "Portal yang lo buka kuat banget. Merinding gue barusan."
Terjawab sudah.
Panggilan dimatikan. Aryan mengingatkan dirinya sendiri. Bahwa sebuah portal dimensi, mau sekecil apapun kekuatannya pasti akan terasa. Tentu saja portal atau apapun kekuatan yang Aryan keluarkan, rasanya terlalu besar. Terasa sangat kuat.
Meletakkan ponselnya, Aryan berjalan masuk ke ruangan seperti walk in closet untuk mengganti pakaiannya. Dia masih menggunakan pakaian kekaisarannya sekarang. Keluar dengan pakaian seperti itu? Ayolah, bayangkan reaksi orang-orang saat melihatnya. Mungkin ia akan diajak berfoto karena orang akan mengiranya sedang melakukan cosplay ala kerajaan.
Setelah mengganti pakaiannya, ia keluar dari rumahnya. Setelannya sangat santai. Hanya dengan kaus putih polos dan celana trainning, juga sepatu olahraga melekat di kakinya. Aryan mulai melangkah ringan. Awalnya perlahan, lalu berubah menjadi berlari. Olahraga di sekitar lingkungan rumahnya ternyata cukup menyenangkan untuk menikmati udara pagi.
Satu putaran sudah selesai dilalui. Langkahnya hampir kembali berhenti di depan pintu gerbang rumahnya. Namun sesuatu menarik atensinya. Netranya menatap bingung pada gadis yang berdiri di depan pintu pagarnya, sesekali bergerak gusar. Ia mendekat dengan langkah perlahan, sambil kedua tangannya masuk ke saku celananya.
"Ngapain?"
Gadis yang sedari tadi berkali-kali melihat keadaan di balik gerbang kini menoleh. Menemukan sosok tinggi sedang berdiri menatapnya. Bukan tatapan ramah, hanya tatapan datar yang tampak tidak peduli.
"Ah, halo!" Sapanya sedikit membungkukkan badan. "Saya baru pindah ke sini," ucapnya menunjuk rumah di belakangnya. Tepat di seberang pintu pagar rumah Aryan.
Tanpa menoleh ke arah yang ditunjukkan, Aryan tetap memandang gadis itu datar. Tampak acuh.
"Terus?" Lanjutnya bertanya tanpa menunjukkan ekspresi penasaran.
Raut wajah gadis itu agak berubah terkejut mendengar respon yang diberikan. "Ini, beberapa kue untuk tanda perkenalan saya sebagai tetangga." Gadis itu mengulurkan sebuah kotak.
"Bawa lagi aja, saya mau pergi." ucapnya singkat. Aryan maju membuka pintu gerbang lalu melangkah masuk ke dalam rumahnya melewati gadis itu tanpa menatapnya.
Yang ditinggalkan kini melihat pintu gerbang yang kembali ditutup dengan tatapan tidak menyangka. "Wah, jantung gue mau meledak liat tatapannya. Apa-apaan dia? Auranya kuat banget."
Saat berjalan masuk, suara dari luar terdengar jelas di telinganya. Sudut bibir Aryan terangkat. Sebegitu kuatnya, kah?
﹋﹋
Menjelang siang, di gedung perusahaan Setth. Aryan akhirnya memutuskan untuk mendatangi ruangan besar dengan meja berpapan nama direktur yang berada di tengah ruangan. Rasanya seperti sudah lama sekali ia tidak masuk ke tempat ini. Bahkan saat mendorong pintunya, sepertinya tempat ini sedikit
... menyempit?
"Datang juga lo."
Baru saja masuk, Aryan langsung disambut dengan beberapa lembar kertas yang tampak bertebaran. Terlihat tumpukan berkas di atas meja kerjanya, beberapa tumpuk di samping meja. Juga tambahan meja kursi di ujung ruangan dekat pintu. Ruangannya tampak kacau.
"Widih, Pak Bos." Ucap seseorang dari balik mejanya saat Aryan menutup pintu.
Lelaki itu tampak merenggangkan kedua tangannya ke atas. Menegakkan tubuhnya, lalu berdiri hendak membereskan berkas di atas mejanya. "Karena lo udah di sini, gue mau pulang."
"Saya cuma mampir."
"Mati gue kelamaan di sini."
Namanya Zargo Alexan. Seseorang yang sangat berguna bagi seorang Aryan Setth. Berguna sekali, karena ia merupakan rekan kerja sekaligus salah satu petinggi kerajaannya. Mengesankan.
"Serius, Yan. Gue pengen pulang."
"Saya juga serius, Zargo. Saya cuma mampir."
Zargo mengusak rambutnya bersamaan dengan terdengarnya helaan napas kasar. Ia menatap Aryan setengah kesal namun tidak bisa memarahinya. Bicara dengan Aryan terkadang mengesalkan. Atau mungkin, sangat mengesalkan? Anak ini sudah menjadi raja dan bisa seenaknya.
Beralih dari Zargo dan mejanya yang berantakan, Aryan berjalan mendekati mejanya sendiri. Kondisi meja kerjanya ternyata tidak kalah memprihatinkan dari meja Zargo. Hanya tampak lebih rapi karena hanya disusun tanpa dikerjakan. Aryan mengambil beberapa berkas, membaca dan membalik lembaran kertas tanpa melakukan tugasnya. Ia memang hanya ingin mampir.
Di ujung ruangan, terdengar suara ponsel milik Zargo berdering. Menggeser ikon warna hijau di layar, lalu mengapitkan ponsel antara telinga dan bahunya. Tangannya kembali bekerja, membalik lembar dan mengetik.
"Apa?"
"Gue di istana,"
Zargo tetap diam. Menunggu suara dari seberang itu melanjutkan obrolannya. Sedikit merasa aneh, mengapa bisa-bisanya membawa ponsel sampai ke kerajaan.
"Update terbaru petinggi pasukan. Ini peralatan lo mau gue ambil sekalian apa lo ambil sendiri?"
"Peralatan apaan?"
"Setiap petinggi pasukan dikasih kepercayaan lebih karena fasih menggunakan peralatan perangnya. Yang lain udah ambil peralatannya. Makanya gue nanya sama lo. Lo digempur kerjaan kantor, kan?"
"Titip aja."
Helaan napas pelan, dengan lirikan tajam ditujukan ke ujung ruangan. Zargo memutus panggilannya. Meletakkan ponselnya agak kasar di atas meja. Kini Zargo beralih menggerakkan kursinya menghadap Aryan yang duduk di kursi direktur. Tangannya di depan dada menatap Aryan malas.
"Apa lihat-lihat?" tanya Aryan datar tanpa menatap Zargo. "Naksir?"
"Ck," decaknya kesal. "Lo nambahin kerjaan banget, sih." eluh Zargo memutar kursinya kembali menghadap meja.
"Oh, iya. Sengaja."
Zargo menghela napas. "Kenapa nggak kasih tahu kalau lo nunjuk gue?"
"Biar surprise."
Lagi-lagi helaan napas kesal terdengar. Zargo melepas jasnya, meletakkan di sandaran kursinya. Tangannya mengusak rambut ke belakang. Masing-masing lengan kemejanya digulung sampai ke siku. Dua kancing teratas kemejanya dibiarkan terbuka.
"Yang begini kenapa bisa jadi direktur plus raja coba?" gumamnya menggelengkan kepala heran.
"Mending lo cari sekertaris, deh, Yan."
Aryan diam. Berhenti membaca berkasnya. Menatap Zargo dengan raut berpikir. "Boleh, sekalian carikan untuk jadi istri saya."
"What the?! Ini masuk tugas gue juga?"
"Ya, iya. Menurut kamu tugas siapa lagi?"
Zargo mengerang. Melelahkan. "Pengen resign," gumam Zargo memijit pelipisnya pusing. "Tapi nanti gue nggak punya duit."
"Harta kamu tujuh turunan nggak habis aja, nggak perlu pamer."
Tak ada tanggapan. Sepersekian detik kemudian ruangan kembali senyap. Zargo fokus pada pekerjaan mengetiknya. Sementara di ujung ruangan Aryan masih membolak-balikkan kertas dokumen yang sudah dikerjakan oleh Zargo. Beberapa kali dan cukup lama, sampai akhirnya ia mengambil sebuah pena. Benar ternyata. Terlalu banyak berkas yang harus dia tanda tangani.
Padahal, baru tiga minggu lalu Aryan pergi meninggalkan tempat ini. Padahal, hanya tiga minggu Aryan kembali ke kerajaan. Tumpukan-tumpukan ini sepertinya terlalu banyak.
"Ada yang mau interview, tuh." Ucap Zargo setelah menerima pesan masuk di ponselnya.
"Kita buka lowongan?"
"Iya. Terlalu banyak yang harus dikerjain sementara kita kekurangan SDM."
Aryan menoleh terkejut. "Gimana ceritanya kita bisa kekurangan SDM?" Ia meletakkan penanya sembarangan.
"Gimana nggak kurang kalau tiga puluh lima persen yang kerja di sini anggota pasukan semua?"
Astaga, ada hal yang Aryan lupakan ternyata.
Saat portal terhubung terbuka, dan saat Aryan memilih mendirikan perusahaan, banyak anggota pasukan yang memilih ikut bekerja bersamanya. Beberapa pasukan sedang berlatih yang otomatis mereka akan kembali ke kerajaan meninggalkan tugas di bumi. Hanya beberapa yang tetap tinggal di sini.
Semenjak portal dibuka, sudah sedari dulu mereka hidup di dua dimensi. Saat keadaan normal mereka dapat kembali ke dunia manusia sesuka mereka. Namun saat terjadi peperangan, kembali ke kerajaan dan ikut berperang itu lebih baik.
"Ada yang datang." Bisik Aryan mengangkat tangannya membuat gestur menyuruh diam.
Indra pendengaran mereka terlalu kuat. Tangannya mengerahkan sihir merapikan lembaran berkas-berkas yang belum selesai juga bertebaran itu dengan cepat. Zargo tidak menghalangi. Ia membiarkan Aryan melakukan apapun di ruangan ini.
Kesan pertama harus baik. Untuk itu tempat ini harus selalu nampak rapih.
"Punten, slur."
Pintu ruangan itu dibuka. Dua orang masuk tanpa permisi. Ralat, satu orang masuk tanpa permisi, membawa seseorang lain di belakangnya. Untuk yang satu ini, Aryan dan Zargo akan memakluminya. Sudah terlalu biasa ia masuk tanpa ijin. Mereka berdua tidak heran dengannya.
Raien Klaud Achilleus. Panggilannya Rka, disingkat dari keseluruhan nama panjanganya. Seseorang yang kehadirannya dibutuhkan. Petinggi pasukan dengan kekuatan langka namun mengerikan. Seseorang yang ramah saat berada di pekerjaannya. Ia orang yang paling sering ikut rapat atau pertemuan. Ditempatkan untuk memberikan kesan baik pada klien.
"Perkenalkan, ini Aryan Setth. Direktur perusahaan kami. Lamaran kerja di sini langsung di urus sama dia." Jelas Rka pada gadis disampingnya secara singkat.
Aryan menatap gadis itu, menelisik dari bawah ke atas. "Duduk." Titahnya datar.
Melihat Aryan duduk di kursinya, gadis itu ikut duduk di hadapannya. Setelah memberikan berkas milik gadis itu pada Aryan, Rka langsung menjauh dari sana. Memilih duduk di depan Zargo. Wajah lelaki itu tampak kusut karena pekerjaan rumitnya.
"Pusing banget lo kayanya."
Sebuah suara menginterupsinya, Zargo mendongakkan kepalanya. Menghela napas, mendapati Rka memandangnya kasihan. Rambutnya kembali diusak ke atas. "Bos lo makin hari makin hilang ahlaknya."
"Ditambahin lagi tugas lo?"
Ia mengangguk, "habis disuruh ngerjain ini tugas, gue ditunjuk jadi petinggi pasukan, ditambah nyari sekertarisㅡlo udah ambil peralatan?"
Rka menatap Zargo prihatin. Ia kini menggeleng menjawab pertanyaan terakhirnya. "Banyak klien besar yang nggak bisa ditinggal di sini, jadi gue titipin sama Taraka. Lo?"
"Sama."
Di meja seberang, Aryan tampak mengamati wanita di depannya. Menatap wajahnya lamat-lamat. Wajahnya tampak familiar. Seperti Aryan pernah melihat sebelumnya atau bahkan mengalami beberapa waktu bersamanya. Aneh, ya? Agak sedikit mengganggu.
"Kamu yang tadi pagi?"
"Eh?" Gadis tadi mendongak. Tubuhnya tampak sedikit terlonjak. Ia memberanikan diri menatap lelaki di depannya. "I-iya."
Suara lembut, tatapan nyalang, nada takut-takut. Benar ternyata dugaannya. Wanita yang di depannya saat ini adalah tetangga barunya yang tadi pagi dia suruh membawa kembali makanannya. Sepertinya Aryan harus meminta maaf karena bersikap tidak sopan.
Tidak.
Apa itu minta maaf?
"Nama kamu?"
"Bae Violetta Lawren."