Tiga hari sudah terlewati latihan para petinggi yang sangat menghibur diri. Pagi ini, sebagian besar pasukan memilih untuk kembali ke bumi, sementara sisanya tetap berada di kerajaan untuk berlatih sendiri.
Pagi ini, portal dimensi terbuka berkali-kali. Seluruh lingkaran besar memunculkan latar suasana bumi, tempat tujuan mereka untuk kembali.
Gedung perusahaan Setth juga kembali terpenuhi setelah puluhan orang yang tidak terlihat beberapa hari kini menampakkan batang hidungnya lagi. Beberapa karyawan baru ikut bingung sendiri dibuatnya. Mengapa puluhan orang itu muncul dan menghilang bersamaan?
Kebingungan mutlak tanpa terkecuali, Violetta yang tempo hari sempat diberi pengertian pun ikut linglung ketika ruang meeting pagi ini sudah dipenuhi beberapa orang penting. Bahkan saat bosnya menelepon memintanya menyiapkan beberapa berkas, ia sempat terdiam beberapa saat sebelum menjawab.
Saat ini, di sebuah ruang persegi dengan kaca di setiap sisi, Violetta terjebak. Masing-masing orang yang hadir memancarkan aura mencekam dan memenuhi ruangan, membuatnya tak nyaman.
"Berkasnya ada di rak atas," Aryan menunjuk salah satu rak di ujung ruangan tanpa peduli siapa yang akan mengambilkan.
Decitan suara kursi terdengar, Rka mengambil inisiatif untuk bangkit dari kursinya lalu berjalan ke ujung. Tangannya mencoba meraih sesuatu yang sudah tersusun di rak paling atas sesuai dengan instruksi Aryan tadi.
"Ini, Pak?" Ia mengangkat satu map tebal.
Mata Aryan sedikit memicing sebelum akhirnya kepalanya menggeleng, "bukan, atasnya."
Rka berjinjit lagi untuk mengembalikan berkas yang sudah diambilnya tadi ke tempat semula. Ia harus berusaha lebih keras untuk mencapai rak di bagian yang lebih atas guna mengambil berkas lainnya.
Saat mulai kelelahan, seseorang yang baru saja masuk ke ruangan langsung berjalan mendekat. Tangan panjangnya terulur untuk mengambil berkas yang dimaksud Aryan tadi.
"Minta tolong, Ka, kalau nggak bisa." Kata Aksaka pelan. Tangannya menyerahkan map berkas pada Rka lalu ia beralih duduk di kursinya.
Rka duduk di samping Raizel setelah memberikan berkasnya pada Aryan. Di seberangnya, Zargo nampak menahan tawa dengan wajah meledek. Kurang ajar memang.
"Weekend mau ikut gue nggak, Ka?" Tanya Raizel sembari meletakkan lembaran materi yang akan dibahas.
"Ke mana?"
"Berenang, biar tinggi."
Rka mendecih keras-keras, "berenang biar tinggi? Ubur-ubur tiap hari berenang. Tinggi enggak, lembek."
Aryan dan Zargo tergelak bersamaan. Bayangan tekstur tubuh ubur-ubur yang katanya 'lembek' itu benar-benar terlintas dalam pikiran keduanya. Dari sana, Violetta bisa dengan mudah menarik kesimpulan, bahwa humor mereka buruk sekali.
Sejenak, gelak tawa di ruang itu kembali terisi. Setelah sepuluh menit diisi basa basi, akhirnya candaan itu berhenti. Berganti dengan tiap pandangan yang menatap serius pada seseorang yang sedang melaksanakan presentasi, sambil sesekali melirik pada kertas materi.
Rapat berjalan setengah jam, Aksaka menyampaikan presentasinya dengan singkat dan cepat. Violetta mencatat beberapa tambahan dan memeriksa ulang agar tidak ada satupun hal yang terlewat.
Vio memperhatikan sekilas atasannya yang terdiam untuk beberapa saat. Pria itu sempat tertangkap pandangannya sedang bergumam tidak jelas.
Baru saja merapikan kertas materi presentasi, Aryan membuka suara yang membuat seluruh kegiatan mereka terhenti secara tiba-tiba. "Dexvan menemukan jejak 'mereka'."
Keadaan hening beberapa saat sampai Rka menyahut, "di mana?"
Sekejap, tangan kiri Aryan tampak berpendar putih terang. Telapak tangannya menyentuh meja besar perlahan. Seberkas cahaya itu mulai menyebar memenuhi meja membentuk pola rumit layaknya sebuah peta.
Telunjuknya mengarah pada cahaya pertama. "Itu sekolah tinggi tempat Melvin bekerja."
"Apa Melvin sendiri bisa mengatasinya?" Tanya Raizel. Nada bicaranya penuh dengan keraguan.
Zargo bertopang dagu, "seberapa jauh jaraknya dari kampus besar yang juga menaungi sekolah itu?"
"Tiga kilometer."
"Berikan pada kembar Anthoni. Mereka bertiga tim yang baik 'kan?"
Semuanya mengangguk menyetujui saran yang Zargo berikan. Saking seriusnya, mereka sampai melupakan bahwa ada seseorang yang tidak mengerti sama sekali masih duduk di sini. Vio hanya menatap mereka satu persatu. Menyimak antusias namun sedikit linglung.
Aryan beralih menunjuk cahaya kedua, "ah, gedung kasino yang pembangunannya berhenti. Letaknya di jajaran toko-toko orang Tionghoa. Terlalu banyak mafia besar di sana."
"Siapa orang besar yang punya banyak koneksi?" lanjut Aryan. Ia menatap para anggotanya.
Raizel menyenderkan tubuhnya di kursi, memijit pelipisnya perlahan. Tak sengaja ia mendongak mendapati Aksaka diam ikut berpikir. "Pack dua itu lumayan, lagipula, anggota pack dua tidak terlalu sibuk."
Aksaka langsung mendongak mendengar bagian pasukannya disebut oleh Raizel untuk dijadikan saran. Saat ingin menjawab, Zargo sudah menyela. "Siapa saja yang bergerak?"
Tak memberikan jawaban pasti, Aryan langsung melemparkan pertanyaan pada Aksaka selaku petinggi pack dua. "Siapa saja yang cukup kuat untuk melawan tanpa mengulur banyak waktu dan tenaga?"
Aksaka kembali berpikir. Otaknya memunculkan kemungkinan berhasil-gagal atau hal lain yang kemungkinan dilakukan orang-orang yang akan dipilihnya.
"Kupikirkan lagi nanti." Putusnya menggantung. Yang lain hanya mengangguk menanggapi.
Beralih lagi, Aryan menunjuk tempat terakhir yang menyala terang. Rka langsung menyambar sebelum Aryan sempat melontarkan kalimatnya.
"Soal hall pertemuan di tengah kota, kita serahkan saja pada Baron dan Taraka. Mereka akan ada di sana."
Violetta masih tidak mengerti apa-apa namun ia tetap bungkam sampai saat rapat itu selesai dan mereka kembali ke ruangan masing-masing. Sesaat sebelum menutup pintu ruangan, wanita itu menangkap Rka masih belum beranjak dari kursinya.
"Ka, saya tinggal, ya?"
Rka menoleh sebentar, ia mengangguk cepat sebelum kembali menatap pada ponselnya. Dahinya berkerut cemas setelah membaca pesan masuk yang tertera pada layar.
"Kamu melakukan 'itu' lagi, ya?"
•••
Ceceran darah segar ada di mana-mana.
"Tenggara!" Suara teriakan yang sangat familiar itu menginterupsi pergerakannya.
Tubuhnya berputar menuju arah yang diperintahkan. Sebuah panah hampir melesat menuju tubuhnya. Berusaha menangkis dengan pedang namun malah memotong panahnya.
Napasnya terengah, netranya kembali menatap sekeliling dengan awas. Seseorang di sampingnya berdiri tegak siap berkelahi. Seorang yang lain maju menyerang.
Dia berbalik, masih memperhatikan sekitar. Terlalu banyak yang gugur di medan pertempuran. Situasi ini ...
Perang terakhir.
Ia meringis merasakan sesuatu melukai tubuhnya. Apa-apaan? Ia lengah?
Seorang wanita berdiri dibelakangnya dengan pedang yang terarah pada tubuhnya, berusaha memenggal kepala. Seorang mate yang tidak terkena pengaruh apapun, terlihat dari matanya yang mengkilat penuh amarah.
Suara robekan terdengar, suara sesuatu yang terkoyak cukup dalam. Darah segar terus mengalir dari leher. Rasanya menakutkan.
Jadi, ini akhirnya?
Tubuhnya jatuh lemas. Kepalanya jatuh menyusul kemudian. Tubuhnya berakhir mengenaskan.
Sebelum selesai, pandangannya menatap seseorang. Sepertinya itu sosok wanita yang berhasil memenggal kepalanya. Tubuh wanita itu dibelah dari belakang dengan pedang merah.
Ia tersenyum.
•••
"Hah!" Ia terbangun.
Lagi-lagi kematian itu.
Thalita menoleh mendapati putranya sudah terduduk dengan sisa napas yang terengah. Wanita itu tersenyum lalu duduk di sampingnya. Ia menyeka keringat di wajahnya yang mengucur cepat.
"Mimpi buruk lagi?" Yang ditanya hanya mengangguk. Ia menatap lurus dengan pandangan kosong masih sambil mengatur napasnya.
Thalita mengulurkan tangannya menyibakkan poni yang menutupi dahi putranya ke atas. "Pukul berapa kamu pulang?"
Ia mengangkat bahu acuh.
"Kamu selalu begini setiap pulang dari sana," kata Thalita heran. "Begadang semalaman dan akhirnya jatuh tidur. Kamu berusaha terjaga seharian menghindari mimpi itu, kan? Lihat, wajah kamu udah mirip mayat hidup."
Pernyataan itu cukup menyentak dirinya. Ah, bukan mirip mayat. Tapi sebenarnya ia memang sudah mati. Hanya diberi kesempatan hidup saja.
"Ma," panggilnya pelan. Dari sekian banyak hal yang ingin ditanyakan, dan yang keluar hanyalah tiga kata. Bodoh. "Raka mau makan."
Thalita tersenyum kemudian beranjak keluar dari kamar menyisakan seorang pemuda terduduk di kasur sambil menghela napas. Pemuda itu hampir beranjak sebelum akhirnya kembali duduk karena dering teleponnya.
"Ta!" Seru seseorang dari seberang yang dibalas dengan deheman singkat. "Lo habis mimpi buruk lagi?"
Lagi-lagi ia menjawab dengan deheman.
"Maafin gue. Nanti gue ke perpustakaan, deh. Kita harus cari cara supaya lo nggak terus-terusan dapet dampak buruk kekuatan gue."
Ia mengangkat sebelah alisnya sambil berpikir sejenak. "Nggak perlu."
"Tapi—"
"Nggak, Ka. Ini lebih baik. Jadi, gue bisa tau kalau lo baik-baik aja, karena kita terhubung."
Sejenak hening. Taraka yang tak mendengar jawaban dari Rka segera mengalihkan pembicaraannya. "Kenapa telepon?"
Suara pekikan kecil terdengar. Sepertinya terkejut. "Hall pertemuan tengah kota."
"Ya."
•••
"Ini aja, satu. Sama ini, nih," telunjuknya terus bergerak menunjuk gambar di menu. "Yang ini tujuh."
Seseorang yang berdiri di belakang meja kasir segera memberikan daftar harga yang harus dibayarkan oleh pemesannya. Ia juga memberikan daftar pesanan yang harus dibuat pada rekan di sampingnya.
"Petinggi?"
"Hah?"
"Gambar panah di punggung tangan kanan itu. Lo, petinggi pasukan 'kan?" Ulangnya lagi. "Si Kembar?"
"Oh, lo juga—?" Yang ditanya mengangguk dengan senyum.
"Daneil Rakabumi." Ia mengulurkan tangannya.
"Dariel Taraka Aldevaro." Balas Si Pembeli ikut menyambut uluran tangannya. "Lo kerja di sini?"
Bumi menggeleng, "gue yang punya tokonya."
Ia mengangguk-anggukkan kepala tanpa minat mengatakan apa-apa.
Suara bel berbunyi menandakan pintu toko baru saja dibuka. Seorang gadis masuk dengan senyum ramah.
"Pesan seperti biasanya?" Bumi berinisiatif pada gadis itu. Ia mengangguk lalu duduk di kursi samping pelanggan sebelumnya.
"Kenapa keluar sendiri?" Taraka berbasa-basi.
"Oh, Kak!" Gadis itu sedikit membungkukkan badannya menyapa seseorang yang sempat kawannya kenalkan sebagai manajer dari grup lain. "Iseng aja, mau keluar sendiri."
"Lain kali minta ditemenin manajer, malah kalau bisa manajernya aja yang keluar." Jelas Taraka cepat dan langsung dibalas dengan anggukan dan senyuman.
Pesanan selesai. Bumi memberikan sekotak minuman berukuran sedang dan satu kotak lain berisi kue yang sempat dipesan tadi. Bumi juga mengambilkan pesanan gadis itu dan memberikan daftar harga.
"Ini," baru saja gadis itu hendak mengeluarkan dompetnya, seseorang lebih dulu mengulurkan uang pada kasir.
"Eh?"
"Besok kalau keluar sendiri telepon saya aja, biar saya temani. Ya, Zylvechia?" Tanpa menunggu jawaban, Taraka beranjak pergi membawa kardus ukuran sedang di tangannya.
Keduanya menatap pintu yang baru saja ditutup dari luar. "Lo, deket sama dia?"
Zylvechia menggeleng, "gue baru liat dia dua kali. Dia sibuk banget kelihatannya."
Bumi mengangguk setuju, "sama, gue juga baru lihat dia dua kali."
Tangan Bumi terulur memberikan pesanan, Zylvechia meraih kardus kecil berisi dua gelas minuman itu dengan tangan kanannya diikuti tangan kirinya menyangga dibawah kardus. Sebuah ukiran apik tulisan latin yang tergambar di pergelangan tangan gadis itu menarik perhatian Bumi.
"Ada hubungan apa sama Taraka?"
•••
[ #KINGDOM ]