Zargo berjalan sempoyongan, seperti kehilangan keseimbangan. Mobilnya ia tinggalkan di parkiran gedung kasino. Memilih pulang menaiki taksi adalah satu-satunya pilihan terbaik. Buruknya, ia bukan pulang ke rumahnya.
Kurang satu jam lagi sebelum waktu mencapai tengah malam. Kaki panjang Zargo melangkah perlahan dengan sisa kesadarannya mencapai ke pintu lift. Telunjuk kirinya menekan tombol lift tidak sabaran, tak mau berhenti sampai pintu itu akhirnya terbuka.
Ia masuk tanpa sadar memencet tombol paling atas. Punggungnya menyandar di dinding lift, masih merasa pusing. Suara bel ringan terdengar bersamaan dengan terbukanya pintu lift.
Masih berjalan sempoyongan sambil sesekali tersenyum atau bahkan tertawa seperti seorang gila, Zargo mulai merasa mual. Rasa pusing di kepalanya meningkat, luar biasa sakitnya.
"You're much late, Mr. Alexan."
"Wow! You're drunk, aren't you?"
Zargo mendongak. Mendapati dua orang familiar menatapnya dengan senyum. Bukan senyum ramah, mereka sedang menyindir.
"Oh," Zargo menjedanya dengan kekehan kecil. "Hai, twins!"
"Beneran mabuk ternyata." Kata Rka membenarkan keadaan. "Ya udah biarin aja."
Keduanya hampir pergi saat Zargo akhirnya kehilangan keseimbangan. Tubuhnya dibiarkan tengkurap karena jatuh. Tak lama. berubah telentang sambil sesekali terkekeh.
Helaan napas keduanya terdengar.
"Ta," panggilannya dibalas deheman. "Gendong."
Yang diajak bicara menggeleng, "badan dia lebih besar."
"Tinggalin?"
"Kasihan."
"Gotong?"
"Berat."
"Seret?"
"Seret!"
Keduanya melangkah maju. Berpindah berdiri ke dekat kepala Zargo. Rka menarik tangan kanannya, sementara Taraka bersiap menarik tangan kirinya. Sial! Tangannya sangat lemas. Pasti akan berat.
Bersamaan, mereka mulai mengangkat tangan Zargo sambil menarik tubuhnya untuk berbalik ke dekat pintu lift.
"Berat, sial!"
"Bentar-bentar," tangan kiri Zargo dilepas. Diikuti tangan kanannya. Taraka menegakkan tubuhnya, "gila! Gue bisa sakit punggung!"
Rka mengikuti dengan melemaskan tangannya. "Heh!" Satu tangannya menepuk lengan Zargo kesal. "Lo makan apaan?! Berat banget."
Lagi-lagi hanya tersenyum menyebalkan.
"Makan kamu. Aum!"
Rka-Taraka kompak mendelik melihat Zargo melakukan gerakan seperti macan menunjukan cakarannya sembari mengaum.
"Udah gilaa!"
Kali ini Zargo tertawa.
"Kenapa dia?"
Suara barusan membuat mereka sontak menoleh ke belakang. Aryan berjalan mendekat dengan kedua tangan masuk ke saku. Ia berhenti melangkah saat sudah sampai di dekat kaki Zargo.
"Heh!" Aryan menendang kaki Zargo pelan menggunakan kaki bagian dalamnya. "Mabuk lo?"
Zargo membuka matanya, mendongak, lalu sedikit menaikkan tubuhnya untuk melihat orang di depannya. Ia tertawa lagi, lalu melanjutkan posisi telentangnya.
"Hai, bos!"
"Nyusahin lo kalau mabuk!"
Satu kalimat yang mendapat validasi dari si kembar secara langsung, tanpa perdebatan.
Suara bel berdenting kembali terdengar. Seseorang keluar dari pintu lift langsung disambut dengan tiga orang yang sedang menatapnya. Sedangkan satu yang lain terkapar di lantai.
"Wah, rame!"
"Saka-saka, bantu angkat, deh."
Aksaka mengalihkan pandangannya ke arah yang ditunjukkan Taraka. Ia mengernyit heran, kemudian berjalan mendekat.
"Mabuk dia?"
Pertanyaannya kompak mendapat anggukan. Aksaka lanjut melihat mereka satu persatu. Si kembar tampak kelelahan sementara Aryan masih tegap. Zargo tetap terbaring lemas. Sesekali tertawa.
"Mau dibawa ke mana?"
"Apanya?"
"Hubungan kita."
"Sinting!"
"Zargo, Taraka!"
Semua beralih menatap Aryan. Meminta pendapat. "Ck, di ruangannya aja. Ada sofa panjang di sana."
"Oke!" Aksaka menjentikkan tangannya. Sebuah cahaya melingkar di sekeliling tubuh Zargo. Membuat warna gradasi di dalam lingkarannya. Lalu tubuh Zargo menghilang dalam sekejap.
"Selesai!"
Aksaka menepuk tangannya. Membersihkan sesuatu di tangannya, lalu berbalik. Ia masuk kembali ke dalam lift tanpa ada kejelasan maksud kedatangannya.
Lift bergerak turun menuju lantai dasar. Tujuannya saat ini adalah pulang. Tangan Aksaka iseng masuk ke dalam satu ruang dimensi kecil miliknya. Mengambil sesuatu secara acak dari dalam sana.
"Eh? Seharusnya tadi menyerahkan ini, kan?"
﹌
Masih di lantai teratas gedung, tiga orang yang tersisa kini berpandangan heran. Satu masalah selesai, kebingungan lain melanda.
"Gitu doang?" Tanya Rka memastikan.
Aryan mengangguk.
"Aneh."
"Kalian berdua masih mau di sini?" Aryan berbalik melihat keduanya. "Saya ad-"
"Senang bekerja sama dengan bapak." Rka menjeda cepat kemudian membungkukkan badan, diikuti Taraka dari belakangnya.
Keduanya cepat-cepat berbalik untuk pergi ke dalam lift. Meninggalkan bosnya yang masih berdiri canggung karena perkataannya dipotong cepat.
"Kabur mereka," gumamnya.
Bahunya terangkat sebentar lalu kembali melangkah. Dengan ringan ia pergi ke ruangan Zargo. Ponselnya diambil untuk menghubungi seseorang.
"Zargo dari sana?" pertanyaannya mendapat jawaban 'tidak' dari seberang. "Minggu ini Zargo belum ke sana? Bukan, dia mabuk. Kasino? Tumben. Oh, gitu. Thanks, Van."
Panggilan berakhir.
Aryan sudah berdiri di depan ruangan Zargo. Pintu besar ruangannya di dorong menimbulkan sedikit suara bergema. Dilihatnya Zargo tertidur di atas sofa panjang. Pakaiannya sudah agak teracak tidak beraturan. Satu kakinya menapak di lantai.
Memejamkan matanya sebentar, masih sambil terus berjalan mendekat. Tepat di depan sofa, kedua matanya terbuka. Lingkaran seperti cincin berwarna emas menghiasi iris obsidiannya. Mata kanannya berubah merah muda namun lebih gelap.
Kejadian beberapa jam yang lalu terlintas seperti hologram di depan wajah Aryan. Dua orang duduk di atap berdua. Perbincangan mereka ringan. Tidak ada yang menurut Aryan dapat membuat Zargo mabuk alkohol.
"Punya partner? Gue mau kalau lo nggak punya."
Zargo berhenti bicara. Gadis itu juga. Atap gedung diisi keheningan.
"Zee,"
"Enggak sekarang juga, kok."
"Bukan, maksudnya-"
"Gue udah pernah jadi partner sebelumnya. Tenang aja."
Aryan menyimak percakapan keduanya dengan tenang. Isi kepalanya penuh meneliti sesuatu.
"Can you?"
"Apa?"
"Ayolah! Lo paham kok!"
Adegan berganti.
Kali ini di depannya hanya ada tempat terang. Tempat yang penuh dengan warna putih. Hanya ada suara-suara kebimbangan. Zargo terus membuat pilihan. Dua pilihan yang tidak bisa dia tentukan sendiri jawabannya.
Ah, ini yang membuatnya memutuskan untuk minum.
Aryan mencoba berjalan masuk.
Tidak bisa. Langkahnya tertahan.
"Kamu bisa mati."
Aryan menoleh. Mencari-cari sumber suara yang tadi menginterupsi langkahnya. Tidak ada siapapun. Hanya ruang penuh warna putih yang tampak hampa.
Aryan mencoba memaksa untuk melangkah masuk. Hampir bisa.
"Satu langkah saja," lagi, suara itu menginterupsinya lagi. "Kamu akan mati."
Sedikit suara hentakan mengembalikan total kesadaran Aryan. Iris matanya kembali berubah obsidian. Tanpa lingkaran emas atau warna merah muda gelap menghiasi matanya. Kembali seperti semula.
"Merampas lagi?"
Aryan menoleh ke arah pintu masuk ruangan. Seseorang lain berdiri di ambang pintu, bahunya menyandar sambil tangannya terlipat di depan dada, menonton hal yang beberapa menit lalu dilakukan Aryan.
"Sejak kapan?"
"Sejak anda menggunakan kekuatan petinggi terakhir?" sarkasnya.
Ia melangkah masuk, beberapa langkah sampai akhirnya berdiri sejajar dengan Aryan. Tatapannya terarah pada Zargo sebentar, kemudian kembali menoleh pada Aryan dengan senyuman kecil.
Ia menghela napasnya pelan.
"Ada beberapa batas yang tidak bisa dilewati oleh setiap orang. Kekuatan petinggi keempat termasuk salah satunya." Dia terkekeh sebentar. "Bagus kekuatan Zargo dan si kembar tidak dapat dirampas sedikitpun."
Aryan membenarkannya.
Hanya mereka bertiga.
"Kalau mencoba menyentuh jiwa dan roh mereka sedikit saja, justru anda yang akan mati."
Aryan menatapnya heran, "saya juga tidak bisa mengambil sedikitpun kekuatan kamu, Dexvan."
"Tidak ada yang berguna jika anda yang memiliki kekuatan ini." Katanya sedikit meledek.
Dexvan menekuk lututnya didepan sofa. Tangannya bergerak membuat gestur seperti sedang mencengkram sesuatu. Membiarkan Zargo ditempatnya diam dengan kesakitan sampai akhirnya terbangun dan sadar.
Aryan hanya menyaksikannya dengan diam. Ia sedikit mundur saat Zargo mulai duduk. Dexvan berdiri, sedikit mundur menjauh dari tempatnya semula. Ia menghadapkan tubuhnya pada Aryan dan Zargo, sedikit membungkukkan badan.
"Boleh saya bicara, Yang Mulia?" Badannya ditegakkan kembali. Masih dengan senyum di wajahnya dia berkata, "ini tentang Luna, Ratu Voreia."
﹌﹌﹌
Di mejanya, Violetta mengangkat lurus kedua tangannya tinggi-tinggi. Ia sedang merenggangkan otot-otot tubuhnya. Menghabiskan setiap harinya berada di perusahaan ternyata memang cukup melelahkan. Bahkan hanya menginap semalam di perusahaan membuatnya sangat lelah.
Rasanya, berada bersama banyak manusiaㅡdengan aura yang tak biasaㅡini semakin menambah kelelahannya.
Sudah hampir petang, dan suara langkahan kaki mendekat membuatnya mendongakkan kepala. Dari kejauhan, sekitar sepuluh meter jauhnya. Makhluk yang akhir-akhir ini menarik perhatiannya, berjalan mendekat.
"Saya lapar," ujar Aryan memandangnya datar.
"Ah, mau saya belikan makan di kantin kantor atau mau pesan makanan cepat saji?" tanya Vio ramah sembari mengangkat ponselnya.
Tanpa basa-basi, tangan kirinya yang tadi mengangkat ponsel itu kini berpindah berada di genggaman sang direktur. Menarik tubuhnya mendekat agar mereka dapat berjalan beriringan.
"Temani saya makan."
Keduanya berjalan berdampingan dengan sebuah genggaman tangan. Mereka sukses mencuri perhatian puluhan karyawan kantor yang belum pulangㅡuntuk kerja lembur ataupun yang belum mau pulang. Tatapan heran ataupun kagum terus ditujukan pada mereka berdua.
Kesuksesan tersendiri untuk penulis cerita fiksi soal hubungan asmara yang terjadi antara direktur dan sekertarisnya. Cerita seperti itu benar-benar menarik atensi banyak orang.
Aryan membukakan pintu samping pengemudi untuk sekertarisnya terlebih dahulu. Mempersilakannya masuk layaknya seorang putri. Ah, ralat. Mempersilakan masuk putri kerajaan itu harus dengan hormat bukan dengan bicara datar dan tatapan intimidasi.
"Duduk di sini. Saya bukan supir kamu."
Mau tidak mau, Vio harus duduk di depan sana, berdampingan dengan seseorang asing dalam sebuah mobil. Berdua. Dengan bosnya. Lagi. Kejadian terakhir adalah saat hujan lalu, dan Vio berakhir mendapatkan sebuah gigitan sialan yang membuatnya terikat dengan bos anehnya itu.
Mereka sampai di sebuah restoran berbintang yang cukup terkenal. Lagi. Bahkan saat mereka masuk dengan tenang selalu saja terlalu banyak orang yang menatap mereka kagum. Sepertinya daya tarik visual mereka sangat memukau.
"Pesan." Aryan menitahnya.
"Eh? Tadi bapak minta ditemani makan."
"Makan!" Suruhnya lagi. Masih dengan tatapan intimidasi yang cukup kuat. "Ada banyak pertanyaan dari kamu yang harus saya jawab."
"Saya?"
Aryan memundurkan tubuhnya, membuatnya bersandar di sandaran kursi. "Saya tahu kamu punya banyak pertanyaan."
Vio mengangguk, mulai memesan makanan. Sebaliknya, Aryan malah hanya memesan sebuah kopi panas untuk dirinya sendiri. Vio berdecih di dalam hati.
Keadaan masih senyap. Mereka berdua terdiam. Aryan yang menatap Vio lekat dan Vio yang menikmati alunan musik yang mendominasi ruangan. Membuat keadaan khas romansa muda mudi yang sedang kasmaran begitu kentara.
Alunan melodi lembut kembali terdengar. Seorang pemain piano mulai menekan tuts beraturan membuat larut para pendengar. Iringan lembut lagu klasik itu cukup menghanyutkan suasana.
Vio benar-benar menikmatinya.
"Kamu suka?" Aryan memandangnya lembut.
Vio mengangguk dengan senyum manis. "Bapak sering datang ke sini?" tanyanya ramah.
Aryan ikut tersenyum lalu menggeleng, "Ini pertama kalinya."
Percakapan berhenti. Vio tidak bertanya lebih lagi. Ia memilih menikmati suasana tenang ini.
Lima belas menit. Pesanan mereka datang. Di bawakan oleh pelayan yang ramah. Senyumnya terus ditampilkan, melihat sang gadis yang duduk cantik dengan anggunnya, dan laki-laki tampan yang duduk dengan gagahnya.
Baru saja ingin membuka mulutnya, Aryan menyelanya, "makan dulu." Tekannya lalu menyesap kopi panas yang sudah ia pesan.
Lagi-lagi Vio hanya diam lalu melanjutkan makan. Aryan Setth itu... terlalu sulit untuk dibantah.
"Luna." Satu kata yang terdengar barusan membuat Vio mendongak, menatap Aryan sempurna. "Luna itu artinya bulan."
"Kamu pasti familiar dengan cerita kuno pada abad kedelapan belas. Dengan adanya sebuah lukisan yang menggambarkan tentang manusia serigala.
"Pengetahuan sekarang atau istilah serapan Yunani Kuno. Lykanthropos. Lykos yang artinya serigala dan anthropos yang artinya manusia. Kepercayaan akan makhluk itu sudah ada sejak abad kelima belas yang sampai sekarang tidak ada habisnya.
"Sudah terlalu banyak ilmu ataupun mitologi soal manusia serigala yang berbeda di tiap negara. Yunani Kuno, Eropa, Roma, Norwegia Lama, Rusia, Prancis. Terlalu banyak."
Aryan menghela napasnya, bersiap membicarakan hal lebih banyak lagi.
"Dalam cerita mitologi, werewolf akan berubah saat terjadi bulan purnama. Namun, werewolf juga akan mendapatkan mate-nya. Their partners. Saat sudah menemukan partnernya, para werewolf akan segera menandai mereka. Agar tidak ada yang merebut partner kami.
"Para mate seharusnya dapat mengontrol kekuatan para werewolf. Kedudukan saya adalah Alpha." Mendengar kalimat terakhir, Vio sedikit mengernyit tidak paham, agak sedikit tidak nyambung. "Saya pemimpin mereka."
Aryan menjeda ceritanya. Membiarkan Violetta minum sebentar sekadar membasahi kerongkongannya.
"Alpha hanya memiliki satu partner sampai mati. Luna saya mati. Itu sudah sangat lama. Ratusan tahun lalu jadi kamu belum lahir. Reinkarnasi di kalangan werewolf itu sebuah hal yang luar biasa. Para mate tidak bisa mati begitu saja, jadi reinkarnasi itu tidak memungkinkan."
Vio masih diam. Menyimak cerita mitologi manusia serigala yang ternyata semenyenangkan ini saat didengar langsung.
"Violetta Setth. Itu Luna saya." Ujar Aryan kembali setelah menghabiskan kopinya.
"Dia mati. Ratusan tahun tanpa reinkarnasinya. Saya tidak menemukan seseorang untuk menjadi partner saya.
"Kembali ke tempat ini setelah berada di dunia paralel dan bertemu dengan reinkarnasi Luna saya itu... sebuah keberuntungan."
Selesai. Cerita itu panjang seperti dongeng pengantar tidur. Vio menegakkan tubuhnya, kembali merenggangkan ototnya.
"Jadi, saya itu luna-nya bapak?"
"Kamu belum mengerti?"
Vio menggeleng, "bukan. Saya hanya mau memastikan supaya tidak salah paham."
Dongeng dan makan malam berakhir.
Aryan mengajak Violetta pergi dari tempat itu, menuju ke tempat lain di dekatnya. Ada seperti gedung teater, masih dalam keadaan gelap karena belum dimulai.
Beberapa menit menunggu, terlihat dua orang memainkan adegan. Satu orang memainkan peran sebagai ratu, ia bernyanyi. Suaranya saat memainkan nada tinggi terdengar sangat mahal. Terlalu indah diperdengarkan di tempat teater biasa. Satu yang lain sepertinya berperan sebagai puterinya.
"Kamu tahu judul adegan di sana?" Vio menggeleng cepat. "Queen of The Night."
Vio mendengarkan antusias.
"Seperti kamu."
Kini dia menoleh terkejut. "Kenapa saya?"
"Queen of The Night itu seperti Luna. Ratu malam hari bersama Sang Alpha beserta kelompoknya menguasai malam."
"It means, you are the queen and i am your king."
Violetta terkekeh. "Apa kisahnya seperti Romeo dan Juliet?"
Aryan menggeleng, "kisah Romeo dan Juliet itu tragis." Jawabnya sambil memberhentikan langkahnya. Hal itu membuat Vio ikut berhenti lalu menghadapkan tubuh kepadanya.
"Tapi, Romeo dan Juliet itu romantis."
Aryan menggeleng lagi, "bukan tentang Romeo dan Juliet, kisah ini tentang Sang Alpha yang kembali menemukan Luna-nya."
"Saya ingin kisah Aryan dan Violetta itu seperti makna bunga baby breath. Sejati. Tak pernah berakhir."
"Be my Violetta Setth, once again."
"Should I?"