Tahun ke dua belas, hari ke sepuluh.
Voreia di awal dimensi ketiga belum memiliki banyak angka kemunculan manusia baru semenjak kelahiran pewaris tahta di akhir dimensi kedua. Hanya ada sejumlah kematian dari manusia lama dimensi kedua yang masih tersisa.
Kerajaan kembali memulai dari awal.
Voreia masih kosong, malam hari terasa sangat gelap karena asterium belum banyak tumbuh. Hanya ada di satu tempat di bagian selatan. Di luar pelataran kerajaan, terdapat satu bukit tinggi tempat bongkahan besar kristal bintang itu tumbuh.
Cahaya bintang yang paling terang menyorot kristal utama sampai menyentuh tanah, menembusnya dari lapisan terluar. Menyorot sebuah podium segi enam tersembunyi diantara bongkahan besar itu.
Satu manusia lain telah muncul sebelumnya.
Jauh di utara, belasan kilometer di luar pelataran istana. Terdapat sebuah goa menuju bawah tanah dengan nuansa penuh berwarna merah. Belum pernah seseorang datang dan masuk.
Tidak banyak pengetahuan mengenai tempat di perbatasan maupun di luar istana.
Cahaya bulan malam itu terbagi dua, menyorot terang dua tempat berbeda di bagian utara. Satu di pantai utara, yang lain masuk sampai ke dalam goa.
Seluruh kristal berwarna merah di dalam sana ikut berpendar terang bersamaan dengan sorotan merah cahaya bulan. Malam itu menjadi saksi bergabungnya dua energi, sedang mengitari dalam enam sisi membentuk sebuah podium baru.
"Raien Klaud Achilleus."
Seseorang berpakaian sederhana berdiri di atas podiumnya sendiri. Sambil sedikit menunduk, membaca tulisan melintang di bagian atas dekat kakinya berdiri dengan kikuk. Itu namanya.
"Heh? Bagaimana mengejanya? Er...ka. Rka?" Ekspresi wajahnya berubah aneh, sedikit kikuk saat mengeja namanya.
Keluar dari podium, ia berjalan-jalan untuk melihat. Sayangnya, goa ini hanya dipenuhi bongkahan kristal merah, tidak ada hal menarik lainnya, selain...
"Senjata utama?"
Sebuah area yang lebih kosong dihubungkan tangga besar itu menarik atensinya. Kristal permata menggantung di langit-langit membentuk stalaktit, tidak banyak yang berada dibawah. Lantainya tampak licin, dipenuhi dengan warna merah. Terbuat dari kristal.
Satu pedang tertancap di area tengah, tidak begitu kentara karena warnanya senada dengan isi goa. Merah menyala.
Rka menuruni tangga dengan awas. Perlahan-lahan sambil berjaga kalau-kalau ada sesuatu yang hendak menyerangnya.
Baru saja menapakkan kakinya di lantai terbawah, ia terpeleset. Kakinya menapak bergantian menjaga keseimbangan. Hampir jatuh kalau saja ia tidak segera berpegangan pada salah satu stalakmit di dekatnya.
"Licin," ia mengatur napasnya terengah-engah.
Rka berada dalam kebingungan. Menimbang-nimbang keputusan yang harus dilakukannya sekarang. Bergerak maju untuk mengambil senjata akan membuatnya jatuh berkali-kali. Namun berbalik untuk kembali ke atas, ia juga tidak bisa.
"Baik," belum ada tiga detik tangannya melepas pegangan pada stalakmit, satu langkahan kaki saja ternyata membuat tubuhnya terbanting.
Kepalanya berdenyut pusing. Rka tak yakin apakah saat ini ia terluka atau tidak, yang pasti tubuhnya lemas sekali. Punggungnya seperti baru saja diremukkan, ia tidak bisa bangun.
Beberapa menit dirasa kekuatan tubuhnya sudah kembali, Rka segera bangun. Ia terduduk sebentar, memijit pelipisnya yang masih berdenyut pusing. Ia kembali mengambil selangkah jalan maju. Dentuman menggema di seluruh goa, menyisakan Rka yang lagi-lagi terlentang di atas lantai.
Terpeleset lagi.
Padahal belum ada tiga jam sejak kemunculannya, namun rasanya ia sudah ingin mengakhiri hidup saja. Tubuhnya baru saja diciptakan dan ia kini melakukan proses peremukan.
Dentuman itu terdengar lagi dan lagi. Terjadi berkali-kali sejak tadi.
"Sialan!" Ia mengumpat saat lagi-lagi gerakan satu langkah itu membuat tubuhnya terpelanting jatuh.
Ingin menyerah namun tanggung, ia toh tidak bisa kembali. Rka sesekali mengerang kesakitan ketika tubuhnya lagi-lagi terbanting begitu saja. Kepalanya berdenyut.
Rka berdiri, mengatur keseimbangan tubuhnya sendiri. Dua tangannya direntangkan sementara kakinya ditekuk. Ia menghela napas sebelum akhirnya mengambil satu langkah kecil dengan hati-hati. Kakinya yang lain menyusul maju mengambil langkah kedua.
Terlampau senang, kakinya reflek menjejakkan langkah ketiga. Langkah ceroboh yang diambil terlalu lebar. Alhasil kakinya menapak bergantian, tubuhnya yang membungkuk terdorong maju semakin dekat pada area tengah.
Semakin kehilangan keseimbangan, tangan kanannya terulur hendak menggapai pegangan pada pedang untuk menghentikan langkahnya.
"Akh!"
Tubuh Rka berhenti bergerak. Kakinya juga berhenti melangkah. Tangan kanannya berhasil memegang pedang. Koreksi, mata pedang. Kecepatan dan keseimbangan yang tidak stabil tadi itu membuat tubuhnya maju telebih dahulu, baru tangannya dapat meraih pegangan.
Sayangnya, bukan Rka yang meraih pegangan pedang. Namun pegangan pedang itu yang meraih lengannya.
Ia merasakan sesuatu mengalir keluar dari lengan bawah tangan kanannya. Darah segar menetes dari lengannya menelusuri lekuk pedang sampai menetes ke bawah. Lengannya terkoyak, ia bahkan merasa dapat melihat tulangnya sendiri dari sela-sela daging lengannya yang terbelah dua.
"Moon Goddes sialan!" umpatan terakhir sebelum akhirnya tubuhnya meluruh tak sadarkan diri.
•••
Masih dengan posisi dan tempat yang sama, Rka membuka mata, bangun dari istirahatnya. Ia mengedarkan pandangannya menelisik apakah tubuhnya berada di tempat berbeda. Dikalahkan kenyataan, ia menghela napas berat.
"Memang si sialan itu tidak bisa membuat keajaiban!"
Bangkit dari duduknya, Rka berputar-putar. Ia mencari-cari kemana pedang sialan yang semalam membuatnya kehabisan darah lalu pingsan? Apalagi tangannya... Rka meringis melihat kondisi tangannya.
Lukanya menganga, memperlihatkan potongan daging terbuka di sana. Ia merobek ujung pakaiannya dengan potongan panjang. Kakinya menyangga bagian lengannya yang menganga agar tetap menyatu, dengan kain potongan tadi ia membalut tangannya sendiri. Mengencangkan ikatannya, memastikan agar tidak mengendur atau apapun yang mengakibatkan lukanya kembali terbuka.
Rka mengedarkan pandangan ke mana saja asal tidak menemukan warna merah murni dari kristal di goa. Ia sedang kesal dengan tempat ini. Ia kembali melirik tangga besar penghubung ke bagian goa yang lebih di atas, tempat podiumnya terbentuk.
Melangkah keluar, ia bersiap mendengar dentuman lagi. Namun suara itu tidak kunjung datang. Rka membuka matanya, mendapati tubuhnya berdiri tegak tanpa bergoyang ke kanan ke kiri menjaga keseimbangan.
"Aneh."
Tanpa berlama-lama, ia langsung keluar dari sana. Menaiki tangga besar dan sampai di atas. Berputar-putar mencari jalan sebelum akhirnya meninggalkan podiumnya keluar.
"Akh!" teriaknya lagi. Cahaya matahari menyorot ke tubuhnya, terangnya mengejutkan mata. "Apa sih, ini?"
Matanya mengerjap berkali-kali menyesuaikan cahaya yang masuk. Sekejap kemudian ia melihat hamparan rumput luas.
Rka berjalan-jalan tanpa arah dan tujuan. Ia bahkan hampir tiga kali kembali ke tempat semula sebelum akhirnya mengambil arah lain. Tidak ada orang lain, hanya rerumputan tinggi tak terawat.
Berkilo-kilometer ia berjalan, suara deburan ombak dan aroma khas yang ditiup angin menarik perhatiannya. Rka berlari, ingin cepat-cepat melihat apa yang ada di balik sana.
"Hebat!" Ia terkagum.
Pantai pasir putih di hadapannya dengan lautan luas membentang. Ia berdiri di dekat garis pantai, membiarkan kakinya dibasahi sisa ombak yang terpecah sementara ia menutup mata menikmati deburan ombak.
Ketenangan yang cukup lama dirasakan, sampai ia merasakan seseorang menatapnya dari samping. Rka membuka mata dan menolehkan kepalanya ke kanan bersamaan.
Tubuh Rka terlonjak sendiri dikejutkan oleh keberadaan seseorang yang berdiri mematung, menatapnya dalam diam. Kepalanya dimiringkan seperti penuh pertanyaan.
"Apa?!" tanyanya galak.
Pemuda ini sedikit lebih tinggi darinya, ia sedikit menunduk melihat Rka. "Kamu... apa?"
"Hah?"
"Aku," ia menunjuk dirinya sendiri, lalu menunjuk tempat lain di belakangnya. "Di sana."
Ia pergi meninggalkan Rka. Sedetik kemudian berbalik, mengisyaratkan Rka untuk mengikutinya. Keduanya berhenti di depan sebuah podium enam sisi. Ia memandang Rka bertanya.
"Oh, aku juga punya. Lain kali aku tunjukkan."
Ia mengangguk kikuk, mungkin tidak mengerti. Rka membiarkannya saja, ia kembali melihat podium itu, mengeja huruf diatasnya satu persatu.
"Jadi, kita mau kemana," Rka menegakkan tubuhnya melihat ke orang lain di sampingnya. "Taraka?"
•••
Keempatnya keluar dari arena. Memilih beristirahat dibagian pinggir halaman dekat benteng, berteduh. Mereka masih menenteng senjata masing-masing. Mengumpulkannya bersamaan dalam satu bidang kosong. Tidak ada yang terluka diantara mereka. Semuanya baik-baik saja.
"Ya!" Taraka membuka pembicaraan setelah mereka duduk melingkar. "Bagaimana bisa membuat api sekuat itu tanpa mantra?"
Merasa pertanyaan ini dilemparkan untuknya, Dexvan terkekeh. "Mudah saja. Pertama, bayangkan sesuatu yang mudah terbakar tambahkan dengan oksigen untuk memperbesarnya, lalu kumpulkan di satu titik agar ledakannya tidak menyebar. Jadi, efek kekuatannya akan bertambah di pusat titik tanpa mengenai hal lainnya."
Hal menyenangkan setelah latihan pasukan adalah evaluasi. Mengetahui titik terlemah lawan dan kemampuan diri sendiri. Berdiskusi satu sama lain membicarakan kemampuan yang mereka tunjukkan.
"Ah," jentikan jari Dethan membuat ketiganya menoleh. "Untuk apa dinding berapi tadi?"
Senyuman lebar menghiasi wajah Rka, tampak puas. "Mengulur waktu kami melakukan kombinasi dan menghalang kalian berdua menyatukan kekuatan."
Rka tertawa, tangannya terangkat memberikan tos pada Taraka. Ekspresi Rka semangat sekali. Berhasil mengelabuhi dua penyihir tertinggi itu menyenangkan. Ternyata membaca gerakan ataupun sihir juga benar-benar tidak mempan.
"Sialan dua anak ini," gumam Dethan kesal.
"Pantas saja gerakan mereka tidak terbaca. Apalagi salah serangan. Dexvan kau harusnya melawan Rka agar dapat membaca gerakan sihirnya."
"Bukannya kau yang ingin melawan dia?"
Seseorang menghampiri mereka. Axelio Vlentino Geo. Petinggi pasukan dan kekuatannya adalah- "ada yang terluka?" Iya, dia healer. Petinggi pendukung.
Keempatnya menggeleng semangat. Sayangnya sesuatu berhasil menarik atensi Geo. Ia tersenyum lalu ikut terduduk diantara Rka dan Dethan membentuk lingkaran.
"Lukanya memang seperti ini?" tanya Geo penasaran, ia kemudian mulai membersihkan sisa darah yang masih mengalir.
Rka mengangguk. "Waktu aku muncul di Voreia. Aku berada di sebuah goa yang anehnya tidak gelap. Goa itu menyala merah terang."
Geo beralih memasang perban memutar di pergelangan lengan kanan Rka, menutup luka yang menganga. Aryan dan Zargo tiba-tiba datang ikut duduk di samping Dexvan yang masih menyimak dengan saksama.
"Waktu itu aku ceroboh. Saat berjalan di lantai goa yang licin itu, lenganku tergores kristal tajam di sana. Aku kurang ingat, tapi sepertinya kristal itu patah.
"Ah, bukan patah. Batuan itu melebur ikut masuk ke dalam lukaku. Yah, awalnya memang perih. Awalnya juga kekuatan ini aku tidak menyadarinya. Jadi tidak pernah digunakan."
Aryan hampir membuka mulut bertanya sebelum Dethan kembali menyela. "Tidak pernah digunakan atau sengaja disembunyikan?"
"Opsi kedua."
"Kenapa?" tanya Geo ikut masuk pembicaraan.
"Hampir seribu tahun yang lalu. Itu waktu saat aku muncul. Waktu itu malam hari, dan aku mendapatkan luka ini." Ia mengangkat lengan kanannya sebentar. "Paginya, saat berjalan-jalan di dekat pantai utara, aku bertemu Taraka.
"Lucu sekali, kami berdua bersama-sama tapi tidak menemukan mate sama sekali. Sampai red moon pertama, kami berdua lepas kendali dan saling menggigit." Rka mengangkat lengan kirinya, ada tanda partner di sana.
Berbeda dengan milik Violetta, pedang dan mahkota, tanda partner milik Rka dan Taraka berbentuk pedang dan anak panah yang saling menyilang.
"Terhitung hampir tiga tahun dan aku baru menyadari kalau memiliki karunia besar untuk manipulasi darah. Keuntungannya, kami berdua tidak butuh partner.
"Setelah melakukan pertukaran selama empat kali dalam setahun, aku tidak sengaja menggunakan kekuatan itu yang ternyata memang sekeren ini. Namun kekuatan ini membahayakan, aku jarang menggunakannya. Jadi kusembunyikan saja."
Kembali membuat penasaran, Dexvan ikut bertanya. "Imbas saat kau menggunakan kekuatan itu adalahㅡ?"
"Iya, aku." Sela Taraka cepat saat menyadari telunjuk Dexvan berhenti bergerak untuk menunjuknya. "Pertukaran darah dengan yang muncul bersamaan itu kasus pertama. Yang artinya darah kami mengalir bersama.
"Rka mendapat mineral yang berkekuatan besar, darah kami bertukar, aku menikmati hidup tanpa butuh darah seseorang. Jadi aku yang harus membayarnya, hukum timbal balik sepertinya, semua hal butuh bayaran yang setimpal. Tanpa kekuatan itu dan tanpa partner seharusnya Rka sudah mati sejak lama."
"Yang artinyaㅡ"
Taraka terkekeh, "kematian sebagai bunga tidur secara berkala. Semakin sering kekuatannya digunakan, efek kematiannya semakin besar."
"Karena itu kau menyembunyikannya?" Tanya Dethan lagi. Rka mengangguk perlahan.
Geo menghela napas pelan, "selesai." Pergelangan tangan Rka kembali dililit perban putih yang ikut menutupi lukanya. Rka tersenyum berterimakasih.
"Jadi," Aryan menjeda kalimatnya, beralih menatap si kembar bergantian. "Undique Gladiis Impeteretur dan Cassiopeia Stella itu apa?"
"Lima pedang darah dan dua panah berkekuatan setara ledakan bintang. Untuk menciptakan sebuah ledakan sempurna." Jawab Rka santai.
Lagi pula sudah terlanjur ditunjukkan, tidak dapat lagi disembunyikan.
"Taraka!"
"Ya?"
"Bagaimana bisa mendapatkan kekuatan sebesar ledakan bintang?" tanya Zargo serius.
Taraka tersenyum, "jawabannya ada empat." Ia mengangkat tangan kanannya yang berukirkan tato panah apik. Menunjukkan keempat jarinya pada mereka.
Netranya menatap orang-orang di sekelilingnya yang menyimak serius. Jari itu ditekuk satu persatu bersamaan dengan Taraka yang mengatakan jawabannya.
"Ra-ha-si-a."