Latihan pasukan babak kedua.
Sang Alpha menunjuk dua petinggi dengan membawa dua orang dari masing-masing tim untuk mengisi latihan babak kedua. Petinggi ke-enam dan petinggi ke-tujuh, masing-masing adalah petinggi ksatria yang biasanya selalu bertarung bertiga.
Baron bersama Valeron Irham dan Jevyska Sultan. Melawan Melvin beserta kembar Anthoni Bravijaya.
Dalam latihan, Raizel dan Geo tidak harus ikut mengadu kekuatan. Keduanya mempunyai tugas lain, yaitu untuk menjaga lapisan pelindung arena dan mengantisipasi jika ada yang terluka.
Raizel mengangkat tangannya ke atas, tanda dirinya sudah selesai memperkuat barrier yang sebelumnya hampir pecah. Sementara Geo, yang tadinya menghampiri Rka, kini juga sudah kembali ke tempatnya untuk berjaga.
Aryan dan Zargo ikut bangkit dari duduk lalu berjalan kembali, duduk lagi di kursi bayangan. Keempat petinggi pertama yang sudah melakukan latihannya masih terduduk si atas lapangan rumput mengambil sikap siap menonton.
Dua belah kubu telah dibagi. Di sisi timur, Baron dengan dua pedang di punggungnya, berdiri di paling ujung belakang.
Sultan berdiri di depan. Dua tangannya sudah siap dengan dua kodachi, sebuah pedang Jepang yang tergolong tanggung—terlalu pendek jika dikatakan katana dan terlalu panjang jika disebut wakazashi.
Irham di sampingnya membawa sebilah pedang dalam genggamannya di belakang punggung. Keduanya berdiri bersiap menyerang.
Sama seperti Baron, Melvin di sisi barat juga berdiri jauh di sisi belakang. Tangan kanannya membawa sebuah tongkat panjang dengan bentuk sabit besar di bagian ujung atas. Senjata merah menyala itu diangkat menyandar di bahu kanannya.
Di depannya, Kevin dan Levin sudah siap. Kevin membawa busur panah manual dan Levin dengan dua kapak di tangannya. Senjata yang mereka berdua gunakan seperti biasanta. Sudah jelas siapa yang akan melawan siapa.
Kodachi dan kapak adalah lawan yang seimbang. Keduanya adalah peralatan perang jarak sedang, walaupun kapak bisa digunakan untuk menyerang jarak jauh. Namun panah yang merupakan senjata jarak jauh jika melawan pedang, bukankah sedikit tidak adil?
"Pilih."
"Kanan."
Kedua pasang pasukan ksatria itu saling berhadapan. Masing-masing dengan pasangannya berdiri berdampingan. Menyusun strategi cepat untuk melawan petarung yang sebanding. Tiap pasang netra mereka saling bertumbukan antara ujung yang satu dengan yang lain.
Bagaimana mengatakan strategi pada para petinggi kelompok mereka sedangkan keduanya berada di masing-masing ujung arena?
Telepati? Ah, yang benar saja. Melakukan hal itu di arena latihan adalah hal terbodoh yang akan mempermalukan pelakunya. Telepati dalam arena akan terbaca oleh banyak orang.
"Ayo taruhan lag!." Ajaknya semangat.
Di tempatnya, Zargo sedang sangat dalam suasana hati yang sangat semangat. Latihan pasukan itu menyenangkan, dapat dilihat bagaimana netranya berbinar kala menatap lurus melihat dua kubu yang siap menyerang.
"Kau sudah kalah tadi," tanggap Aryan dengan nada malas. "Belum puas kalah?"
"Pasti saat ini akan seri."
Aryan menolehkan kepalanya ke kanan, tepat pada Zargo yang menatap lurus ke depan. Ia berkedip sekali, langsung membuat cicin emas di iris mata kirinya lenyap.
Sang Alpha terkekeh, "gantikan aku sebulan penuh dalam semua rapat." Dahi Zargo tampak mengernyit sekilas. "Itu taruhannya."
Keempatnya maju. Pertarung jarak jauh melawan senjata jarak dekat. Kevin melebarkan sedikit kakinya, membuat kuda-kuda untuk memperkuat posisinya berdiri sebelum sebuah panah melesat.
Perlawanan yang seharusnya bisa dilakukan satu lawan satu, berubah menjadi pertarungan melingkar. Masing-masing menyerang lawan yang berbeda.
Kevin melepaskan panahnya mengarah pada Irham yang sayangnya ditepis oleh Sultan. Sesekali Sultan harus melakukan serangan kecil pada Levin melalui jarak dekat. Begitu juga Levin yang sebenarnya melakukan serangan jarak jauh pada Irham.
Pertarungan ini benar-benar nampak tidak adil. Kubu Melvin adalah bagian perlawanan jarak jauh sementara kubu Baron adalah penyerang jarak dekat.
Kalau dilihat, keadaan ini seperti menguntungkan satu pihak. Namun, kalau Sang Alpha sudah menentukan pesertanya, seluruh pasukan bisa apa?
"Pertarungan ksatria, tanpa sihir, ya?" Gumam Taraka yang kini mengubah posisi duduknya menjadi tengkurap. Tangannya bertopang dagu, menikmati pertunjukan.
Dexvan terkekeh, "dua orang di ujung itu belum mengeluarkan kemampuan mereka."
"Apa kalian tidak membaca apapun?" Tanya Rka sesekali menoleh pada dua orang di sampingnya.
"Gerakan keempatnya masih dapat dibaca," jawab Dethan singkat. Ia meluruskan kakinya ke depan, mengubah letak tangannya ke belakang, menopang tubuhnya. "Aku tidak tahu kalau soal sihirnya."
"Namun, tidak ada pergerakan sihir dari dua belah kubu." Jawab Dexvan tampak ragu.
Suara logam bertumbukan memenuhi arena. Benturan demi benturan terdengar semakin keras ketika satu pihak membalas yang lain.
"Buat sasaran lima belas derajat." Bisik Kevin menarik panahnya pada tali busur.
Pemuda lain mengangguk mengerti, "berlawanan arah jarum jam, putaran ketujuh." Ujarnya pelan.
Levin melakukan putaran tiga ratus enam puluh derajat penuh searah jarum jam dengan kapak dari tangan kanannya. Ia mengambil sasaran sedang sejauh lima belas meter ke depan.
Tangan kirinya berlanjut melempar kapak lurus sesuai sudut yang diminta. Kapak itu melaju lurus sambil berputar berlawanan arah jarum jam dan berhenti tepat tiga meter dihadapan Kevin.
Tujuh.
Sebuah panah melesat lurus melewati kapak yang sedang berputar tepat di putaran ketujuh. Serangan tadi hanyalah peralihan. Membuat fokus pada lingkaran seolah gerakan lanjutan tidak diketahui lawan.
Hilang.
Panah itu menancap di tanah seperti baru saja menembus sesuatu atau bahkan hanya bergerak lurus tanpa mengenai suatu bidang apapun. Mustahil. Sasaran yang mereka buat selalu akurat. Bagaimana mungkin seseorang lolos.
Ah, bukan lolos. Lebih tepatnya ...
"Akh!"
Sebuah pekikan yang terdengar cukup keras itu menarik atensi seluruh pasukan. Kevin berteriak keras saat sesuatu menyambar punggungnya, sebuah tusukan atau sayatan. Terasa panas namun juga perih tak tertahan.
Irham, seseorang yang tadi menjadi sasaran Kevin kini sudah berpindah berada di belakangnya. Tangannya masih memegang pedang dengan tegas.
"Sayangnya, sasaranmu hanya sebuah ilusi."
"Heh?" Seru Rka dan Taraka kompak setelah mendengar penuturan Irham.
Para pasukan lainnya juga ikut bertanya-tanya apa yang sebenarnya masing-masing kelompok petinggi itu rencanakan.
"Irham dan Sultan yang sedari tadi bersebelahan itu hanya ilusi." Jelas Dexvan tanpa diminta.
"Kekuatan ilusi tidak terbaca." Kata Dethan menambahkan.
Seseorang dibagian utara arena menampilkan senyum miring. Kekehan kecil terdengar dimulutnya. "Baron, ya?"
"Kak Andra tahu?" Tanya Vloryne yang duduk di sebelahnya.
Kavindra mengangguk masih sambil tersenyum. "Baron pernah melakukannya saat sedang rapat pertemuan."
Levin hampir melempar kapaknya mengarah pada Irham sebelum sesuatu ikut menggores lengannya. Sebuah pekikan kembali terdengar. Itu Sultan dengan kodachi di tangannya. Menghilang dari pandangan dengan cepat lalu muncul seenaknya melakukan penyerangan.
Darah mengalir begitu saja dari lengan kanan Levin. Andaikan itu Rka, pasti kemenangan langsung berpihak kepadanya. Kekuatan manipulasi darahnya itu benar-benar tidak biasa.
Pertarungan mulai berbalik dari perkiraan. Keempatnya saling menyerang seperti melupakan kalau mereka hanya latihan. Masing-masing saling melempar serangan berusaha memberi goresan.
Menghilang lalu memberikan serangan. Menyerang namun sasarannya hilang.
Melihat pertarungan ini saja rasanya sudah melelahkan.
Kevin melesatkan panahnya kembali, diikuti Levin yang kembali memutarkan kapaknya mengambil jarak panjang. Keduanya sedang berusaha kembali membalik keadaan.
Sejurus kemudian, suara robekan disusul suara ledakan terdengar ketika dua senjata tadi hanya menghunus angin. Dua ledakan sedang yang cukup membuat daging terpanggang.
Satu panah lagi melesat sembarangan tanpa arah, kembali terdengar suara kertas dirobek kasar disusul ledakan.
"Kalian tidak boleh lengah, loh," suara bisikan seorang gadis itu lewat begitu saja. Lembut namun menusuk pendengaran keduanya.
Irham dan Sultan kembali berdiri berdampingan. Sultan menyenderkan tubuhnya pada Irham menatap remeh dua lawan di depannya.
"Ayo lakukan selanjutnya!"
Tubuh keduanya menghilang. Sultan muncul di hadapan Levin, membuatnya mundur terkejut. Perlawanan jarak jauh berubah dalam sekejap menjadi jarak dekat.
Sebuah garis memar merah yang tampak baru itu berdenyut. Irham berdiri dua meter di depan Kevin.
Pedang yang tadinya tajam itu kini tampak tak bertulang. Pedang itu berubah wujud menyerupai sebuah cambuk tipis nan tajam saat digunakan untuk menusuk.
Kesal, Levin kembali melempar kapaknya memutar tanpa ada sebuah tujuan. Kembali membuat sesuatu yang tak terlihat oleh mata itu robek disusul suara ledakan beruntun.
Sial, batinnya.
"Ilusi kertas bertuliskan mantra peledak," Raizel angkat bicara setelah melihat situasi. "Coba tebak siapa yang menggunakannya?"
Geo disampingnya terkekeh, "hanya petinggi ke-enam yang dapat melakukan ilusi."
Kevin kembali melesatkan hampir lima anak panah secara beruntun. Mencoba membalas dengan cara menimbun, namun lagi-lagi yang terdengar hanyalah ledakan beruntun.
Semuanya terlihat tidak nyata.
"Dapat."
Pergerakan Sultan dan Irham dihentikan seketika. Mereka yang tadinya dapat bergerak bebas kini diam tersungkur di tanah dengan rintihan
"Mereka kenapa?" Veranda, yang sejak awal memilih duduk di ujung, bergumam.
"Menurutmu, mengapa orang-orang itu ditunjuk menjadi petinggi pack utama?" Tunjuk Aldric Sky—seorang pasukan ksatria yang secara kebetulan duduk di samping Veranda dan mendengar gumamannya—dengan tatapan matanya.
Matanya masih menatap arena, enggan berpaling seolah saat ia menoleh sedetik saja, pertarungan ini langsung tiada.
"Karena mereka dekat dengan Aryan."
Aldric tersenyum remeh, jari telunjuknya terangkat, mulai bergerak maju menujuk satu persatu para petinggi yang ada di depan sana. "Karena kemampuan masing-masing yang dimiliki berbeda, Raja Setth bisa percaya dengan mereka."
Veranda sedikit mencibir, Aldric terkekeh melihatnya.
"Tongkat panjang dengan sabit besar yang mulai menyala merah seperti itu, menurutmu itu untuk apa?"
"Woah!" Pekik Dexvan semangat. Sebelah tangannya menutup mulut menahan untuk berteriak. "Gravi-snaith! Melvin menggunakannya."
Sultan dan Irham berhasil tertangkap dalam dua lingkaran gravitasi yang sudah dipersiapkan oleh Melvin sejak awal tadi. Singkatnya, serangan lanjutan kembar Anthoni itu hanya jebakan.
Sejak awal, tipe latihan ini sudah berubah total. Pertarungan kelompok yang seharusnya melatih kekompakan dan perkembangan, mereka buat menjadi pertempuran. Saling melawan tanpa tahu batasan. Menggoreskan luka tanpa segan.
Kevin dan Levin masih dapat bergerak bebas, dua orang lawannya sedang tersungkur tak dapat melawan. Gravitasi di tempat yang mereka miliki semakin ditambah, tubuh mereka merasakan secara nyata yang namanya tekanan.
Kubu Melvin membalik keadaan dalam sekejap. Satu mengatasi dua, menyisakan dua melawan satu.
"Hei!"
Panggilan itu seolah menginterupsinya. Tubuhnya beralih menghadap seseorang yang duduk di sampingnya menatap lurus pada arena.
"Bagaimana kalau setelah ini kita?"
Keadaan masih menggantung. Sultan dan Irham diam ditempat. Sultan berlutut di tanah dan Irham berdiri mematung. Tidak dapat bergerak meski berusaha sekuat tenaga.
Kekuatan gravitasi yang benar-benar hebat.
"Menyerah?"
Melvin maju selangkah, tangannya mengangkat senjatanya tinggi. Nyala merah terang dari sabit kristal juga semakin pekat, menambah kesan suram yang menakutkan. Menghentikan itu butuh kekuatan besar.
Di ujung, Baron tersenyum. Sebuah jentikan di tangan kanannya membuat seluruh pasukan terkejut. Sultan dan Irham berdiri di samping Baron masih dengan senyum senang.
Ilusi lagi?
Satu jentikan lagi.
Separuh arena dipenuhi bayangan dua orang yang sama dengan jumlah berlipat kali ganda.
Kalau ditanya siapa pemilik kekuatan paling menyebalkan, tentu saja Baron orangnya.
"Menyerah?" Tanya Baron menirukan nada bicara Melvin tadi.
Lima detik hening. Baron tergelak. Ia memegangi perutnya sembari tertawa. "Udah, Pin. Nggak kuat serius-serius. Kaya lagi lamaran."
Sedikit celah, Kevin dan Levin segera maju semangat. Menyerang setiap bayangan yang ada. Setelah terlalu lama mengejar dan menghabisi, ternyata semuanya menghilang sia-sia. Jelas, karena hanya bayangan.
Hal bodoh ini.
Pertarungan empat ksatria harus selesai paksa. Para petinggi melanjutkan pertarungan mereka.
Melvin kembali mengangkat tongkatnya. Menyala merah diikuti gravitasi yang kembali diperkuat. Melvin memperbesar wilayahnya. Satu arena penuh.
Seluruh bayangan itu jatuh bersimpuh lalu menghilang. Kevin dan Levin berjalan mundur. Lebih baik mereka kembali sebelum pertarungan para petinggi berubah sengit.
"Dua orang itu susah untuk serius, kan?"
Mendengar pertanyaan Geo, Raizel mengangguk ragu, "seharusnya begitu."
Diperkuat, seluruh rumput di arena berubah merah menurut sensor gravitasi Melvin. Seluruh arena harusnya sudah lumpuh tak bergerak.
Baron kembali tergelak. Dua pedang yang masih menempel di punggungnya itu tetap di sana. Irham dan Sultan juga berdiri di sampingnya seperti tak terkena apa-apa.
"Aduh, ketawa."
Sultan menendang tulang paha Baron kala pemuda itu malah kembali tergelak. "Serius dikit, brengsek!"
Sekali lagi, Baron menjentikkan jarinya. Sebuah barrier shield persegi yang lebih kecil tampak melayang, berjarak beberapa senti di atas rerumputan. Melindungi ketiganya, bahkan membuat kekuatan gravitasi itu tak mempan bagi mereka.
"Sialan!"
"Kak Baron bercanda terus," kata Vloryne menutup wajahnya malu.
Ilusi barrier shield. Baron memanipulasinya semirip mungkin dengan aslinya. Fungsinya juga benar sama.
Baron melangkah keluar. Lututnya hampir tertarik karens medan gravitasi di luar sini benar-benar tak tertandingi. Kekuatan Melvin menggila.
Melvin melangkah maju, Baron mengikutinya. Mereka mempertipis jarak yang ada. Melvin sudah siap dengan tongkat besar miliknya.
Kedua tangannya terangkat memegang tongkat besar, bersiap menebas lawan di depan dengan sabitnya.
Suara logam bertumbukan terdengar keras. Baron menangkisnya dengan dua pedangnya.
"Ulfberht Sword," gumam Dexvan lagi. "Pedang itu ringan. Satu saja efeknya sudah besar, bagaimana dua?"
Sepertinya ia akan terus menjelaskan senjata yang digunakan para petarung. Mungkin itu akan jadi tugasnya beberapa menit kedepan.
Melvin kembali mengayunkan sabitnya seolah hendak membelah Baron menjadi dua. Baron menghilang, berubah menjadi kertas mantra peledak. Melvin berusaha menarik kembali senjatanya.
Terlamabat.
Lagi-lagi suara ledakan terdengar. Cukup besar sampai tubuh Melvin terbanting mundur. Baron muncul kembali di sisi belakangnya. Hampir menyerangnya dengan dua pedang.
Kembali ditangkis.
Pertarungan fisik kali ini cukup sengit. Baron dan Melvin, keduanya memiliki jiwa ksatria yang sangat kuat. Mereka terus mengayunkan senjata tanpa ampun.
"Udah, Pin. Capek!" Teriak Baron dari seberang. Satu tangannya terangkat sedang tangannya yang lain bertumpu di lutut, mengatur napas.
Melvin menebas angin. Sebuah cahaya sabit merah terang melaju lurus lalu menghilang. Muncul kembali di belakang tubuh Baron.
Suara robekan terdengar. Pakaian Baron robek di bagian lengan atas. Bahu kanannya terluka, menimbulkan garis luka yang mulai mengeluarkan darah.
Kembali sabit itu diayunkan, kembali cahaya itu maju menyerang.
Baron maju selangkah demi selangkah. Pedang di masing-masing tangannya membantu menangkis atau membelah setiap cahaya sabit.
"Udah dibilang, capek!"
Baron berhenti sepuluh meter di belakang tubuh Melvin. Tubuhnya sedikit membungkuk. Dua tangannya di samping seperti baru saja memenggal empat belas kepala manusia.
Srek
Atasan Melvin robek sempurna menyisakan tubuh bagian atasnya terbuka. Gambar besar di punggung itu kembali menarik perhatian. Lambang serigala yang terukir nampak apik, pas ditubuhnya.
Baron melempar senjatanya dan berbalik, ia langsung berlari menuju Melvin yang terdiam di tempat.
"Pin, ada luka nggak, Pin?" Tanyanya heboh. Baron membolak-balikkan tubuh Melvin di depannya berkali-kali. Mengecek dari atas sampai bawah.
"Lebay." Jawab Melvin menatap Baron datar.
Keduanya tertawa.
Sultan, Irham, Kevin, dan Levin ikut maju mendekat. Mereka melakukan tos dengan senyuman lebar terukir di wajah mereka masing-masing.
Keenamnya sedang saling berterima kasih karena latihan yang luar biasa saat Geo masuk ke arena. Ia mempersilakan mereka menepi ke luar arena. Sekalian memeriksa masing-masing tubuh mereka dan mengobatinya.
"Ayo, selanjutnya kita."