Babak kedua telah usai dan babak baru akan segera dimulai. Dua petinggi dan empat ksatria tadi sudah duduk menepi di bawah pepohonan tinggi.
Selanjutnya, akan ada sebuah latihan yang pertama kali dilakukan sejak awal kemunculan seluruh pasukan. Latihan yang paling dinanti sekaligus ditakutkan. Latihan babak ketiga, antara Sang Alpha dan Beta, Sang Raja dan Petinggi Pertama.
Dari tempatnya duduk, Rka bangun dan berdiri, hampir melangkah pergi sebelum seseorang menahan tangannya. Ia hanya bertanya lewat tatapan sembari mengangkat alis, tidak mengeluarkan suara apapun.
"Dua orang gila itu, kita tahu sendiri seberapa gilanya mereka berdua." Tunjuknya bergantian pada dua sisi arena yang berlawanan. "Barrier shield harus dipertebal."
Taraka memandangi arena lagi sebelum mengangguk mengerti.
Dinding kaca transparan dengan bentuk kubus raksasa itu memang sudah mengalami banyak keretakan hasil pengaruh dari kekuatan gravitasi petinggi ke-enam tadi. Mungkin barrier shield kali ini harus dipertebal atau mungkin dibuat dua kali lipat.
Pasukan yang memiliki sihir hanya dapat membuat lapisan pelindung, bentuknya seperti perisai. Berbeda dengan barrier shield, dinding pelindung itu hanya dapat dibuat oleh seseorang yang memang diciptakan untuk memilikinya. Tiga orang dalam setiap generasinya, namun Voreia hanya memiliki satu.
Sampai pada tempatnya di samping Raizel, Rka berdiri di sana. Iris matanya perlahan berubah warna tanda ia mulai memanipulasi darahnya. Sekejap saja, kilatan merah terang muncul dari kedua matanya, bersamaan dengan tangannya mulai menyalurkan tenaga.
Diciptakan dari perpisahan dua cahaya dan menerima kekuatan seperti itu adalah sebuah karunia langka. Hanya ada Rka, dia satu-satunya.
Di arena, dua orang berdiri berhadapan dengan tatapan tajam yang mencekam. Sosok Alpha dan jubah ungu kebesaran Sang Raja itu terlihat kontras dengan Sang Petinggi Pertama yang mengenakan jubah putihnya.
Ketika mendapat tanda bahwa keretakan barrier sudah selesai diperbaiki, Aksaka keluar dari arena dan membiarkan mereka memulai.
Di satu sisi, asap hitam tipis muncul di sekitar tubuh, dan bergerak mengelilingi tuannya. Dalam waktu singkat, kabut asap itu menebal dan berubah hitam pekat. Bersamaan dengan itu, suara langit yang tadinya cerah kini mulai bergemuruh. Angkasa yang tadinya cerah kini tampak teduh.
Dalam sekejap, ketika ia menyatukan kedua lengannya di depan tubuh, asap hitam menggumpal mengelilingi pergelangan tangannya, semakin menguat dan berubah menjadi padatan logam membentuk pedang.
Pedang hitam legam dengan seberkas garis ungu gelap lurus yang bercahaya. Pedang hitam besar itu...
Desperatione Gladium.
... berbahaya.
Di sisi lain, satu laki-laki memperhatikan apa yang dilakukan oleh Sang Alpha dengan senyuman miring. Dua garis terang muncul mengorbit titik hitam dimatanya, siap mengeluarkan banyak tenaga yang sebanding untuk melawannya.
Dari sela kegelapan, seberkas cahaya menyela masuk. Buih-buih cahaya beterbangan, berkumpul menjadi satu kala Petinggi Pertama itu juga menyatukan kedua tangannya. Satu persatu saling menguat, menebal, dan mengeras menyusun senjata.
Dari masing-masing genggamannya, dua pedang muncul secara horizontal menggantikan buih cahaya. Dua pedang sama panjang, berwarna perak dengan kristal pada bagian tulang, bercahaya terang siap untuk maju menyerang.
"Hastam de Lumine,"
Seseorang menoleh kala Dexvan menggumamkan nama senjatanya. Ia hanya menatap tanpa suara. "Pedang kembar itu, mematikan." Bisik Dexvan padanya.
Dethan ikut berbisik dari sisi lain, "bayangkan jika digabungkan dengan kekuatan Petinggi Pertama."
Alpha dan Beta, sama berbahayanya.
Dari tempatnya berdiri, Aksaka tersenyum memandang ke arena penuh arti. "Keduanya memang kontras sekali."
Melihat lawannya sudah siap, Sang Alpha langsung membawa pedangnya maju menyerang lawan tanpa basa basi. Pemilik kekuatan besar lainnya menepis dengan pedang dan balik menyerang.
Pertarungan antara pedang besar Sang Alpha dan pedang cahaya Sang Beta, dimulai.
Langit yang tadinya sendu berubah kelam. Suasana siang malah tampak seperti malam. Seluruh halaman belakang Voreia saat ini diselimuti kegelapan mutlak dengan kilat menyambar.
Sebuah tebasan diayunkan, kembali ditangkis. Sebuah sambaran balasan diberikan dengan bengis. Semakin Sang Alpha mengayunkan pedangnya, kegelapan semakin menggila menutupi Voreia. Saat pedang kembar milik Petinggi Pertama membalas, kilat dan petir datang menyambar mata sekilas.
Arena latihan dipenuhi cahaya ungu dan putih bergantian. Awan sudah sangat gelap seperti siap menumpahkan hujan. Kilatan petir muncul bergantian seiring tebasan yang pedang kembar itu balaskan. Keduanya terus mengamuk seperti akan menghadirkan badai hujan petir lanjutan.
Tak ada percakapan, keduanya hanya saling menyerang.
Aura mencekam mulai datang. Level dua orang dengan pangkat tertinggi itu menjadi dua kali lipat, kelewatan. Gelap dan terang yang berdiri berdampingan hendak disatukan adalah sesuatu yang Dexvan bilang berbahaya dan mematikan.
Dua hal itu tidak akan pernah bisa bersatu dan hanya akan saling melawan.
Gelap gulita yang memenuhi Voreia layaknya peristiwa gerhana. Cahaya matahari langsung sirna tepat saat bulan hadir menutupinya.
Beberapa pasukan yang menonton, satu persatu mulai kehilangan kesadaran. Keduanya menarik kekuatan sangat besar bahkan sampai membuat oksigen di sana hampir tidak ada.
Sebuah hukum alam saat tumbuhan menghasilkan oksigen dalam proses fotosintesis, cahaya yang dibutuhkan dalam prosesnya kini hilang ditelan kegelapan. Tumbuhan sekitar melayu dan tidak melakukan proses sebagaimana mestinya, oksigen di halaman belakang Voreia, tersisa sedikit saja.
Padahal mereka berdua belum mengeluarkan sihirnya, namun mengapa sudah sekuat ini?
"Jadi," akhirnya Zargo membuka suara setelah menahannya. Ia memberikan satu tebasan balasan sebelum kembali bertanya, "haruskah kita serius sekarang?"
Aryan mengabaikan. Dua tangannya mengayunkan pedang besar itu kuat-kuat. Tanah hasil sasarannya terbelah. Asap hitam pekat lagi-lagi muncul di udara, bergerak memutar dari ujung ke ujung di sepanjang pedangnya.
"Apakah kita sedang main-main, Alpha?" tanya Zargo kembali memutar dua pedangnya bersamaan membuat gerakan tangkisan.
Petir putih itu kembali menyambar arena. Dinding kaca itu hampir meledak kalau Rka tidak segera mengganti manipulasi darahnya dengan keturunan pertama Raja Setth, pemilik dinding pelindung terkuat. Cairan merah pekat mengalir turun dari sebelah matanya.
"Baiklah, mari bermain!"
Zargo melompat mundur. Kakinya membuat kuda-kuda menyamping. Dua tangannya turun, masing-masing berada di sisi. Setelah mengatur napas, tangan kirinya terangkat mengacungkan pedang menantang Sang Alpha.
"Asterium Blast!"
Seluruh kristal asterium yang tumbuh menyebar memenuhi Voreia menyala. Satu-persatu mengeluarkan cahaya, menyorot dengan sudut tertentu. Cahaya terang menusuk sampai menembus dinding kaca arena latihan, saling menyilang sampai membentuk pola.
Sebuah perisai hexagon besar dengan bentuk hexagram—bintang enam sisi—di dalamnya. Terlihat seperti segel untuk mengunci pergerakan musuhnya.
Memang sebuah latihan yang pantas dinantikan. Ada satu hal yang baru dilihat oleh seluruh pasukan tentang pengambilan kekuatan di luar arena. Sebelumnya tidak pernah dilakukan.
Aryan tersenyum, ia ikut mengayunkan pedangnya membentuk beberapa pola. Sebuah hewan raksasa berdiri di belakangnya. Bertubuh singa namun berkepala serta memiliki sayap elang.
Hewan besar itu maju, terbang dengan kuat. Sayapnya melebar luas. Menutupi setiap cahaya dari semua asterium yang masuk ke arena. Bulu-bulu hitam dengan tulang bulu berwarna ungu gelap menyala itu terus berjatuhan.
Sebuah pengalihan.
Zargo kembali mengambil cahaya kuat asterium dari seluruh Voreia. Mencoba melawan aura gelap Alpha mereka.
Di depan sana, Aryan sedang tertawa memandang jatuhnya bulu-bulu hitam itu senang. Matanya menyala ungu gelap, selaras dengan warna pedang dan tulang bulu makhluk besar yang dibuatnya.
"Apa yang..."
Sebentar... sepertinya ada hal yang Zargo lupakan dan hal itu mengganggunya. Kilatan merah muda gelap dalam arena itu... seharusnya milik seseorang. Zargo melirik ke luar dinding kaca. Melihat pada salah seorang petinggi yang masih diam, mencoba membaca pergerakan.
"Sialan!"
Gelap total, cahaya yang tersisa di halaman belakang Voreia hanya berasal dari pedang keduanya, juga kilatan mata petinggi yang mengeluarkan kekuatannya.
Aryan tersenyum, iris matanya berubah heterokrom. Hitam sempurna dan ungu gelap menyala menjadi warna khas yang melekat dijiwa Sang Alpha.
Namun, yang di sana itu ... bukanlah dirinya.
Bulu-bulu hitam yang tadi sudah bertebaran memenuhi arena kini berubah bentuk. Bangkit membesar membentuk bayangan, membangkitkan arwah kematian.
Ini yang sedari tadi Zargo pikirkan. Kekuatan itu bukan miliknya.
Aryan tertawa keras mengayunkan pedangnya kuat. Dua matanya masih menyala dengan warna yang berbeda. Jika nyala ungu di mata kanannya berubah semakin terang, itu berbahaya.
Zargo masih diam belum melawan. Ia memikirkan tentang kekuatan seseorang. Pemilik kekuatan itu pernah mengatakan, 'membangkitkan arwah kematian akan membuat pemilik kekuatan lepas kendali karena proses itu mengambil kontrol penuh pada jiwa pemiliknya.'
Dan Sang Alpha, sedang menukarkan jiwanya.
Arwah-arwah itu maju, mulai menyerang. Aryan diam di tempat masih dengan sisa tawa. Ribuan arwah maju bersamaan, dikendalikan. Sosok hewan besar itu bahkan masih terus beterbangan, menebarkan lebih banyak bulu hitam di seluruh arena.
Zargo menghilang dari tempatnya. Seketika berdiri di hadapan Aryan mengayunkan pedang hampir membelah tubuhnya. Aryan lebih dahulu menangkisnya. Zargo kembali menghilang lalu muncul di ujung.
"Apa itu? Teleportasi?" Sang Alpha melangkah mundur, ia tersenyum miring. "Haruskah Si Kembar menjelaskan lagi peraturannya padamu?"
Tidak mempedulikan kalimat itu, Zargo menghilang lalu muncul lagi di tengah arena. Ia mencoba menebas setiap arwah yang menyerangnya. Satu datang, ditebas, dua lagi muncul. Arwah itu tidak ada habisnya.
Kekuatan Sang Alpha mulai menggila.
Aryan kembali mengangkat pedang dengan kedua tangannya. Kembali membuat dua pola terakhir. Seluruh arwah kembali menyerbu, dua kali lipat lebih kuat, diikuti hewan besar yang terbang di atasnya.
Bahaya.
Zargo mengangkat dua pedangnya, disatukannya kedua pegangannya, membuat pedang itu seketika menjadi satu. Semua serangan hitam itu semakin mendekat dengan cepat.
"Baik, cukup untuk permainannya!" Zargo melempar pedangnya.
Pedang dua sisi itu berputar horizontal mencapai ribuan arwah. Menebas lurus dan menyebar. Aryan tersenyum lebar, sebuah kesempatan langka untuk menguji seberapa hebat efek ledakannya. Ia melempar pedangnya lurus berputar vertikal.
Tepat ditengah, keduanya saling bertabrakan. Menimbulkan ledakan hebat.
Di siang yang kelam diselimuti kegelapan, sebuah cahaya terang meledak membutakan mata. Dinding kaca terkoyak, ledakannya membelah arena sampai seluruh Voreia, mengembalikan seluruh cahaya.
Terangnya siang kembali memenuhi halaman belakang Voreia menggantikan kegelapan.
Tepat setelah cahaya menghilang, Raizel yang tadi ikut terpelanting mundur seiring pecahnya barrier shield kini terbaring tidak sadarkan diri. Geo segera menghampirinya.
"Mereka memang gila." Katanya sebelum mengeluarkan tenaga penyembuhan total.
Zargo jatuh berlutut dengan seluruh tubuhnya terasa lemas. Napasnya sepotong-potong, hampir sesak. Aksaka masuk ke arena dan berdiri di sampingnya, hendak menyalurkan tenaga.
"Kalian berdua memang berbahaya." Kata Aksaka sebelum duduk di sampingnya.
Zargo terkekeh ditengah helaan napasnya yang hanya setengah-setengah, "kau lebih berbahaya, Aksaka."
Si Kembar kini bersebelahan, Rka jatuh berlutut dengan tubuhnya dipenuhi luka akibat pecahan kaca yang menancap. Yang lain mengambil satu keping kaca untuk menggoreskannya pada lengan.
"Darahmu akan habis, regenerasiku lebih cepat." Kata Taraka menyodorkan sebelah lengannya. Rka menatap darah yang mengalir keluar sebelum terkekeh lalu meminumnya. "Kita obati dirimu dulu sebelum yang lainnya."
Dexvan menghilang dari tempatnya, muncul lagi di dalam arena, tepat di samping Sang Alpha. Lelaki itu berlutut di hadapannya tepat sebelum tubuh kekar itu menjatuhkan diri menimpanya.
"Anda akan mati jika merampas kekuatan petinggi ke-empat sebesar itu lagi, Yang Mulia."