Setelah melewati kejadian semalam, lalu mengantarkan gadisnya pulang. Pagi ini kakinya melangkah panjang menuju ke rumah seberang. Mengingat ini sudah terlalu lama dan ia harus pulang. Beberapa hal hampir saja ia lupakan, untung sempat mengingat bahwa pada gadisnya ia harus berpamitan.
Sambil berjalan, ia memusatkan fokus pikirannya. Memulai pemanggilan kepada tiap-tiap anggota pasukan utama untuk diteruskan pada anggota lainnya. Mengirimkan pesan singkat, bahwa semua pasukan harus kembali ke Voreia.
Telepati.
Kini ia berdiri di depan gerbang sambil tangannya beberapa kali membuat bel ditekan. Membuat seseorang keluar dari tempat peristirahatan. Seorang pria yang usianya hampir memasuki setengah abad itu menghampirinya ramah. Membuatnya tersenyum sumringah.
"Saya ada perlu dengan sekretaris saya, boleh saya bertamu sebentar?" Ijinnya sopan.
Pria itu mengangguk, mempersilakan tetangga seberang itu masuk ke dalam rumahnya. Menyuruh tamunya untuk duduk, sementara ia pergi memanggil seseorang.
"Ada yang cari kamu."
Gadis itu turun.
Wajahnya tidak sedikitpun terpoles riasan. Pakaiannya tampak santai. Rambutnya juga diikat asal-asalan.
"Eh, bapak kesini? Ngapain?" Tanyanya berusaha biasa saja.
Memperlihatkan seperti tidak terjadi apa-apa setelah perbincangan terakhir mereka beberapa waktu ke belakang.
"Kenapa kamu?"
"Ah, enggak. Bapak ngapain?"
"Mau cari ayah kamu tapi sudah ketemu, makanya saya cari kamu."
Rayuan bapak-bapak. Terlalu klasik dan tidak menarik.
Gadis itu merotasikan bola matanya, lalu memilih duduk di sofa seberang. Berhadapan dengan direktur perusahaan yang duduk dengan tenang. Menunggu sang direktur mengatakan tujuannya datang.
"Saya mau pulang."
Violetta mengernyit tak paham, "rumah bapak di seberang, kenapa kemari? Bapak minum berapa banyak?" Tanyanya hati-hati.
"Saya titip kantor. Mungkin sekitar dua atau tiga hari."
"Kan, ada Za-"
"Zargo, Rka, Raizel dan pasukan lainnya harus pulang." Potongnya cepat. "Masih ada Abi. Saya sudah titip kamu sama dia."
Gadis itu terkekeh pelan, "memangnya saya anak kecil, sampai bapak harus titipkan ke orang lain?"
Kekehan tadi berakhir hening. Sang gadis memiliki sebuah pemikiran yang lain. Apakah ia bisa?
"Bisa. Mereka sudah terbiasa saat banyak orang tiba-tiba menghilang." Ujar lelaki itu kemudian bangkit dari duduknya. "Saya pergi dulu. Tolong pamitkan ayah kamu."
Lelaki itu bangkit dari duduknya, meninggalkan sang gadis yang menatap punggung tegap miliknya menjauh dari sana. Tidak lama lelaki itu benar-benar menghilang dibalik pintu. Menyisakan Violetta dalam kebingungan dengan pikiran-pikiran yang mengganggu.
Aryan berjalan cepat, masuk kembali ke dalam rumahnya. Menanggalkan setiap peralatan elektronik yang melekat di tubuhnya, lalu pergi ke salah satu ruangan yang ada di sana.
Portal dunia paralel itu kembali terbuka. Dengan kekuatan terbesar yang mereka punya. Seseorang sampai di atas benteng utara. Melihat sekeliling sebelum akhirnya mengembangkan senyumnya.
Voreia.
Sebuah kerajaan dibagian utara yang kekuasaannya melebar hampir ke setengah bagian dunia. Wilayah tengahnya dibangun benteng besar mengelilingi seluruh istana. Di luar pelataran, banyak desa-desa di antara pepohonan hutan. Sebagian wilayah lagi berupa dataran tinggi dan perairan.
Aryan memandang sekeliling, menemukan seseorang berdiri di sisi lain benteng. Tangannya bergerak acak mencoba membangkitkan sihir penghalang. Tepatnya, membuat sebuah pelindung. Pelindung kerajaan yang sangat besar dan sangat kuat.
"Berapa banyak?" Tanya seseorang di sampingnya, ikut menggerakkan tangannya.
Ia menoleh, "nol koma tiga persen. Retaknya lumayan banyak."
Achilles Elefterio Raizel. Penyihir pendukung dengan kekuatanya terhitung besar. Lapisan pelindung permukaan harus dibuatnya, ditambah bantuan darah murni keturunan 'Setth' yang dapat melakukannya.
Bedanya, saat ini ia ditemani Rka. Petinggi dengan kekuatan manipulasi darah yang sangat berguna. Memanipulasi darahnya sendiri dengan darah murni keturuan kerajaan untuk membangun barrier seluruh negeri.
"Bagian mana yang harus kembali stabil?" Tanya Rka memastikan.
"Benteng barat." Jawab Raizel masih memusatkan fokusnya pada kekuatan pelindungnya. "Butuh bantuan?"
Rka menggeleng kemudian pergi ke sisi barat benteng. Raizel masih fokus dengan perbaikan lapisan pelindung. Voreia dengan sejuta bintangnya, terlalu banyak yang harus dilindungi.
Seseorang kembali muncul di sampingnya. Memberikan kekuatannya untuk ikut membangun lapisan pelindung yang lebih kuat. Keturunan murni memang mengesankan.
"Ah, Sang Alpha." Ucapnya segan.
Aryan terkekeh mendengarnya, terbiasa dipanggil secara tidak formal di dunia yang lain ternyata berbeda rasanya ketika sampai di dunia paralel. Padahal sedari dulu mereka seperti itu.
"Bagaimana keretakannya?" Tanya Aryan ikut menggerakkan tangannya acak mulai memperbaiki sesuatu.
"Lumayan, nol koma tiga persen." Jawabnya sopan. Berdiri bersebelahan dengan raja besar membuatnya gugup.
Aryan mengangguk. Tangannya beralih mengarah sedikit ke atas menemukan keretakan lain yang belum diperbaiki. Lapisan pelindung Voreia tidak boleh memiliki celah.
"Raizel," panggil Aryan pada sosok di sampingnya yang masih fokus pada satu hal. "Hanya kamu yang memiliki kekuatan pelindung."
"Eh?"
"Setiap generasinya, dalam setiap pack, penyihir pendukung kekuatan pelindung itu seharusnya ada tiga. Namun Voreia hanya memiliki satu.
"Dengan keretakan sebanyak ini, kamu yakin?" tanya Aryan dengan nada serius.
Nol koma tiga persen adalah jumlah besar untuk retaknya sebuah pelindung yang besarnya mencakup sebuah negeri. Pelindung yang harus selalu diperbarui atau diperbaiki atau bahkan diganti dengan yang baru.
Benar, satu orang tidak mungkin mampu membangun pelindung sendirian. Seharusnya ada tiga, ditambah pemilik garis keturunan murni Voreiaㅡketurunan Setth. Empat bagian yang dapat membangun, setidaknya satu pelindung di setiap sisi.
"Ini lumayan, namun saya masih bisa."
Sebuah senyuman tipis Aryan berikan kepadanya.
Karena sebenarnya, setiap mereka hanya cukup untuk saling percaya. Maka setiap kekuatan itu akan berkembang dengan sendirinya. Seiring dengan sebuah kepercayaan akan kemampuan diri sendiri atau seseorang dipihaknya.
"Kalau terlalu dipaksakan, kamu bisa mati, loh."
﹌﹌
Malam.
Aryan berdiri di balkon menara utama memandang cakrawala. Menikmati indahnya malam hari di Voreia dengan sejuta bintangnya.
Ribuan kristal asterium tumbuh di tanah Voreia dengan sendirinya. Gemerlapan bak berlian bertebaran. Menyerap cahaya bintang dan kembali memancarkannya. Membuat Voreia tetap bercahaya bahkan jika tidak ada satupun penerang di langit malam.
Di atas, dua bulan dengan warna heterokrom bercahaya indah. Satu bulan berwarna safir biru dan lainnya berwarna merah ruby. Perpaduan warnanya diserap lalu dipancarkan kembali dengan indah.
Ada suatu saat dua bulan itu berevolusi bersamaan. Saat bulan biru mengorbit satu garis lurus tepat dengan bulan merah di orbit dalam. Memberikan kekuatan maksimal saat Voreia hanya memiliki satu bulan dengan warna merah sempurna, diikuti cahaya biru terang membentuk cincin layaknya gerhana.
Situasi dimana semua ciptaan Moon Goddess berubah tak terbataskan di setiap serapan cahayanya. Membuat banyak pertumpahan darah ataupun perang lainnya. Menjadikan sebuah hari adanya pertukaran darah menyakitkan pada setiap partnernya.
Kini Sang Raja berdiri dengan gagahnya. Menatap lurus layaknya pelaut di tengah lautan dan langit-langit berlian tanpa garis batas.
"Berapa lama lagi?"
Sebuah bisikan lembut tepat di telinga, membuat Aryan menoleh cepat. Mendapati sosok cantik yang berdiri di sampingnya. Sosok yang hilang ratusan tahun tanpa diketahui keberadaannya kini menatapnya penuh makna.
Tatapan lembut itu, Aryan benar-benar merindukannya.
"Violetta Setth," gumam Aryan pelan.
Sosok gadis berambut panjang itu mendekat perlahan, sangat elegan. Pakaiannya penuh gemerlap bintang, tampak mewah. Di atasnya kepalanya berhiaskan mahkota indah. Seluruh tubuhnya diselimuti cahaya bintang menjadikannya menawan.
Senyuman yang mengembang di wajahnya membuat dua pasang mata itu saling menatap. Masing-masing fokus di sana, tak mau berpaling. Menara tinggi itu kembali menjadi saksi.
Saat Alpha menemukan Luna-nya.
"Kristal asterium membutuhkan seorang Luna untuk membuat cahayanya tetap seimbang. Aku sudah kembali. Jadi, apakah kamu akan tetap berdiam diri?"
Sekeliling tubuhnya sangat terang, menyala bak cahaya bintang di seluruh Voreia berhasil diserapnya. Violetta Setth, Sang Luna, datang kembali untuk menemui Alpha-nya.
Kedua tangannya terangkat, menangkup wajah sang Alpha, menatapnya lekat.
"Tanpa ada Luna di negerinya, seluruh asterium ini bisa kehilangan keseimbangan. Setiap cahaya yang terserap membuatnya semakin kuat. Dan jika tak tertampung, dunia paralel ini akan meledak."
Tangan gadis itu merapikan sedikit rambut lelakinya yang diterpa angin. Menyelipkan sesuatu di antara pakaian kekaisarannya. Setangkai bunga yang sangat bermakna untuk keduanya.
"Saat itu, kamu menyatakan bahwa makna bunga ini adalah cinta sejati yang tak pernah berakhir." Bisiknya kembali menampilkan senyum indah. "Saat aku mati, saat itu juga aku berjanji bahwa aku akan kembali."
"Karena Aryan dan Violetta Setth itu,"
"Tidak pernah berakhir."
﹌﹌
Bumi.
Beberapa jam yang lalu, bersamaan dengan hari di mana semua pasukan pergi dari bumi. Cuaca sangat cerah penuh dengan cahaya matahari. Terang, namun tak terlalu terik. Diikuti awan-awan tipis yang ikut menghiasi.
Angkasa yang indah sepertinya turut merestui dua orang yang sedang menikmati hari ini.
Libur akhir pekan kali ini dimanfaatkan dengan baik. Tidak seperti saat-saat sebelumnya yang biasa ia habiskan dengan membuka portal untuk kembali ke kerajaan. Kali ini ia memilih berjalan-jalan mengelilingi kota.
Upah kerja memberitahukan nama restoran untuk bosnya kencan semalam.
"Mau ke mana?" Tanyanya pada sang gadis.
"Hum?" Gadis itu mendongak, menatapnya sebentar lalu kembali menatap ke depan memperlihatkan gerakan berpikir. "Nggak tau. Kamu?"
Langkahnya hampir berhenti ketika manik indah gadis itu menatapnya. Cantik sekali. Ah, juga panggilan dari sudut pandang orang pertama pada orang kedua barusan. Semenjak kapan kata 'kamu' bisa terdengar begitu lembut?
Fokusnya sampai kacau.
"Ke taman bermain," cetusnya asal. "Mau?"
Gadis itu mengangguk dengan senyum. Dia berjalan semangat mendahului lelaki tinggi di sampingnya. Dari belakang, seseorang menatapnya dengan senyum yang sudah sangat lama tidak ditampilkan.
Mereka duduk di halte bersebelahan. Menunggu sebuah bus yang mengantar ke tempat tujuan mereka datang. Tidak ada obrolan yang tercipta. Namun sang gadis tetap memandang ke jalan, menunggu tanpa sorot jenuh. Tangannya menepuk-nepuk paha sambil bersenandung kecil.
"Maaf,"
Satu kata mengundang deheman heran dari sang gadis.
"Harusnya tadi bawa mobil supaya nggak nunggu kelamaan gini." Katanya canggung. Tangannya terangkat menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Gadis tadi tersenyum sangat manis, "kenapa minta maaf? Aku suka kok naik bus." Ia kembali tersenyum.
Sebuah bus datang. Sang gadis menarik tangannya cepat. Masuk ke dalam lalu memilih duduk di belakang. Gadis ini semangat sekali. Ia memilih duduk di samping jendela melihat keluar sesekali masih dengan semangat yang tidak pudar.
"Zee,"
"Ya, Kak?"
Zargo menoleh terkejut, "jangan panggil 'Kak', kita seumuran."
Auzee mendekatkan wajahnya ke telinga Zargo, "umur Kak Zargo itu ratusan tahun hampir ribuan, loh." bisiknya meledek.
Zargo diam, Auzee juga menikmati keheningan yang tercipta. Ia banyak menatap ke luar jendela. Sepertinya tempat di samping jendela itu memang spot terbaik yang banyak digemari oleh orang-orang.
Tidak lama, Auzee mengambil ponselnya. Memasangkan kabel earphone lalu memakai di satu telinganya. Satunya lagi dibiarkan menjuntai sampai Zargo sendiri yang mengambil dan memasang ditelinga kanannya.
"Mau denger juga."
Sebuah lagu yang baru dimulai terdengar. Mengalun, suara khas yang terdengar lembut itu mulai bernyanyi. Suara lembut yang akan diidamkan gadis-gadis di luar sana. Suara yang akan membuat setiap gadis yang mendengarnya dapat merasakan yang namanya candu.
"Itu cover, bukan penyanyi aslinya."
Sebuah penjelasan singkat tanpa diminta, membuat Zargo sedikit penasaran. Dengan suara sebagus itu, apakah penyanyi ini juga tampan?
"Kak Zargo mirip sama orang yang cover lagu ini."
"Mirip apanya?"
"All of you."
Benarkah? Sepertinya Zargo harus mencari tahu banyak.
Keduanya larut dalam suasana sampai bus berhenti di halte tujuan. Auzee melepas earphone-nya diikuti oleh Zargo. Ponsel dan earphone dimasukkan ke dalam tas. Turun dari bus dengan cepat. Masih dengan tangan kanan Zargo yang digenggam erat oleh Zee namun sedikit menariknya.
Mereka masuk bersamaan setelah membeli tiketnya. Taman bermain di akhir pekan. Ramai sekali ternyata. Lain kali Zargo akan ke tempat ini saat hari kerja. Membolos sesekali itu tidak apa-apa. Lagi pula, Aryan juga sering berduaan dengan Vio.
Zargo terkekeh mengingat kejadian Aryan menanyakan salah satu restoran malam untuk kencan dengan Violetta. Eh, apa bisa disebut kencan?
"Kak!" Panggil Auzee padanya. "Mau naik wahana itu nggak?"
Mata Zargo mengikuti jari telunjuk Auzee yang terulur ke atas. Menunjuk sesuatu yang menjulang tinggi sampai ke langit. Sebuah wahana yang saat penumpangnya dinaikkan ke atas dengan pelan, lalu dijatuhkan dari atas dengan kencang.
Membayangkannya saja ia sudah bergidik ngeri. Ah, bolehkan ia menolak? Oke.
"Nggak," jawab Zargo menggelengkan kepalanya tanda tak mau. "Takut nyawanya ketinggalan di atas."
Auzee tertawa keras mendengarnya, "nggak bakalan, Kak. Percaya sama Zee."
Zargo tetap menggeleng. Kalau sedang di Voreia, ia akan lakukan apa saja karena tenaganya tidak akan cepat habis. Namun setinggi itu di dunia nyata, membayangkan kalau jatuh dari atas sana tanpa bisa memulihkan tenaga. Mengerikan.
"Ya udah, naik itu. Mau?" Telunjuk Auzee lagi-lagi terarah kepada wahana tinggi lain.
Terlihat aman. Tanpa perlu takut nyawa tertinggal di atas. Zargo mengangguk menyetujui.
Setengah putaran, mereka berada hampir di titik paling atas. Wahana seperti kincir angin besar ini berputar dengan durasi cukup lama. Berada di tempat seperti gerbong kecil yang membawa mereka sampai ke atas sini. Suasana kasmaran ala anak muda jaman sekarang.
"Kak Zargo belum pernah naik ini, kan?" Tanya Auzee semangat.
"Pernah," jawab Zargo jujur. Ia menyandarkan tubuhnya, beralih menatap wajah gadisnya. "Kalau naik ini sama kamu, sih, baru ini."
"Gombal."
Keduanya terkekeh.
"So, you are werewolf, right?" tanya Auzee memastikan. Zargo mengangguk lagi. "Dari kerajaan mana?"
"Voreia."
"Ah, utara?"
"Kamu tahu banyak, ya?"
Auzee mengangguk, "who is an alpha?"
"Aryan. Dia juga presdir di perusahaan."
"Ada luna-nya?"
Zargo mengangkat bahu. "Mati ratusan tahun lalu. Tapi, sepertinya sudah ada lagi."
"Posisi Kakak apa? Beta or Gamma?"
Sebentar. Gadis ini tahu terlalu banyak. Bagaimana bisa? Zargo bahkan tidak mengerti makna dua hal tadi. Bagaimana soal werewolf saja Auzee dapat benar-benar mengetahuinya?
Auzee terkekeh. "Di rumah banyak buku-buku lama soal makhluk mitologi. Aku sering baca. Beta, the second in command. Apa alpha kalian nggak punya wakil?"
Zargo hanya menggeleng.
"Berarti Kak Zargo itu Gamma? Third in command, bagian melatih pasukan itu."
"Bukan juga, itu bagian petinggi lainnya."
"Posisi Kak Zargo nggak jelas."
"Kak," Auzee mengangkat bicara lagi. Membuat Zargo ikut menoleh kepadanya. "Kakak nggak mau aku jadi partnernya Kakak? Or, if i'm not your mate, can I be your partner?"
Ini sebuah permintaan? Atau perintah? Zargo tersenyum. Menggeleng perlahan. Tangannya terulur mengusak poni tipis Auzee dengan lembut.
"Tunggu sebentar, kita akan bertahan lebih lama. Just, stay awhile." bisik Zargo pada gadisnya. "Nikmati dulu kehidupan kamu waktu masih jadi manusia, nikmati waktu bebas yang ada sebelum kamu terikat."
Auzee mendongakkan kepalanya menatap setiap inci pahatan wajah Zargo teliti.
Tanpa sadar, keduanya jatuh.
"Karena setelah itu, kita akan hidup selamanya."
Auzee hanya tersenyum. Memahami bahwa yang barusan itu hanya kalimat penenang.
"Kamu tahu, ada yang lebih memabukkan dari alkohol. Sesuatu yang lebih candu dari kokain."
"Auzee Ruthless,"
"I think, I like me better when I'm with you."
﹌﹌
Pagi di kemudian harinya. Zargo berada di apartemen pribadinya, sedang menanggalkan arlojinya. Tangannya bersiap di atas untuk membuka portal dimensi.
Portal selesai dibuka dan Zargo langsung masuk ke dalam sana. Keluar di dunia asal dalam tampilan yang berbeda. Pakaiannya berlapis armor dengan jubah luar berwarna putih.
Langkahnya elegan namun tegas, suaranya menggema di sepanjang lorong menuju ruang tahta. Dari luar, tangannya mendorong pintu besar ruangan. Berjalan tegap, dengan tangan kirinya berada di pinggang memegang sebuah pedang panjang berukirkan emas.
"Latihan seluruh pasukan akan segera dimulai. Semua menunggu Anda." Ucap lelaki itu sopan.
Kepalanya mendongak dengan tatapan lelah, sebelah tangannya memijat pelipis pelan. Kembali menghela napas, ia bangkit dari duduknya. Tangan kanannya mengambil sebuah pedang ㅡdengan ukiran berbentuk serigala yang tampak megahㅡmemasangnya ke bagian kiri samping tubuhnya.
"Ada apa?" tanya lelaki itu lagi.
"Semalam, di menara utama," ia menjeda kalimatnya sambil berjalan mendekat. "Violetta Setth. Dia datang."
"Bagaimana bisa?"
"Tubuhnya di selimuti cahaya bintang," Aryan mulai berjalan perlahan diikuti Zargo di sampingnya. "Itu bukan seluruh raganya, hanya jiwanya."
"Maksud anda?"
"Zargo, Violetta Setth itu sudah mati. Yang semalam itu jiwanya yang dulu. Seorang Luna saat mati, apa dia akan berubah menjadi bintang?"
Zargo diam, tidak menanggapi racauan Sang Alpha.
Mereka berdua berbelok di lorong kedua menuju ke halaman belakang istana. Langkah kaki tegap mereka masih menggema di seluruh lorong.
"Semua kristal di Voreia. Mereka membutuhkan seorang Luna untuk mengendalikan setiap cahayanya." jelas Aryan dengan nada tenang.
"Apa maksudnya mengendalikan?" langkah Zargo berhenti tepat saat ia menyelesaikan kalimatnya. "Mengapa harus seorang Luna?"
Aryan ikut berhenti, tubuhnya berbalik berhadapan dengan Zargo. "Katanya, tanpa seorang Luna yang mengendalikannya, setiap cahaya bintang yang diserap semua asterium itu akan semakin kuat.
"Voreia dan seluruh dunia paralel ini," ia kembali menjeda kalimatnya, mengambil napas perlahan lalu menatap tangan kanannya dengan tegas. "Akan meledak."
Hening.
Keduanya terdiam cukup lama, hampir lima belas menit. Berdiri berhadapan, dengan kedua pandang yang nampak hampa, dan pikiran yang entah kemana.
"Bagaimana dengan Luna-mu?" tanya Zargo membuka pembicaraan. "Kau sudah bicara?"
Aryan menurunkan pandangannya, perlahan kepalanya bergerak menggeleng.
"Tidak."
"Sampai kapan kau akan menahan itu? Sebentar lagi Red Moon."
"Tiga hari sebelum Red Moon. Aku akan mengatakannya." putus Aryan.
Keduanya kembali melangkah dalam keheningan. Mereka kembali berbelok di lorong terakhir menuju gerbang utama menuju halaman belakang istana.
Sampai.
Pandangan keduanya seketika diterpa rumput hijau luas. Sekitar delapan kilometer di depannya adalah perbatasan dengan pepohonan pinggir sebelum menuju ke dalam hutan. Kedatangan keduanya disambut dengan banyak orang yang ada di sana.
Latihan pasukan akan segera dimulai.