Chereads / KINGDOM / Chapter 5 - ∅4

Chapter 5 - ∅4

Pagi yang sama, di sebuah rumah besar bernuansa vintage. Berbeda dengan kediaman Lawren, rumah ini sedikit berhawa suram. Masih terlalu pagi untuk dua orang laki-laki penghuni rumah ini menciptakan keributan. Namun keduanya sudah saling berteriak, kembali berdebat hal-hal sepele.

"Bukan yang itu!"

"Yang ini, 'kan?" Teriaknya mengangkat sebelah tangan menunjukkan sesuatu. Ia berdiri di atas kursi, sedikit berjinjit dengan tangannya yang lain merogoh sesuatu di rak atas.

Satu lelaki tinggi itu mendongak, menatap barang yang ditunjukkan padanya. "Bukan, dibilang bukan juga. Itu yang sebelahnya!"

Dethan Zeith Alkaero, petinggi keempat, pemain tombak bermata dua. Seseorang yang Rka anggap sebagai ayah sekaligus partnernya dalam bertengkar. Mereka berdua bagaikan dua bahan yang mudah meledak lalu disatukan. Hal kecil apapun diantara mereka pasti berakhir dengan umpatan.

"Ya, 'kan lo lebih tinggi, anj-?" Di ujung, Rka menahan umpatannya. Ia berbalik, berteriak sambil menatap garang pada ayahnya dari atas kursi. "Ambil sendiri!"

"Ogah." Tolak Dethan mentah-mentah. Ia kembali menatap Rka lebih galak. Memberi titah dengan nada mengerikan. "Cepetan ambil."

Kali ini, masalah sepele sebenarnya.

Dahulu sekali, sudah puluhan tahun keduanya menyimpan piringan kecil. Dan sekarang benda itu terselip diantara beberapa piring. Hasil keusilan Rka kemarin. Niatnya memang menyembunyikan piring itu dari ayahnya. Namun, benda itu malah benar-benar terselip dan sulit diambil.

Mengingat betapa ganasnya sifat Dethan, Rka benar-benar mencari masalah.

"Nggak sampai!" Teriak Rka lagi. Kakinya berjinjit di atas kursi. Kepalanya melongok ke dalam rak sambil tangannya mengobrak-abrik piring di dalam sana.

Decakan Dethan membalas rengekan Rka. "Makanya, tumbuh itu ke atas bukan kesamping!"

Di atas meja, Dethan duduk di sana. Menegak airnya dan tetap memandang Rka tanpa niat membantu. Padahal hanya sebuah piring marmer kecil. Sekecil itu, berharga untuknya.

Rka memang usil sekali.

Beberapa kaliㅡatau bahkan terlalu sering, Dethan sendiri yang menjadi korban kejahilannya. Kalau keduanya dekat, mereka akan adu mulut berakhir sedikit baku hantam. Jika keduanya jauh, mungkin mereka bisa saling merindukan. Hubungan love-hate relationship layaknya kakak beradik.

Menggelikan.

"Gue, 'kan anak lo!" Teriak Rka masih mencari.

Dethan kembali menampik omongannya. "Gue tinggi, lo pendek. Artinya, lo bukan anak gue."

"Punya bapak kaya setan." Gumam Rka kesal.

"Ngomong apa lo?"

"Bapak gue ganteng."

"Dasar anak setan, bapaknya dibohongin." Makinya kesal.

Terlalu lama.

Baru saja Dethan beranjak dari kursinya ingin membantu, langkah panjangnya berjalan mendekat. Dari atas kursi, Rka berteriak semangat mengangkat piring kecil di tangan kanannya tinggi-tinggi. Piring yang sedari tadi mereka cari akhirnya ketemu. Terlalu semangat, Rka sedikit memundurkan kakinya kursi terlalu ke belakang. Alhasil, bagian sandaran kursi terdorong, membuat tubuh Rka limbung seiring dengan jatuhnya kursi.

Dethan mendekat cepat dengan langkah panjang. Mencoba menangkap tubuh anaknya, atau piring di kecil tangan anaknya. Yah, seandainya tubuhnya lebih berisi sedikit lagi, pasti hal buruk ini tidak akan terjadi.

Prang!

Suara benda pecah terdengar bersamaan saat tubuh keduanya terdampar di lantai. Dethan dengan posisi tengkurap, benar-benar menyentuh lantai. Diikuti tubuh Rka yang jatuh tepat berada di atasnya dengan posisi serupa. Tangan kanannya terulur ke depan seperti hendak menggapai sesuatu.

"Pecah, Dad!" Rka merengek lagi.

Acuh, Dethan menghela napasnya mencoba sabar. "Udah lihat."

"Gimana dong?"

"Bereskan." Titahnya mengerikan.

Rka hendak bangun, sudah berdiri. Namun, getaran kecil dari ponsel di saku celananya membuatnya beralih menduduki punggung ayahnya. Dethan yang tubuhnya kembali dipaksa menempel lantai hanya meringis.

Suara sapaan tegas memanggilnya dari seberang tepat saat ia mengangkat panggilannya. Rka menjawabnya dengan santai, "masih pagi, Pak. Masih ada satu jam lagi buat ke kantor."

Selanjutnya, suara itu memberi instruksi padanya untuk pergi ke kerajaan. Katanya, untuk mengambil buku yang dititipkan di perpustakaan.

"Ngambil doang, harus berdua? Kerjaan kita banyak, Pak."

Protesnya tetap tidak didengarkan. Sang penelepon malah menyuruh Rka menemuinya setelah ia mengambil barang itu. Ia mengatakan kalau ada sesuatu yang ingin ia tanyakan. Selanjutnya, nada panggilan diputus terdengar jelas.

Tidak sopan sekali.

Rka menghela napasnya kasar, mencibir Aryan yang sering menyuruhnya seenak jidat.

"Argh!" Erang Dethan yang punggungnya masih diduduki oleh Rka. "Berat, sial!"

Rka tak membalas umpatan Dethan. Ia langsung beranjak menyingkir dari atas tubuh Dethan. Pergi masuk ke kamarnya tanpa menatap ayahnya.

"Dasar anak jaman sekarang. Minim akhlak."

﹌﹌

Sebuah kediaman lain, bernuansa hitam dan putih. Kediaman yang lebih hangat daripada kediaman sebelumnya. Lebih seperti menampilkan suasana tegas, dingin, dan menawan.

Sebuah keluarga kecil yang memiliki gambaran tepat seperti suasana rumahnya saat dilihat dari luar. Atau malah mereka yang mempengaruhi bagaimana suasana penampakan rumah itu?

"Dia masih tidur?"

Keluarga itu sedang duduk di meja makan, sudah selesai melakukan sarapan. Meja persegi panjang dengan delapan kursi di sekelilingnya. Rafael Elvareen Aldevaro duduk di sisi ujung. Kepala keluarga Aldevaro yang penuh wibawa.

Anak pertamanya mengangguk, "tadi sudah aku cek. Masih tidur." Ujar anak pertama mereka. Athan Azael Aldevaro.

"Bangunkan, Than. Dia sudah tidur seharian." Perintah wanita yang masih tampak muda itu padanya. Thalita Prajapati Aldevaro.

Rafael menampilkan raut maklum, tersenyum kecil sambil menggelengkan kepalanya heran. "Tidur dua puluh empat jam." Gumamnya. "Cek sana Raka, siapa tahu mati?"

Dua puluh tiga tahun yang lalu.

Langit malam disertai ribuan gemerlap bintang akhirnya menggantikan derasnya badai hujan. Suasana sore yang tadinya mencekam, kini berubah menjadi malam yang menyenangkan. Seorang anak lelaki berusia tiga tahun berdiri di balik pagar pembatas di balkon. Kepalanya menengadah ke atas menatap bintang. Sesekali matanya terpejam, menikmati semilir angin menerpa wajahnya.

Pandangannya turun sampai ke teras rumahnya. Matanya menyipit. Menelisik sesuatu di depan pintu rumahnya. Ia berlari masuk ke dalam rumah. Segera berlari menuruni tangga sampai ke lantai bawah. Menghampiri dua orang yang sedang menikmati teh hangat mereka.

"Kotak luar ada!" Teriaknya panik.

Wanita muda itu tersenyum. Mendengar kalimat dengan susunan kata yang teracak. Anaknya tampak menggemaskan.

"Kenapa?" Tanya wanita itu lembut.

"Pintu itu depan kotak ada!"

Tidak memahami maksud sang anak, wanita itu menoleh pada lelaki di sampingnya. Berkontak mata saling bicara. Selanjutnya, raut wajah lelaki dewasa itu berubah berpikir. Sekejap. Lalu beralih pada anaknya.

"Di depan pintu ada kotak?" Tanya ayahnya memastikan.

Melihat anaknya mengangguk semangat, kedua orang itu bangkit dari duduknya. Segera pergi mendekat pintu depan untuk memeriksa.

Dibukanya pintu besar itu. Dan sebuah kotak dari rotan menyambut mereka. Tampak tenang. Tidak ada yang mengejutkan. Hanya sesuatu yang mulai bergerak dari dalam kotak. Sesuatu yang terdengar bernapas tenang.

Sang wanita menatap lelakinya heran. Sang lelaki menatap wanitanya bingung dengan sang anak dalam gendongannya. Dan pada akhirnya, alur klise yang mudah ditebak itu terjadi. Alur yang biasanya tampak menyedihkan itu terlihat. Tepat saat wanita itu mengangkat sesuatu terbalut kain. Mendekap dan menggendongnya erat.

"Dia... dibuang?"

Lelaki itu menggeleng. "Sepertinya tidak." Katanya tidak yakin.

Kakinya ditekuk sampai posisinya menjadi berlutut. Mencari sesuatu di dalam kotak. Memeriksa apakah ada sesuatu yang menunjukkan identitasnya. Tidak menemukan apapun, satu tangannya mengambil tangan mungil itu. Menemukan goresan apik menghiasi punggung tangan kanannya.

"Ini bentuk panah."

Keduanya menunjukkan respon terkejut. Wanita itu mengambil alih tangan kanan sang bayi. Benar saja. Di punggung tangan kanan itu ada gambar yang tampak sempurna. Terdiri titik dan garis yang membentuk konstelasi, garis panjang, satu busur, dan satu mahkota yang semuanya tersusun rapi, membentuk tanda panah yang indah.

Sebuah gerakan kecil menarik perhatian mereka. Lenguhan kecil khas seseorang yang baru bangun dari tidur mulai terdengar. Berkali-kali mata kecil itu mengerjap untuk terbuka. Keduanya menatap mata itu kagum.

Netra obsidiannya berkilau, memantulkan titik-titik cahaya bintang. Tampak seperti seluruh langit berada di matanya.

Semakin terkagum saat sepasang mata itu berubah biru. Tidak. Itu menakutkan. Sangat menakutkan karena tiba-tiba ada tulisan dengan cahaya tersorot dari matanya. Seperti hologram.

Senyuman tipis terukir di wajah tegas lelaki itu. Sorot matanya berbinar ketika tulisan hologram itu menghilang. Ketika mata obsidian itu kembali memantulkan cahaya bintang. "Selamat datang,"

"Dariel Taraka."

"Brengsek, Dek! Bangun!" Athan berteriak sambil menendang tubuh adiknya. Sayangnya, itu tidak bekerja. Pemilik tubuh tetap tidak juga terbangun. "Lo tidur atau mati, sih?! Raka, bangun!"

Di bawah, sebuah mobil putih berhenti di depan gerbang. Membawa sang pemilik keluar dari kursi kemudi lalu berdiri di depan sana. Dengan dua tangannya memegangi besi-besi vertikal di gerbang, ia berteriak, "punten, Tara!"

Suaranya masuk, terdengar sampai ke dalam. Mengingat pintu utama selalu dibuka setiap pagi. Membuat Thalita dan Rafaelㅡyang masih duduk di meja makanㅡlangsung menoleh keluar bersamaan.

"Itu siapa teriak-teriak?" Tanya Rafael.

Thalita mengendikkan bahunya, "padahal 'kan ada bel di tembok gerbangnya." Ia meletakkan piringnya kembali di meja, lalu pergi ke luar.

"Tara!" Rka berteriak lagi. Dua tangannya masih bertengger menggenggam besi pintu pagar.

Tak lama, Thalita membuka pintunya dengan senyum ramah, "oh, Rka. Bawa masuk aja mobilnya."

"Sebentar aja kok, Mi. Taranya mana?"

"Masuk dulu, Ka. Kembaran kamu masih latihan mati."

Rka tertawa mendengarnya. Is mengikuti langkah Thalita masuk ke dalam rumah. Pandangannya bertemu dengan Rafael yang duduk di meja makan. Lelaki itu melempar senyum.

"Sudah sarapan, Ka?" Rka membalasnya dengan anggukan. "Naik aja. Athan juga di atas."

Rka mengangguk lagi. Ia segera pergi menaiki tangga dengan santai. Sampai ke lantai dua. Suara teriakan dari dalam kamar terdengar keluar.

"Raka! Bangun, anjeeeng!!"

Rka membuka pintu kamar kembarannya. Mendapati Taraka masih tertidur dengan posisi melintang. Kepalanya menggantung di pinggiran kasur ditopang lehernya. Tangannya terkulai dari atas. Sepertinya habis ditarik paksa.

"Siram aja, Bang."

Athan menuruti saran Rka. Ia masuk ke kamar mandi mengambil sebuah gayung terisi air setengahnya, lalu mengguyur wajah adiknya yang tetap menggantung di kasur.

"Gila! Masih belum bangun juga!" Cetus Athan heran.

"Tidur dari kapan emangnya?"

"Kemarin," jawab Athan mendekati Rka yang berdiri di ambang pintu. Tubuhnya diserongkan menghadap kasur adiknya. "Nggak bangun-bangun, buset. Beneran mati kayaknya adek gue."

Baru saja mereka akan keluar, tiba-tiba suara ponsel di atas nakas berbunyi. Membuat pemiliknya langsung bangun tergesa. Ia bangun cepat dari tidurnya dan berakhir basah kuyup karena terjatuh di samping tempat tidur. Tepat di tempat Athan mengguyur wajahnya dengan air.

"Hah?! Apaan?" Jawabnya setengah sadar. Terlihat panik.

"Habis simulasi mati ya, lo?" Suara mengejek dari seberang terdengar.

"Iya. Buruan, gue masih ngantuk."

"Di suruh ke perusahaan. Lo jadi manager brengsek banget, sih, tidur mulu."

"Ngantuk, Ndra. Parah."

"Pokoknya, ke perusahaan."

Panggilan dimatikan. Taraka meletakkan kembali ponselnya di atas nakas. Mengusak rambutnya pelan dan tangan lainnya mengucek matanya mengantuk.

"Lo bangun karena suara telepon?" Tanya Athan menatap adiknya tidak percaya.

"Bang, lo kok masuk kamar gue?!" Serunya terkejut.

"Disuruh sama papi buat cek keadaan lo. Siapa tau lo mati." Jawab Athan seadanya.

Tatapannya beralih ke samping kakaknya. "Lo juga, ngapain ke sini pagi-pagi?" Tanya Taraka pada saudara kembarnya dengan nada sedikit kesal.

"Pagi mata lo tiga! Udah jam sembilan, Ta! Sem-bi-lan." Tekan Rka disetiap suku kata kalimatnya. "Kita disuruh Aryan ke kerajaan."

"Ngapain?"

"Ambil titipan."

Taraka berdecak. Tangannya mengibas tanda menolak. "Lo aja sendiri, gue mau tidur."

Melihat Taraka memegang selimut, hendak berbaring kembali di kasur, Rka menarik kepalanya. Lengannya melingkar di leher kembarannya, menyeretnya masuk ke dalam kamar mandi. Menyisakan Athan yang meringis melihat adiknya setengah tercekik.

"Ka, itu adek gue-"

"Harus diginiin, Bang. Biar bangun."

﹌﹌

Lolos.

Gadis itu hampir berteriak dengan sangat keras. Usahanya tidak sia-sia. Membuahkan hasil yang sangat menyenangkan. Kepalanya kembali tertunduk. Netranya kembali membaca isi lembaran itu tak percaya.

Jadi, ini hidup barunya?

Zylvechia Lyana Zyver, ia berjalan semangat sambil sesekali membungkukkan tubuhnya sopan. Senyum itu menghiasi wajahnya. Gedung besar ini bahkan tampak lebih hangat dari sebelumnya.

"Lexa!"

Mendengar namanya dipanggil, gadis yang sedikit lebih tua itu menoleh. Keduanya saling tersenyum dengan semangat. Berita gembira menanti mereka.

"Gue lolos!"

Matanya membelalak terkejut, senyum di bibirnya semakin mengembang. "Beneran?"

Sekali lagi anggukan semangat itu diberikan. Senyumnya sama sekali tidak memudar. Manis sekali.

"Mau keliling?" Tawarnya pada gadis itu. Terus mengangguk semangat. Sepertinya tidak ada hari lain yang semenakjubkan ini baginya.

"Gue anterin."

Mereka berdua berjalan bersama. Mengelilingi gedung agensi hampir ke seluruh penjurunya. Mulai dari lantai pertama sampai lantai teratas sudah mereka jelajahi semua.

Keduanya selalu menampilkan senyum, sesekali membungkuk saat ada senior atau staf lainnya. Kehidupan di agensi ternyata seramai ini.

"Sultan!" Panggil Lexa pada seseorang yang hampir masuk ke ruangannya.

"Oh, Lexa. Kenapa?"

"Baron ada?"

Gadis itu mengangkat bahunya tak tahu. "Jam segini belum dateng si Baron." Jawabnya melirik arloji di tangannya. "Kenapa?"

"Ini," tunjuknya pada gadis di sampingnya. "Trainee baru. Kata Baron suruh ketemu dia dulu."

"Oh, halo!" Sapa Sultan membungkukkan badannya sebentar. Zylvechia spontan ikut membungkuk sopan. "Jevyska Sultan. Kalau mau ketemu Baron bilang gue dulu, nanti gue yang urus."

Oke, gadis dengan kemeja serta jas rapi itu ternyata sekertaris bos besarnya. Ia akan ingat itu.

"Zylvechia, Kak." Katanya memperkenalkan diri.

Mereka hanya berbincang sebentar. Segan rasanya jika terlalu lama berbincang dengan orang-orang besar di suatu perusahaan. Canggung. Lexa mengajaknya kembali ke ruang latihan mereka sembari menunggu pemilik agensi itu datang untuk berbincang soal kegiatan trainee barunya.

Di lahan parkir di bawah sana, sebuah mobil berhenti. Taraka keluar lebih dahulu dari kursi kemudi. Diikuti Rka dari kursi penumpang samping kemudi. Kini keduanya melangkah berdampingan. Masuk dengan leluasa tanpa perlu memerlukan ijin. Langsung berbelok di ujung dan masuk ke dalam lift.

"Mau ngapain ke sini?"

"Sebentar, gue ada urusan."

Mereka keluar dari lift saat sudah mencapai lantai ke tiga belas. Berjalan santai karena lorongnya terlihat sepi.

Dua orang lainnya hampir menuruni tangga. Suara obrolan barusan menarik perhatiannya. Dia berbalik, memanggil si pemilik suara.

"Ka!"

Panggilan untuk dua tujuan. Rka atau Taraka. Keduanya berbalik, menemukan dua gadis di ujung sana. Salah satunya melambaikan tangan kemudian berjalan mendekat, diikuti gadis lain di sebelahnya. Alexandra Claraklee Pratama. Pasukan tempur kerajaan.

"Tumben berdua ke sini?" Tanyanya akrab.

"Nih," tunjuk Rka pada Taraka.

Yang ditunjuk hanya menampilkan senyum canggung. Sejenak tatapannya teralih pada gadis di samping Lexa. Sang gadis yang tadinya menatap ramah, terkejut saat tatapannya bertumbuk pandang. Orang itu langsung menatap tepat pada dua matanya cukup lama.

Senyum canggung itu menakutkan.

Namun, rasanya seperti...

Tidak asing.

Mengalihkan pandangannya lagi, Taraka berdehem. "Gue, ke ruangan Kavindra dulu." Pamitnya pada mereka bertiga.

"Tumben diem aja kembaran lo." tanya Lexa pada Rka yang masih diam di tempat.

"Oh," Rka menoleh menatap Lexa santai. Tangannya menunjuk ke belakangㅡarah yang satunya tadi pergi. "Masih ngantuk, tadi gue paksa bangun."

Kekehan kecil dari Lexa menjawabnya. Sesuatu menjadi canggung, Zylvechia merasakan sikut seseorang menyenggol tubuhnya perlahan. Tatapan bingung sahabatnya ini ditunjukkan padanya. "Kenapa diam?"

"Hah? Eh, eng-enggak," jawabnya gugup.

Mengangguk, Lexa mulai membuka mulutnya lagi. Memperkenalkan. "Ini Raien Klaud Achilleus, atau biasa dipanggil Rka. Pelafalannya bukan Raka, Rika, Ruka, Erika, tapi Er-ka."

"Halo, Kak! Zylvechia Lyana Zyver, panggil aja Zylvechia." salam Zylvechia sedikit membungkukkan badan, diikuti Rka dengan gerakan yang sama.

"Kalau yang tadi itu kembarannya Rka. Dariel Alaend Taraka Aldevaro. Dia manager artis di sini." Lexa masih melanjutkan topiknya.

Zylvechia tertegun, suatu hal familiar. Ia melirik ke pergelangan tangan kirinya. Perlahan tangannya yang lain memegang pergelangan kirinya menutupi sebuah gelang yang melingkar di sana.

'Aldevaro, ya?'

Rka dan Lexa masih berbincang, entah basa-basi atau beberapa hal penting. Zylvechia hanya diam di sana ikut menyimak walau tidak sepenuhnya mendengarkan. Sesekali tersenyum atau saat ditanya ia akan menjawab lalu kembali diam.

Sebenarnya, Zylvechia menyadari ada beberapa hal yang aneh dengan gedung besar ini. Mulai dari sahabatnya sendiri, CEO agensi, wakil dan sekertarisnya, beberapa artis senior, para staf, sampai para managernya. Aura yang mereka pancarkan sangat dingin, seperti terlalu kuat untuk ditembus.

Cukup lama, Rka menegakkan tubuhnya. Ia berpamitan pada Lexa. Katanya, ingin menyusul saudaranya di ruangan bosnya.

"Oh, mau balik?"

Rka mengangguk, "ada titipan dari Aryan. Duluan ya."

Hal lainnya, adalah orang yang barusan. Ia tidak pernah datang ke sini. Atau mungkin pernah, namun Zylvechia tak menyadarinya? Entahlah.

"Kak Rka itu sering kesini, ya?" Tanya Zylvechia menatap punggung Rka yang berjalan lurus menuju ke ruangan bosnya.

Lexa terkekeh, "nggak. Rka baru dua kali ke sini. Itupun yang pertama dia nunggu di cafe bawah."

Aneh, kan?

"Kenapa?"

"Enggak, heran aja, kok Kak Rka bisa tau arah ruangannya." Zylvechia menjawab dengan sebuah kekehan.

Selang beberapa detik, keheningan itu terjadi sambil keduanya menatap lorong arah Rka pergi.

"Omong-omong," gadis itu membuka topik lagi. "Kak Baron kapan datangnya?"

Bahunya hampir tersentak karena terkejut. Untung tidak terlihat. Lexa mengabaikan keheranannya. Kini mereka beralih berjalan turun karena Lexa mengajaknya membeli beberapa camilan di bawah.

"Nggak jadi ketemu Kak Baron?"

"Nanti aja."

Benar, kan? Ada yang aneh.