Tangannya mendorong salah satu pintu. Di dalam, ruangan yang cukup luas ini diisi dua lelaki dan empat perempuan. Satu pemilik agensi, satu manager, sisanya artis idola. Keenam orang itu menyambutnya dengan baik. Pemilik agensi menyuruhnya untuk duduk bersamaan dengan mereka.
"Ini Dariel Taraka. Manager lama, kebanyakan bolos aja dia." Ujar si pemilik agensi. Baron Gerae Alpheratz. Petinggi keenam berkekuatan ksatria yang biasanya bertarung bertiga.
"Mohon bantuannya." Ia membungkukkan badan.
Satu yang tampak antusias mengulurkan tangannya. "Thika Veraline Heiltdevran." Ia memperkenalkan diri. Taraka membalas jabatan tangannya.
Ia berpaling ke gadis lain di sebelah Vera. Menatap bersamaan. "Gretasha Agatha Adelene," keduanya menjabat bersamaan.
Perhatiannya berpindah ke gadis di samping Agatha. Tampak cuek, tidak peduli. "Dariel Taraka," ia mengulurkan tangan, berkenalan.
"Kethryn Gaudhyta Beatrix."
Setelah sesi perkenalan yang tidak lama itu, Baron menjelaskan soal pembagian kerja. Dua trainee setiap manajer. Empat orang trainee tadi berakhir melakukan batu, gunting, kertas untuk menentukan. Mereka berempat harus dibagi dua karena jadwal terpisah.
Satu manager lainnya, Kavindra Yuda Nicholas. Kebetulan? Tidak. Sudah diatur. Ia bagian pasukan Baron. Pemegang tombak bermata dua di kedua tangannya.
Melihat penentuannya selesai, Baron mematikan ponselnya. Ia membuka sebuah kaleng soda dan memberikan beberapa ke enam lainnya.
"Baik-baik kalian berdua," tunjuk Baron pada dua gadis yang tadi mendapat bagian bersama Taraka.
"Taraka ini-umurnya berapa tahun? Lebih dari seribu?" tanya Agatha membuka pembicaraan.
Seribu? Bukannya terlalu banyak?
"Dua puluh tiga."
"Bohong. Baron, Kavindra, Vloryne sama lo Kalian werewolf, kan? Kita bertiga sudah tahu." Celetuk Vera.
Taraka beralih menatap Kavindra yang hampir menyesap sodanya. Meminta penjelasan. "Iya, Tar. Mereka sudah tahu." Jelas Andra lalu beralih meminum sodanya.
"Ini bocah ratusan tahun lebih tua dari gue." Jawab Baron tanpa diminta.
"Tapi umur Kak Taraka sesuai waktu reinkarnasinya memang dua puluh tiga." Kata yang paling muda. Vloryne Nyx Alkañoxt. "Reinkarnasinya Kak Taraka kenapa bisa di sini ya?"
"Bukannya werewolf nggak bisa reinkarnasi? Kata Baron seperti itu." Tanya Agatha bingung.
"Satu kerajaan juga bingung kenapa Taraka bisa reinkarnasi." Kavindra kembali menjelaskan.
"Kak Taraka juga nggak punya partner dari dulu sebelum reinkarnasi sampai sekarang." Vloryne ikut menambah topik.
"Kenapa?" Tanya Kethryn mewakili yang lain penasaran.
"Nggak tertarik."
"Lebih tepatnya, nggak butuh kan, Tar?" Baron membenarkan. Diberi anggukan oleh Kavindra juga Vloryne.
"Kok gi-"
Pintu ruangan dibuka dengan cepat. Seluruh pandangan beralih menatap ke arah pintu. Menemukan pelaku utama yang menjeda obrolan serius barusan.
"Ganggu, ya?" Tanya sang pelaku santai. Ia cepat menoleh mencari tujuannya. "Ta, ayo berangkat sekarang. Nanti sore gue ada urusan."
Yang diajak bicara mengangguk. Berpamitan pada lima orang di dalam sana, sementara Baron ikut pergi dengan keduanya.
"Itu siapa?" Tanya Vera tepat saat pintu kembali ditutup.
Vloryne menjawabnya, "Kak Rka."
"Siapa?"
Kavindra menghela napasnya sebentar. "Saudara kembarnya Taraka." Jelasnya singkat.
"Loh? Nggak mirip!"
Di luar, tiga laki-laki itu berjalan berdampingan. Tampak serius karena tidak ada pembicaraan. Mereka masuk ke sebuah ruangan, Baron membiarkan keduanya masuk lebih dahulu.
"Buka di sini aja."
Keduanya mengangguk. Menuruti perkataan Baron. Tangan keduanya sibuk meninggalkan peralatan masing-masing. Setelah dirasa cukup, salah satunya mulai membuka portal. Masuk ke dalam sana bergantian. Dan menghilang.
Tubuh keduanya muncul bergantian di area pelataran istana. Pakaian yang mereka kenakan juga berubah dari sebelumnya. Armor berlapis jubah panjang, disertai senjata siap perang milik keduanya.
Langsung berjalan sampai melewati pintu masuk utama. Berbelok menaiki tangga, menuju ke arah barat daya, sampai menemukan ruang tempat tujuan awal mereka. Perpustakaan istana.
"Queen," panggil Rka pada seseorang yang sedang berdiri memanjat tangga, menyusun buku-buku pada rak paling ujung di atas sana. "Kami ingin mengambil sesuatu yang dititipkan Raja."
Gadis itu turun dari tangga. Elqueenshanazeela Kenziara. Membenarkan topi yang menutup kepalanya sebentar, lalu menuju ke meja tempat diletakkannya barang yang dititipkan oleh raja besar kerajaan itu tadi malam.
"Ini," ia mengulurkan beberapa buku tebal yang sudah disiapkan. "Kakak meminta buku-buku ini. Namun semuanya terkunci. Aku sudah mengatakan hal ini padanya."
Rka mengambil dua buku yang tertera. Salah satu bukunya berjudul 'L'Chaim' dan buku yang lain tak berjudul. Hanya bersampul hitam pekat, sementara satu buku sisanya bersampul putih bersih.
"Segel ini, terlalu kuno." Gumam Rka setelah melihat beberapa buku itu. "Ini sihir atau teka-teki?" Ujarnya lagi setelah mencoba membaca segelnya.
Sebuah bonus kekuaatan Rka yang lainnya, dapat membaca setiap segel atau membuka kunci apapun. Ia pandai membaca sesuatu yang tampak rumit. Merangkai itu kembali menjadi sesuatu yang sederhana.
Hebat.
"Queen," seseorang memanggilnya lagi. Dua orang dengan pakaian latihan perang itu berjalan mendekat. "Apa ada buku tentang reinkarnasi?"
Rka dan Taraka menoleh menatap dua orang itu asing. Queen menoleh pada keempat orang itu bergantian. Tatapan asing yang dilontarkan si kembar membuatnya tersenyum. Inisiatif memperkenalkan salah satu dari mereka, "Alice Jolicia Yocelyn."
"Yang baru dilahirkan?"
Queen menggeleng. "Dia sudah lama."
"Dia pernah reinkarnasi. Feillysita Blezinsky Diaz." Jolicia kini memperkenalkan gadis yang sedari tadi berdiri di sampingnya.
"Raien Klaud Achilleus. Rka" Balas Rka ikut memperkenalkan diri. "Ini saudara kembar saya."
Mereka yang diperkenalkan saling membungkukkan badan dengan sopan. Tidak lama, Jolicia mengulang kembali pertanyaan yang sama pada Queen. Membuat gadis perpustakaan itu kembali pergi menelusuri rak buku.
Rka dan Taraka kembali meneliti buku-buku tebal tadi. Sesekali menghela napas karena masih tidak bisa membuka segelnya. Di samping mereka, Jolicia menatap keduanya heran. Tidak paham apa yang sedang keduanya lakukan.
"Oh? Petinggi!" Sorak Jolicia sedikit terlonjak.
"Apa?"
Jolicia menunjuk masing-masing tangan kanan si kembar. "Lengan kanan bawah terbalut perban dan punggung tangan kanan terukir panah berukuran sedang. Itu ciri-ciri si kembar."
Dahi Rka mengernyit saat mendengarkan, "informasi dari mana?"
"Seluruh kota," Jolicia menjeda kalimatnya. "Merupakan tempat bermain yang asik."
Rka memandang Jolicia datar. "Dari mana?"
"Eh? Bukankah itu informasi umum?" Elak Jolicia.
"Terlalu umun." Taraka menyahut obrolan. "Sedikit detail."
Keempatnya kembali diam.
Tidak ada pembicaraan sampai Rka kembali bertanya. "Dia pernah reinkarnasi?" Kedua gadis itu mengangguk bersamaan. "Di mana?"
"Apa?"
"Di mana tempat kemunculannya?"
Tiga pasang mata itu kini beralih menatap Diaz. Menunggu jawaban darinya. Gadis itu membuat raut berpikir cukup lama. Mengingat sesuatu sebelum kematiannya, mungkin?
"Padang rumput hijau, ditumbuhi bunga lilac, di bawah sinar bulan,-"
"Di dekat pantai utara."
"Di dekat pantai utara."
Rka dan Jolicia menoleh pada dua arah. Diaz dan Taraka menyahut bersamaan. Tak disengaja. Hanya Diaz yang ingin melanjutkan pembicaraannya dan Taraka yang menebak di mana tempat itu berada.
"Kau, tahu dari mana?" Tanya Rka menyelidik.
"Tempat itu, lima belas kilometer dari pantai utara. Delapan belas kilometer dari goa permata." Jelas Taraka yang justru memberikan tanda tanya besar bagi dua orang sisanya.
"Oh, di sana ternyata."
Kembali hening.
Queen kembali membawa sebuah buku kecil dengan sampul yang tampak usang. "Hanya sedikit tentang reinkarnasi. Sisanya ada di sana." Tunjuknya pada buku yang sedang dipegang Rka.
"Apa tulisannya?" Tanya Jolicia tidak paham.
Rka melirik judul bukunya. Tentu saja, tulisannya kuno. "L'Chaim"
"Apa artinya?"
"Kehidupan," jawab Taraka cepat. "Kekekalan."
"Eh?" Rka membuka sampul bukunya. "Segelnya terlepas."
Semuanya menoleh pada Rka yang kini mulai membalik satu halaman pertama. Tidak hanya Rka, namun empat pasang mata lainnya ikut melihat buku itu dengan heran.
Tangan Taraka terulur menutup bukunya sepihak. "Kita buka di ruang petinggi terakhir."
Rka menyetujuinya.
Keduanya pamit pergi setelah berterimakasih pada Queen. Di dalam sana, seseorang menatap punggung salah satunya yang mulai menjauh dengan heran. Mulai bergumam sendiri namun terdengar oleh yang lainnya.
"Rasanya tidak asing."
"Siapa? Si kembar? Rka?" Tanya Jolicia.
"Bukan, yang satunya."
"Ah, siapa namanya tadi. Taraka?"
"Dariel Taraka," Queen membenarkan. "Aldevaro."
'Aldevaro, ya?'
Kaluar dari sana, Rka masih mencoba membuka segel dua buku lainnya. Buku hitam pekat itu terus digenggamnya. Membaca segelnya berkali-kali namun masih belum terbuka. Dua buku lainnya dibawa oleh Taraka.
"Kau pernah ke sana, ya?" Tanya Rka masih sambil membuka segel.
"Ke mana?"
"Padang rumput hijau di dekat pantai utara." Taraka berdehem mengiyakan pertanyaannya. "Pasti kau bertemu dengan-"
"Aksaka."
"Aksaka?" Tanya Rka heran mendengar Taraka memotong perkataannya dengan nama petinggi lainnya.
"Aryan."
"Aryan?"
"Mereka membuka portal."
Rka menghela napas kasar. "Si brengsek itu. Kenapa tidak mengambil bukunya sendiri saja kalau ternyata dia kemari?!"
Taraka melihat ke sembarang arah. "Portalnya menuju antah berantah."
"Maksudnya?"
"Tidak terdeteksi ketepatan letaknya di Voreia."
﹌﹌
Setelah cukup lama berada di kerajaan demi membuka segel dua buku lainnya, Rka kembali ke kantornya. Ternyata, petangnya langit sore sudah menyelimuti dunia manusia. Sesuai perkataannya, ada janji temu dengan klien. Taraka ikut menunggu di ruangannya sementara dia bertemu di ruangan lainnya.
Hampir dua jam berlalu. Rapat diakhiri jabatan tangan tanda kesepakatan. Lima orang lainnya sudah keluar dari ruangan, menyisakan dua orang lagi yang masih berbincang.
"Kombinasi kekuatan mematikan. Gimana jadinya lo setelah dia mati?"
Jacelyn Zheavly Vleonata. Klien baru yang ingin menjalin hubungan kerja sama. Dengan perusahaan Setth? Tentu saja hal mudah. Ia pasukan penyihir kerajaan. Pasukan milik Veranda.
"Dia nggak mati," jawab Rka mengeluarkan senyum miring di wajahnya. "Siapa yang tahu kalau dia bisa reinkarnasi?"
Raut terkejut tampak kentara di wajah lawan bicaranya. Rka bangun dari duduknya, melangkah sedikit menjauh dari sofa. Berdiri menghadap jendela kaca besar menatap langit yang dipenuhi bintang.
"Seharusnya emang cuma partner yang bisa reinkarnasi, iya kan?" Tanyanya tanpa menghadap ke belakang. "Tapi sepertinya, kita berdua memang bisa reinkarnasi."
"Lo tahu alasannya?"
Rka menggeleng. "Kekuatan Aryan masih terlalu besar kalau dibandingkan sama gabungan kekuatan kami. Tapi Aryan juga nggak tahu kenapa werewolf bisa reinkarnasi. Terlalu rumit."
"Sudah baca kasus lain?"
"Nggak ada kasus lain."
"Berarti kalian yang pertama?"
Rka menggeleng pelan, "bukan. Taraka yang pertama."
Jacel berdiri dari duduknya. Diikuti Rka yang berbalik menghadap Jacel. Tepat saat mereka berhadapan, Rka menghilang lalu muncul di belakang tubuh Jacel. Tangan kirinya menarik tubuh ringan Jacel sedikit menjauh.
Tangan kanannya diangkat. Lilitan perban putih di pergelangan tangannya itu lepas seketika setelah gigitan taring merobeknya. Darah segar seketika mengalir dari tangannya. Luka itu terlihat menganga. Seperti masih baru.
Sebuah pedang merah menyala tiba-tiba muncul digenggaman tangan kanan Rka. Menebas sesuatu di belakang tubuh Jacel. Tidak kena.
Sosok itu muncul di ujung dekat jendela. Pedang itu berubah menjadi sebuah tombak panjang. Rka langsung melemparkannya tepat mengenai sasaran. Api merah membakar sosok itu sampai lenyap.
"Shadow." Bisik Rka lalu melepaskan tubuh gadis di sampingnya.
Ia kembali membuka tasnya. Melilitkan sebuah perban putih baru tanpa membersihkan luka di tangannya. Membiarkan luka menganga itu tetap terbuka.
"Teleportasi? Bukannya-"
"Pasal 15 soal kekuatan, ayat ketiga. Pengecualian penggunaan teleportasi. Boleh dilakukan saat dalam keadaan mendesak." potong Rka cepat. "Lagipula, itu kekuatan menghilang. Bukan teleportasi."
"Sengaja nggak pernah Taraka jelasin dan gue nggak pernah kasih tau."
Rka dan Taraka, kemampuan membaca juga membuka segel dan membaca tata aturan kerajaan. Kemampuan tambahan yang dimiliki kompleks dengan ikatan.
Shadow itu, seperti namanya, bentuknya bayangan. Berwarna hitam dan mengancamㅡbaik partner ataupun werewolf itu sendiri.
"Kekuatan lo itu-"
"Manipulasi darah. Itu yang nggak pernah kalian lihat, kan?" Jacel mengangguk, tidak tahu harus menjawab apa. "Seharusnya emang nggak boleh ditunjukin."
Hening, Rka selesai melilitkan perban baru di lengannya.
"Oh, ada satu lagi reinkarnasi."
"Werewolf atau partner?"
"Aromanya masih manusia. Namun reinkarnasinya di Voreia." Rka berdiri dari duduknya. "A half quarter, mungkin?"
Rka melangkah pergi, sepertinya harus ke klinik membeli pembersih darah. Jacel masih menatapnya punggung Rka hendak mengingatkan.
"Sebentar lagi red moon. Lo nggak cari partner?"
Langkah Rka berhenti di ambang pintu, tepat saat ia hendak melangkah pergi. Cukup jawab dengan satu kalimat, lalu berjalan pergi.
"Gue nggak butuh partner."
Rka masuk kembali ke ruangannya setelah pergi ke klinik. Bekas lukanya bahkan sempat dilirik dokter di sana. Mereka meringis melihatnya. Memberi saran pada Rka untuk menjahit lukanya, namun saran itu ditolak olehnya.
Hening. Benar-benar sepi. Ruangannya seperti tidak ada kehidupan. Kecuali, satu suara sofa berderit. Menampilkan saudaranya yang tidur di atas sana.
"Brengsek banget. Tidur terus kerjaannya."
Rka kembali membuka perbannya. Membiarkan darahnya mengalir perlahan. Membentuk busur dan meluncurkan anak panah itu mengenai lengan atas saudaranya.
"Ya!" Teriaknya langsung terduduk.
Lengan kirinya robek. Darah mulai mengalir keluar dari lukanya yang sedikit menganga. Di depannya, Rka kembali membenarkan lilitan perbannya. Raut wajahnya tenang.
"Lo?!"
"Biar kerjaan lo ga tidur terus."
"Hidoi."
Keduanya baru saja selesai membersihkan ceceran darah segar. Kini beralih mengambil tiga buku tebal yang tadi diperintahkan. Keluar dari ruangan menuju lift. Berakhir berdiri di depan ruangan direktur utama.
Tanpa permisi, Rka langsung mendorong pintu ruangan. Menampilkan dua orang di dalam sana. Sang wanita yang sedang berdiri memunggungi mereka, dengan laki-laki yang kini sedang menandainya.
"Brengsek, lihat tempat kali, Yan!"
"Taraka nggak lihat, lanjutin aja."
Tubuh wanita itu ambruk di dekapan laki-laki di depannya. Dari ekor matanya, laki-laki itu menatap si kembar dengan garang. Terlalu cepat sampai membuat dua kembar yang tak serupa itu jatuh di lantai.
Mengerikan.
Lima menit lebih keduanya dibiarkan seperti itu. Sementara Aryan masuk untuk membaringkan gadisnya. Ia baru melepaskan keduanya saat sudah duduk santai di sofa.
"Lo bener-bener mengerikan."
"Valid, no debat."
Aryan mencibir keduanya malas. "Mana bukunya?"
Rka meletakkan buku tebal pertama di atas meja. Disusul Taraka dengan dua buku lainnya.
"Hebat, bisa membuka segelnya." Aryan mengambil salah satu buku di atas meja. Mulai membuka halaman pertama.
"Kalau lo tadi ke kerajaan, kenapa nggak ambil sendiri aja?" Rka masih kesal perihal siang tadi.
"Kalau ada dua orang yang bisa buka segelnya, kenapa saya harus pusing membuka segel sendirian?" Jawabnya santai.
Si kembar memandangnya murka. Karena jika berkata kasar pasti akan ada konsekuensinya, jadi mereka memutuskan mengumpati Aryan di dalam hati saja.
"Oh iya, Zargo, ke mana?"
﹌﹌
"Lo itu mainnya kalau nggak ke club, ke kasino, ya?"
Zargo menoleh mendapati seseorang berdiri di belakangnya lalu tersenyum manis. Auzee. Gadis yang ditemuinya tempo hari di club milik Dexvan.
"Ngapain?"
"Bosan, makanya ke sini." Ujarnya lalu mengambil duduk di samping Zargo.
"Mau main?"
Yang ditanya menggeleng, "mau nonton," jawabnya kembali menampilkan senyum manis. Sama seperti saat pertama kali Zargo lihat.
Permainan cukup lama. Yah, Zargo memang datang untuk menonton. Begitu juga gadis di sampingnya. Hanya mengurangi rasa penat. Atau sekaligus menghamburkan uang?
Permainan selesai. Gadis itu beranjak dari kursinya. Ujung matanya menatap Zargo lembut, mengisyaratkan lelaki itu untuk mengikutinya. Melangkah menjauh memilih menuju ke luar area kasino. Mereka sampai di rooftop gedung.
Baik siang ataupun malam, sepertinya rooftop adalah tempat yang cukup tenang untuk didatangi.
"Jadi," gadis itu memulai pembicaraan sambil menyamankan duduknya. "Sudah berapa lama?"
Zargo yang baru saja ikut duduk di sampingnya, sedikit mengernyitkan dahi. Ia menatap gadis di sampingnya dengan diam, tanda tidak mengerti.
"Zargo Alexan, sudah berapa lama lo jadi werewolf?" Tanyanya dengan senyuman manis.
Satu kata terakhir membuat Zargo sedikit mundur. Bagaimana gadis yang baru ditemuinya ini bisa tahu?
"Suhu tubuh lo terlalu tinggi untuk seukuran manusia biasa. Kemeja putih lo terlalu terawang. Tattonya kelihatan. Waktu kita kenalan, gue lihat perubahan mata lo." jelasnya lagi dengan sebuah kekehan.
"Gue dulu punya kenalan werewolf."
"Lo ini diubah? Atau murni?" Tanyanya lagi.
Zargo hampir membuka mulutnya saat pertanyaan beruntun kembali dilayangkan oleh gadis cantik di sampingnya.
"Dari dimensi ke berapa?"
"Kekuatan lo apa?"
"Lo bisa di sini? Kerja di mana?"
"Dexvan sama Alika, kayanya lo deket sama mereka. Kalian dari kerajaan yang sama?"
"Posisi lo di kerajaan apa?"
Jengah, Zargo hampir memotong setiap kalimat pertanyaan yang terus bertubi-tubi dilontarkan. Namun sebuah pertanyaan terakhir membuatnya kembali untuk bungkam.
"Punya partner? Gue mau kalau lo nggak punya."