Malam berlalu, hari selanjutnya dimulai. Setiap hari semakin sibuk. Seluruh dunia sudah menjalani harinya. Saat ini, pukul empat sore, Gedung Perusahaan Setth.
Ada sebuah ruangan penghubung di antara ruangan Aryan, Zargo, dan lorong menuju ruang tunggu. Di tempat yang lumayan besar itu, tiga orang laki-laki berkumpul. Faabian Wildan, Achilles Elefterio Raizel, dan Rka. Terlalu lama waktu mereka berbincang, terlalu banyak yang di bicarakan sampai tidak dapat ditentukan topiknya.
Seseorang bersandar di dinding. Menyeruput kopi ditangannya, lalu bersua, "yang kemarin itu diterima jadi sekretaris?" Tanya Abi pada Rka.
Rka yang menyandar di salah satu kaca mendongak. Mengunci ponselnya, kemudian mengangguk, "iya. Nggak tahu, Pak Bos tiba-tiba mau terima dia jadi sekretaris. Padahal belum lebih dari satu jam minta Zargo untuk cari sekretaris."
Raizel yang duduk di kursinya, langsung angkat bicara, "Aryan demen kali sama ceweknya. Cantik gitu."
"Weh, trio uke lagi ngejulid."
Mereka bertiga sontak menoleh. Mendapati Zargo berjalan keluar dari ruangannya sembari tangannya membenarkan letak jas. Wajahnya tampak sumringah, tidak seperti kemarin ketika Rka temui di ruangan Aryan.
"Uke uke, matamu." Umpat Raizel, kesal.
"Sttt," desis Zargo. Jari telunjuknya terangkat ditempelkan ke bibir, membuat gestur menyuruh diam pada ketiganya. "Uke nggak boleh kasar."
"Gampar aja si Zargo." Abi ikut mendukung keributan.
"Binal banget, sih, ini uke tiga."
Geram. Rka mengangkat tangannya ke atas. Membentuk sebuah kepalan dari sana. Tangannya berayun ke depan, menjitak kepala Zargo dengan keras.
"Sakit, anj-?" Zargo menahan umpatannya.
"Ya, lagian lo aneh," tangan Rka menyilang di depan dada. Beralih menatap Zargo menyelidik. "Lo nggak kerja di ruangannya Aryan?"
Zargo menggeleng semangat, "Kerjaan gue di-handle sama sekertaris yang baru. Gila, seneng banget gue." Ia mulai membuat raut senang yang tampak aneh.
"Semudah itu?" Tanya Abi penasaran.
"Kalian rasa ada yang aneh?" Tanya Rka kepada Abi dan Raizel. Dua lelaki itu mengangguk. "Gimana ceritanya langsung diterima?"
Zargo mengangkat bahunya, "kemarin dia tanya soal reinkarnasi gitu."
"Reinkarnasi siapa?"
"Istrinya."
Atas seluruh rasa penasaran, ketiganya akhirnya meminta cerita soal kemarin. Setengah jam lebih, Zargo selesai menceritakan kejadian singkat di ruangan Aryan kemarin sore. Tentang betapa ambil pusingnya Aryan soal sebuah reinkarnasi dengan wajah dan nama yang sama.
"Terus dia langsung terima Vio jadi sekertarisnya." Jelasnya terakhir.
Raizel menjentikkan jarinya keras, suaranya berubah semangat, "He was fell in love!"
"Siapa yang lagi falling in love?"
"Aryan, lah! Masa Abi?"
Raizel berbalik. Tubuhnya terlonjak, tersentak mundur saat mendapati Aryan berdiri di belakangnya. Air mukanya sangar. Sebelah alisnya naik, menatap mereka tanpa ekspresi bermakna.
"Saya jatuh cinta sama siapa?"
"Lo tanya kita? Kita tanya siapa?" Abi merespon cepat pertanyaan Aryan.
"Geli gue Aryan ngomong cinta-cintaan." Cibir Rka sambil mengendikkan bahunya aneh. Kakinya berjalan menjauh, menumpang duduk di kursi tamu depan meja Abi.
Raizel dan Abi ikut kembali ke mejanya masing-masing. Membaca beberapa dokumen atau kembali mengerjakan tugasnya. Mengabaikan keberadaan Aryan yang masih menatap mereka semua bingung.
Aryan melirik sekilas arloji di tangannya lalu menoleh pada keempat rekannya, "Sudah sore,"
"Udah tau." Jawab Abi cuek.
"Kalian nggak pulang?"
Mereka berempat sontak menghentikan kegiatan masing-masing. Serentak menoleh, terkejut. Menatap Aryan dengan pandangan tidak percaya. Yang ditatap kembali menampilkan raut datar. Kembali menaikkan alisnya acuh.
"Apa?"
Raizel angkat bicara, "Lo nyuruh kita pulang?" Tanyanya memastikan. Aryan mengangguk menjawabnya.
"Serius?" Tanya Rka masih tidak percaya.
"Iya."
"Aryan kemasukan jin apaan ini?" Nada suara Abi tampak naik. Matanya melotot tidak percaya.
Aryan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "saya hanya suruh kalian pulang, salah?"
Zargo menggebrak meja semangat, membuat yang lain terlonjak di kursi masing-masing. "Gue aja colong-colongan kalau mau balik atau keluar kantor, supaya lo nggak tahu. Sekarang lo nyuruh kita pulang?"
Aryan diam, berpikir sebentar, "eh, enggak. Tadi 'kan saya hanya tanya, bukan nyuruh." Gumamnya mengendikkan bahu, berbalik lalu berjalan kembali ke ruangannya.
"Contoh anak nggak ada akhlak." Gumam Raizel menunjuk pintu besar ruangan Aryan yang sudah kembali tertutup.
"Ck ck, yang kaya gitu jadi direktur?" Decak Abi tidak percaya dengan kelakuan bosnya. Kepalanya menggeleng heran.
"Nggak apa-apa, daddy gue lebih iblis dari dia." Ucap Rka sambil menggeleng pelan.
Di balik pintu besar itu, Aryan terkekeh mendengar dengusan kesal anak-anak buahnya. Wajahnya menampilkan senyum tipis. Langkahnya tampak ringan. Auranya tidak sedingin biasanya. Vio saja sampai memandangnya heran.
Menatap pintu besar itu tertutup, Zargo menegakkan tubuhnya, "tahu gitu, gue langsung pergi aja tadi."
﹋﹋
Keadaan bumi, setengah dua belas malam.
Zargo mendorong pintu besi, melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan. Dentuman musik keras yang sudah lama tidak ia dengar, malam ini kembali tampak menyenangkan. Bau alkohol mulai menusuk indera penciuman. Sorot lampu remang yang berubah-ubah namun tetap terkesan gelap.
Kakinya melangkah ringan, sambil matanya mengedarkan pandangan. Di tengah ruangan, puluhan orang yang bergerak seirama dengan alunan musik. Di sofa-sofa duduk beberapa orang meracau dengan botol kaca di tangannya. Tampak puluhan wanita berpakaian tak senonoh bertebaran di dalamnya. Di bagian ujung ruangan atau di beberapa tempat lainnya, muda-mudi sibuk bercumbu.
Tempat ini, Zargo merindukannya.
Mengambil tempat di bar, seorang bartender menyapanya. "Lama banget lo nggak mampir."
Zargo tertawa, "banyak kerjaan gue. Nggak bisa ke sini." Ia beralih memesan salah satu minuman padanya.
"Penobatan Aryan jadi raja, lo juga nggak ada." Bartender itu mengangkat pembicaraan.
"Iya, Aryan kasih semua kerjaannya ke gue. Makanya gue nggak dateng."
Perkenalkan, bartender super cerdas, Dexvan Bratadikara Radeska. Jajaran petinggi baru bersama Zargo. Sebut saja ahli strategi. Ia tahu apa saja kekuatan yang harus di keluarkan saat bertarung dan dampak yang akan terjadi setelahnya. Bagi seorang amatiran, percuma saja melawannya.
Mengambil alih seluruh waktu di malam hari untuk menghibur orang-orang. Maksudnya, berada di bar sepanjang malam. Memilih untuk menjadi bartender di sana, ia juga terkenal di daerah ini. Tanya saja perempuan yang sekiranya sering masuk tempat hiburan malam, siapa yang tidak mengenal Dexvan?
Gelas kaca berisi empat balok kecil es batu diletakkan di depan Zargo. Dexvan kembali membawa salah satu botol minuman, menuangkannya di gelas itu. Zargo diam, memperhatikannya saksama. "Padahal dengan semua kepintaran otak lo itu, lo bisa jadi pebisnis. Kenapa jadi bartender, sih?"
"Kata siapa gue bukan pebisnis? Ini club punya gue, ya!"
"Sejak kapan?!"
"Dari dulu."
"Kok, gue nggak tahu?"
"Emang lo pernah tanya?"
Benar juga.
Menyengir, Zargo menegak minumannya. Sejenak, melemparkan pandangannya ke sekitar. Fokus utamanya adalah ruangan luas tak bersekat. Netranya menatap panggung kecil di ujung tengah ruangan. Seorang gadis dengan sebelah telinganya menggunakan headphone. Jari-jarinya sibuk menari di atas banyaknya tombol. Sesekali melonjak atau bergerak seperti orang di bawahnya.
"Itu Alika?" Tanya Zargo pada Dexvan masih dengan pandangan pada gadis itu.
"Iya."
"Bukannya kuliah, udah lama di sini?"
"Iya, biasanya kalau nggak ada tugas kuliah dia datang buat ngisi. Katanya mau cari tambahan uang jajan."
"Alasan klise."
Dexvan terkekeh, "sama kaya kita, uang udah segudang, kerja begini cuma isi waktu luang aja, kan?"
"Iya, sih."
Hanya sebuah kekehan untuk merespon. Dexvan pergi sebentar, mengambilkan beberapa botol minuman yang dipesan pelanggan lain. Ia kembali dan menyiapkan segalanya sendiri. Meletakkan es batu ke gelas, menuangkan air ke satu-persatu gelas kosong itu dengan hati-hati.
Menemukan alasan mengapa Dexvan banyak dikenal itu mudah. Ia menarik, melayani semua yang datang dengan segala keramahannya. Seorang bartender dan juga pemilik club. Dapat menerima pelanggannya dengan baik, bahkan akan menjadi tempat cerita yang terbilang nyaman.
Rata-rata, anak-anak muda yang ke tempat ini pasti datang membawa segala macam permasalahan kehidupannya. Menghampiri bar, memesan minuman, mabuk, lalu akan mengajak bicara Dexvan. Yah, kebetulan ia juga menanggapi. Dexvan ramah pada orang mabuk.
"Weh, Kak! Ngapain?"
Seorang gadis dengan tampilan keren ala-ala perempuan sangar ini datang mendekat. Menyapa Zargo keheranan. Khazama Alika, anggota pasukan penyihir. Sering didampingi Dexvan. Mereka cukup dekat karena sering berlatih bersama. Sihir yang ia keluarkan juga kuat.
"Lo, tuh, yang ngapain?" Jawab Zargo menatap Alika malas.
"Cari duit."
"Kaya hilang aja, 'dicari'."
Senyuman jahil terpampang di wajahnya. Ia menempati kursi di samping Zargo. Menatap lelaki itu iseng. "Kak Zargo sendiri, ngapain di sini? Cari degem?"
Zargo terbatuk. Tersedak minuman yang sedang ia tegak saat Alika mengucapkan kalimat terakhir. Rasa alkohol menyeruak naik, terasa sampai ke hidungnya.
"Apa-apaan tanya begitu?"
Alika menghela napasnya sambil terkekeh, "Kak Zargo Alexan, fuckboy yang nggak ada taubatnya. Sehari-harinya di kantor ngurusin kerjaan, ke bar ngapain? Ya, cari degem, lah. Lo 'kan pecinta degem, Kak!"
"Image lo jelek banget, Zar." Ejek Dexvan ikut tertawa bersama Alika.
Dengusan kesal diberikan untuk dua orang yang menertawakannya. Zargo memalingkan wajahnya malas. Netranya kembali menyapu tatap seluruh lantai dansa. Pandangannya berhenti saat mendapati sosok cantik yang sedang menari agak sempoyongan.
"Biasa aja dong, Kak, ngelihatinnya." Alika tertawa sambil mengusap kasar wajah Zargo.
"Van, itu lo kenal ga?" Tangan Zargo memberi batas saat berbisik pada Dexvan dengan tangannya, takut di dengar Alika.
Alika bertepuk tangan keras sambil tertawa semangat, "tuhkan! Udah dapet degem!"
"Kebiasaan banget emang Zargo matanya, kalau lihat yang cantik langsung auto fokus." Dexvan lagi-lagi ikut menertawai Zargo.
Pertanyaannya diabaikan, Zargo mencibir, "males banget gue sama lo berdua." Ia bangkit dari kursinya kemudian melangkah menjauh.
Hanya menjauh beberapa meter dari bar, kembali ke ruangan tanpa sekat pembatas atau ruangan berhimpitan. Kakinya melangkah masuk ke lantai dansa. Berjalan tegap dengan rahang tegas, menambah kharismanya. Mengikis jarak untuk mendekati gadis yang tadi sempat ia tanyakan.
Semakin dekat, ternyata semakin membuktikan kalau gadis yang sedari tadi dipandangnya memang benar-benar menarik. Yah, walaupun gadis ini sedang mabuk.
"Hai?"
Gadis tadi menghentikan gerakannya. Suara berat dirasa menyapa dirinya. Ia berbalik, langsung berhadapan dengan lelaki tinggi. Kepalanya mendongak, menatap Zargo ramah. "Ya?"
"Boleh kenalan?"
Gadis itu mengangguk. Ia mengulurkan tangannya terlebih dahulu. "Auzee Ruthless." Perkenalannya singkat disertai dengan senyum manis.
Zargo ikut tersenyum karenanya, "Zargo Alexan." Balasnya menjabatan tangan Sang Gadis.
Kedua tangan itu masih saling menjabat dalam waktu yang lumayan lama. Tanpa disadari pemiliknya, iris mata lelaki ini berubah merah sekilas. Membuat Auzee yang sedari tadi memandangi wajahnya mendelik tidak percaya.
Zargo sudah menentukan partnernya.