Sudah lewat dua hari setelah Aryan mendapat sekertaris baru. Pukul enam, masih terlalu pagi untuk para pekerja datang ke kantor. Suasana di dalam maupun di luar gedung benar-benar tampak sepi. Udara hari ini cukup dingin, orang-orang akan lebih nyaman bergelung di dalam kasurnya.
Berbeda dengan ruangan direktur, di sana Aryan tampak duduk di kursinya sedang membaca sebuah berkas. Ruangan ini dipenuhi keheningan. Hanya ada suara deru napas Aryan, atau suara lembaran yang dibalik setiap beberapa menit. Sesekali suara ketukan sepatu di lantai ikut terdengar.
Aryan memutar kursi menghadap ke belakang. Di tangannya ada sebuah berkas yang diberikan Zargo kemarin malam, tepat sebelum lelaki itu pulang. Sudah sekitar dua puluh menit Aryan membacanya.
"Penurunannya lumayan drastis." Monolog pada dirinya sendiri.
Pagi yang tenang di kediaman Lawren. Rumah itu cukup megah, walaupun rumah milik tetangga seberang rumah mereka masih terlihat lebih mewah. Vio sudah siap untuk berangkat ke kantornya. Ia keluar dari kamarnya, turun untuk sarapan yang harus ia lakukan rutin tanpa terlewat.
"Kamu mau berangkat sepagi ini?" Tanya Sang Ayah. Anderson Josephran Xyllouis Lawren. Dokter bedah yang baru saja pindah tugas ke kota ini.
"Iya!" Vio menjawabnya semangat, "bos aku ternyata tetangga depan rumah kita, Yah!"
"Depan? Yang rumahnya sangat besar itu?" Tanya ayahnya menanggapi.
Vio mengangguk, "iya, aku kaget kemarin waktu interview. Apalagi waktu diterima jadi sekertarisnya."
"Bagaimana orangnya?"
"Auranya kuat banget, Yah. Serius. Satu ruangan sama beliau, aku nggak berani ngomong duluan kalau cuma basa-basi."
Ayahnya terkekeh, anaknya ini manis sekali. Mereka mengakhiri sarapan. Vio mengambil tasnya, siap berpamitan.
"Ayah antar."
"Loh? Ayah nggak kerja?"
"Kerja." Jawab ayahnya, lalu pergi ke kamarnya. Tidak sampai satu menit, ia keluar lagi membawa tas dokter miliknya. "Ayah mau lihat kantor kamu."
"Ayo!"
﹌﹌
Setelah sedari tadi hening, pendengarannya baru saja menangkap suara langkahan seseorang yang berjalan mendekat. Itu masih manusia. Ah, mungkin sekertarisnya. Aryan akan membiarkannya masuk ke dalam ruangan.
Benar saja, gadis itu masuk langsung merapikan meja kerjanya sembari bersenandung pelan. Satu ruangan langsung dengan direktur utama membuatnya harus selalu memberikan kesan baik. Seperti yang sedang dilakukannyaㅡmenata beberapa berkas berantakan, lalu mengumpulkan sampah kertas di mejanya.
Bae Violetta Lawren, sekretaris yang langsung diterima hanya dengan sekali tatap oleh direktur utama. Terlalu mengesankan. Pekerjaan yang diterimanya ternyata diidamkan banyak orang. Apalagi perusahaan ini dipenuhi oleh banyak orang menawan.
Penampilan Violetta hari ini tampak memesona. Rambutnya digerai indah, memoles sedikit wajah cantiknya dengan riasan, atasan putih dengan kerah off shoulder itu nampak pas di tubuhnya, ditambah rok hitam selutut yang menambah kesan classy.
Sempurna sekali.
Vio melangkah keluar dari ruangan itu, menyisakan Aryan yang berbalik untuk mengambil satu dokumen tambahan lainnya. Menghiraukan Vio yang keluar dari ruangannya.
Keluar dari gedung, Vio melangkahkan kakinya menuju sebuah cafe di dekat sana. Pergi memesan, lalu pergi dari sana setelah akhirnya mendapatkan dua gelas kopi pesanannya.
Kembali ke ruangan besar tadi, Vio langsung berjalan lurus menuju meja Aryan yang memang berada di tengah ruangan. Matanya tertuju pada bagian kosong di dekat komputer. Menimbang-nimbang akan meletakkan gelas kopinya di sana atau tidak.
"Ini kalau ditaruh sekarang, nanti saat beliau datang kopinya dingin nggak, ya?" Gumamnya sambil meletakkan gelas itu di tempat tujuannya.
Tepat saat ia selesai meletakkan gelasnya, kursi hitam itu berputar. Menampakkan Aryan yang tadinya membaca berkas, seketika beralih menatapnya intens.
"Astaga!" Teriak Vio hampir menumpahkan kopi yang baru saja dia letakkan. "Bapak, kapan datangnya?"
"Sebelum kamu datang."
"Oh, waktu saya keluar beli kopi?" Aryan menggeleng. "Saya nggak lihat bapak masuk ruangan, lalu kapan datangnya?"
"Saya datang sebelum kamu datang," jawabnya pelan. "Lebih awal dari kamu, sebelum kamu pergi keluar. Saya sudah di sini dari pukul enam."
Mendengar penjelasan itu, Vio segera membungkukkan badan, "Maaf, Pak. Saya pikir tadi tidak ada orang."
Aryan mengangguk menanggapi. Tangannya mengulurkan berkas yang sudah selesai ia baca. "Tolong kamu tanyakan ke bagian keuangan, sekalian minta data pengeluaran."
Vio hampir melangkah pergi kalau lelaki itu tidak memanggilnya, membuatnya kembali berbalik menghadapnya. "Kamu kenapa beli kopi yang ini?"
"Ah, Bapak kalau nggak suka, bisa saya belikan lagi. Bapak mau-"
"Ini kesukaan saya."
Aryan mengambil gelas itu, meneguknya sekali. Vio melangkah menjauh menjalankan tugasnya. Satu tangan Aryan langsung berpindah merogoh saku, membuka ponselnya. Jarinya bergerak acak diatas layar. Cukup cepat kemudian ia langsung mengangkatnya mendekatkan ke telinga.
"Ka!" Teriaknya di telepon. "Pergi dengan Taraka ke kerajaan."
Respon suara dari seberang sana terasa keras. Terdengar sedang memprotes kebingunan.
"Ambilkan buku yang saya titipkan pada Queen."
Kali ini responnya benar-benar memprotes.
"Setelahnya, datang ke sini. Ada yang ingin saya tanyakan." Titah Aryan tanpa mendengarkan protesnya.
Panggilan diputus.
Aryan menghela napasnya sekali. Setelah meletakkan ponselnya, ia segera mengambil berkas lainnya. Membaca perlahan di sana.
Suara pintu di dorong dari luar, perlahan membuat pintu besar ruangan itu terbuka sempurna. Dua langkah kaki beraturan mulai terdengar jelas. Salah satunya langkah wanita dengan sepatu hak tinggi. Satu lagi langkah lelaki.
Bahkan tanpa melihat pun, Aryan sudah dapat mengetahui siapa yang datang bersama sekertarisnya.
"Siapa yang meminta kamu datang," kata Aryan sambil meletakkan berkasnya di meja. Beralih mendongakkan kepalanya, menatap lelaki itu tepat di matanya. "Aksaka?"
Tatapan keduanya bertemu. Lelaki itu berdiri lima langkah jauhnya dari meja Aryan. Sang gadis kembali ke tempatnya setelah membungkukkan badan pada bosnya. Dari ujung, ia memalingkan wajahnya setelah memperhatikan kedua lelaki itu. Mereka tampak diam, saling tatap tanpa bersua.
"Ada yang ingin bicara dengan Bapak." Akhirnya lelaki itu memulai.
"Saya tidak mau mendengarkan pembicaraannya."
"Bapak tidak ingat apa yang bisa saya lakukan?" Tanya sang lelaki itu geram dengan respon Aryan.
Sambil berdehem, Aryan membuat raut wajah serius dan berpikir. Masih duduk di kursinya, dia menatap lelaki itu lagi setelah beberapa detik berpikir.
"Iya, saya lupa."
Dengan tatapan datar, tangan kirinya terangkat di samping kepala. Sepercik cahaya kecil menyala di ujung tangannya. Hampir melebar kalau saja Aryan tidak menghentikan pergerakan tangannya.
"Kamu melakukan apa, Aksaka Willisham Cody?" Sarkas Aryan menatap Aksaka tepat di matanya, mengintimidasi.
Dari ujung sana, Violetta menoleh. Nada serius yang Aryan lontarkan berhasil memancing rasa penasarannya untuk melihat apa yang terjadi. Nyatanya, tidak ada apa-apa. Hanya Aryan yang tetap duduk ditempat, dengan Aksaka yang berdiri dengan tangan kiri terangkat.
Tubuhnya membeku.
Itu yang Aksaka rasakan. Kaku, tak dapat bergerak atau bicara sedikitpun. Seluruh tubuhnya mati rasa. Aksaka kehilangan kendali atas tubuhnya. Tatapan Aryan barusan itu...
Gila!
"Turunkan tangan kamu, atau keluar." Titah Aryan.
Sakit!
Bahkan untuk menggerakkan lengannya barang satu senti pun, rasa sakitnya benar-benar luar biasa. Sekuat tenaga ia menurunkan lengannya. Otot lehernya sampai menegang menahan denyutan dari lengannya. Rasa sakitnya menjalar sampai kepala.
Dari kursinya, Aryan terkekeh.
"Ah, sudahlah. Saya bosan melihat ekspresi kamu." Kata Aryan bangkit dari kursinya.
Seketika saja seluruh tubuhnya melemas. Aksaka jatuh berlutut. Suara dentuman lututnya ke lantai terdengar keras. Helaan napas keras diselingi suara tawa Aryan, mengundang Violetta untuk kembali menoleh memperhatikan mereka.
"Siapa yang ingin bertemu saya?" Tanya Aryan dengan tubuh menyandar ke meja di belakangnya.
"Hah," Aksaka masih berusaha mengatur napasnya. Ia mendongak menatap Aryan dari bawah. "Petinggi ke lima."
Mata Aryan melotot mendengar nama yang disebutkan. "Astaga, Aksaka! Kenapa kamu tidak mengatakannya sedari tadi?"
Aryan gelagapan. Ia berbalik menghadap meja kerjanya. Tangannya bergerak acak mencari ponselnya. Segera setelah menemukannya, ia langsung menarik tubuh Aksaka berdiri. Menyeretnya cepat keluar dari ruangan. Menyisakan Violetta yang memandang aneh ke arah pintu.
"Petinggi? Anggota dewan?"
Di luar, mulai dari lorong sampai ke depan pintu lift, Aryan melangkah panjang agak terburu-buru. Tangan kanannya mencengkram kerah leher bagian belakang Aksaka. Masih menyeret tubuh lelaki itu dengan cepat. Sementara di belakang, Aksaka kesulitan menyesuaikan langkahnya yang berjalan mundur dengan terburu-buru.
Pintu lift terbuka. Aryan masuk lalu menarik Aksaka hampir membanting tubuhnya ke dinding lift. Segera setelahnya, pintu lift langsung tertutup. Mulai bergerak turun dengan sendirinya.
"Kamu sudah siapkan tempatnya?" Tanya Aryan pada lelaki itu.
Aksaka diam. Tangannya sibuk merapikan pakaiannya. Kepalanya tampak bergerak melakukan peregangan pada lehernya. Terakhir, ia membenarkan letak dasi dan kerahnya serapi mungkin.
Tanpa menjawab, ia mengangkat tangan kirinya. Membuat postur yang sama seperti beberapa menit lalu. Kembali percikan cahaya muncul di ujung tangannya. Terus melebar, lalu memanjang dari atas sampai ke bawah, diikuti kedua ujung yang menyatu membentuk sebuah lingkaran besar. Lingkaran bercahaya itu mulai menampilkan dimensi hitam, memblokir salah satu sisi dinding lift.
Keduanya saling menatap. Tersenyum singkat, lalu menghilang di balik sebuah portal yang baru saja lenyap dari dinding lift.
Dalam sekejap, tubuh keduanya muncul di tempat terang. Dataran hijau luas membentang sejauh mata memandang. Ditumbuhi bunga poppy merah, memberikan perpaduan warna yang tampak segar. Di beberapa tempat, bunga mawar tampak bermekaran indah.
"Ini... di mana?" Aryan masih mengagumi tempat itu. Netra obsidiannya tampak seperti berlian. Terus berbinar saat ia memandang ke setiap penjuru kawasan.
"Voreia."
Aryan menoleh, air mukanya berubah terkejut mendengar jawaban Aksaka. Ia kembali mengedarkan pandangannya memastikan. Tidak ada kristal stella di tempat ini. Hanya bunga-bunga bermekaran menampilkan pesona luar biasa indah.
"Tadi itu bukan portal dimensi lain?"
Aksaka menggeleng ringan.
Keduanya melangkah ke suatu tempat. Sebuah pavillion besar berdinding kaca di seluruh sisinya. Di dalamnya tampak lebih megah. Meja batu enam sisi juga kursi kayu mewah. Pilar-pilarnya ditumbuhi bunga merah muda bermekaran seperti di pekrangan.
Terlalu indah.
Keduanya mengambil duduk di dua kursi berjauhan. Aksaka yang diam dan menunggu, dan Aryan yang masih mengedarkan pandangannya, kagum.
Seseorang datang dari pintu bagian belakang. Tangannya menggenggam tujuh batang bunga camelia segar. Ia datang dengan senyum secerah bunga yang dibawanya. Indah.
"Bagaimana bisa kamu temukan tempat seperti ini di Voreia," kata Aryan menatap lelaki itu penuh tanya. "Dexvan?"
Dexvan duduk di kursinya. Tangan kirinya menyusun ke tujuh bunga itu di atas meja. Ia melihat pada Aksaka, lalu beralih menatap Aryan.
"Tempat ini," ia melihat ke sekeliling, pandangannya kembali berhenti menatap tujuh bunga di hadapannya. "Tempat pertama kali saya muncul."
"Di pekarangan bunga merah tadi?"
Dexvan menggeleng, "di belakang. Di tempat bunga ini tumbuh." Ia mengangkat setangkai bunga merah muda itu di hadapannya.
Dua orang itu hanya memberikan tatapan tidak percaya. Pasalnya, tempat seperti ini tidak pernah terlihat di Voreia.
"Hal yang anda minta sudah siap disampaikan, Yang Mulia."
"Bicara."
﹌﹌
Empat jam setelah bertemu Dexvan, Aryan dan Aksaka harus kembali karena jadwal pertemuan. Saat ini, pukul empat sore dan derasnya hujan mengguyur kawasan kota. Sebuah mobil hitam terparkir di depan gedung perusahaan. Di dalamnya, dua orang tampak kebingungan.
Aryan memutar tubuh, mengulurkan tangannya merogoh sesuatu di kursi belakang. Mencari payung, namun tidak menemukannya sama sekali. Violetta di sampingnya menatap bingung. Dengan terpaksa mereka berdua akhirnya harus tetap menerjang hujan agar bisa masuk kembali ke kantor.
Vio segera pergi ke kamar mandi mengganti pakaiannya. Sebuah kaus hitam polos menempati posisi atasan putihnya yang basah. Vio berjalan kembali ke ruangannya sambil menenteng tas berisi atasannya yang basah selepas kehujanan tadi. Beruntung hanya atasannya yang basah.
Di dalam ruangan, Aryan membuka jasnya basah beserta kemejanya. Pintu ruangannya terbuka lebar, Vio yang hampir masuk langsung disambut dengan Aryan yang sedang memakai kemeja namun memunggunginya. Sayangnya, punggung kekar itu menarik untuk dipandang.
Terlebih, sebuah gambar di punggungnya berhasil menarik perhatian.
"Eh, maaf, Pak. Saya kira-"
Gelagapan, Vio tergagap ketika Aryan berbalik dan menatapnya tepat di mata. Segera, Aryan menyuruhnya masuk tanpa basa-basi. Ia masuk dengan canggung. Masih sambil mengancingkan kemejanya, Aryan memanggil Vio mendekat untuk menyerahkan hasil rapat baru saja dilaksanakan.
"Pak, tadi saya nggak sengaja lihat." Ujar Vio takut-takut membuka pembicaraan. "Gambar punggungnya, keren juga."
Aryan menaikkan sebelah alisnya sambil menaikkan lengan kemejanya sebatas siku, "kenapa? Mau?"
Spontan, Vio menggelengkan kepalanya keras. Mengendikkan bahu berkali-kali dengan kedua telapak tangannya membuat gestur menolak tawaran Aryan. "Saya takut kalau ditusuk jarum, Pak."
"Saya buatkan yang tanpa jarum. Mau?"
Rasa penasaran kembali membuat pemikiran Vio untuk mempertimbangkan tawaran anehnya. Sebuah tatto dipunggung dengan ukuran sebesar itu? Bisa-bisa ia dimarahi oleh ayahnya habis-habisan. Namun, bagaimana caranya membuat itu tanpa jarum?
Hening.
Aryan menatapnya intens. Kakinya melangkah mendekat, mengikis jarak. Satu tangannya terangkat menyentuh bagian leher sekertarisnya dengan lembut. Menyingkirkan helaian rambut yang menutupi ceruk leher pemiliknya.
"Kalau kamu diam, saya anggap jawabannya 'iya'." Bisik Aryan tepat ditelinga. Ia mendekatkan kepalanya ke bahu jenjang sekertarisnya.
Dengan cepat, sepasang taring itu menggigit kecil bagian perpotongan leher gadisnya. Vio meringis tertahan, merasakan sakit yang luar biasa pada bagian nadinya. Aryan menggoreskan lidahnya pada gigi tajamnya, membuatnya berdarah, lalu menyalurkan darahnya sendiri pada Vio.
Sang Raja tidak membutuhkan persetujuan.
Seberkas cahaya ungu gelap muncul saat darah milik Aryan tersalur ke tubuh Sang Gadis. Cahaya itu turun dari bahu mengikuti alur sampai ke lengan kanan bagian bawah dekat perpotongan siku Vio. Membuat goresan apik yang teratur membentuk tanda.
Sebuah gambar pedang yang muncul sedikit menyala ungu gelap. Lalu cahaya itu pudar. Menyisakan goresan hitam kebiruan yang sudah terpatri selamanya sampai ikatan mereka diputuskan.
Netra obsidian itu sirna, tergantikan dengan iris berwarna ungu yang tampak menyala.
Dan pada akhirnya, Sang Alpha sudah menentukan siapa yang berhak menempati posisi Sang Luna. Sosok yang harus kembali di sisi Sang Raja, menjadi mempelai yang menyukakan hatinya.
Pintu masuk ruangan di dorong keras. Menampilkan dua orang yang masuk tanpa permisi.
"Brengsek, lihat tempat kali, Yan!"
"Taraka ngga lihat, lanjutin aja."
Aryan melirik garang dengan ekor matanya.
Ck, mengganggu saja.
Tubuh Vio ambruk dalam pelukan lelaki di hadapannya. Kesadarannya hilang.
﹌﹌
Pening.
Violetta terbangun di sebuah kasur besar. Warna monokrom mendominasi ruangan. Eh? Kasur?
Spontan, ia melirik ke balik selimut. Pakaiannya utuh. Aman.
Namun ruangan ini senyap. Membingungkan.
Ia bisa mendengar suara obrolan dari balik pintu ruangan. Tiga suara lelaki dengan suasana serius. Vio keluar dari ruangan, menutup pintunya lalu berbalik. Tiga pasang mata beralih menatapnya. Sepasang tatapan datar, sepasang tatapan menyebalkan, dan sepasang sisanya tatapan serius.
"Ini Violetta, sekertaris saya." Aryan memperkenalkan gadisnya.
"Gue udah tahu, 'kan gue yang bawa dia ke sini." Tepis Rka cepat.
Aryan berdecak, "saya bicara dengan Taraka."
"Alasan." Tepis Taraka datar.
Aryan mendecih kesal.
Terasa canggung, Vio mendekat. Sedikit membungkukkan badan sopan lalu memperkenalkan dirinya lebih resmi.
Tidak lama, dua orang itu pamit pergi. Ternyata Aryan sudah selesai menyampaikan pertanyaan pada keduanya sesuai yang ia bicarakan di telepon tadi pagi.
Suasana ruang kerja kembali senyap seperti biasa. Keduanya berdiri berdampingan menatap dua sosok yang hilang dibalik pintu ruangan yang baru saja ditutup. Ditemani keheningan dan deru napas juga detikan jam. Sudah biasa, namun saat ini rasanya berkali-kali lipat lebih hening.
Kilas balik kejadian singkat tadi, Vio beralih menatap pergelangan tangan kanannya. Memastikan kalau yang tadi itu nyata. Benar saja. Di lengan bagian dalam, dekat perpotongan siku. Gambar apik itu benar-benar ada, terukir di sana dengan sempurna.
Sebuah pedang dengan mahkota.
Indah dan menyakitkan.
"Soal yang tadi," tubuh Vio terlonjak saat tiba-tiba Aryan sudah berdiri di depannya. "Saya-"
"Nggak apa-apa, Pak."
Keduanya kembali berdiri berhadapan dalam diam. Vio yang tidak tahu harus memberi respon apa, dan Aryan yang terlalu bingung untuk menjelaskan semua.
"Saya boleh tanya?" Vio kembali membuka pembicaraan.
Aryan beralih menatapnya tanpa suara. Berbanding terbalik dengan Vio yang enggan menatapnya.
"Iya."
"Kamu ini... apa?"