Setelah kembali ke kamar kontrakan miliknya, Joyo pun menata kembali ukiran-ukiran kaligrafi yang menjadi dagangannya itu. Terlihat Wati dan Slara tidur bersama pada alas sajadah dengan botol susu yang tergeletak tak jauh dari tangan mungil anaknya, dan posisi wajah menghadap Wati. Melihat Wati dan Slara berhadapan, membuatnya tersenyum menghapus keluh. Ia terus memandangi wajah mereka, kemiripan mulai terlihat, meskipun bukan anak kandung. Entah jawaban apa pada satu misteri yang belum terpecahkan, mengapa wajah yang bukan anak kandung dapat mengikuti bentuk kemiripan orang tua adopternya? Sementara Joyo alihkan pandangannya, hanya tertuju pada Wati. Hatinya bergumam, "Wat, lelahmu sudah mulai terlihat, kau memang pandai menyembunyikan itu lewat senyum dan tawa yang kau beri kepada keluarga ini. Kau terlihat lebih dewasa dan tegar."
Ah apakah ini aura yang terpancar dari wanita setelah menjadi ibu?
Aura yang tak pernah sebelumnya ia lihat di wajah ibunya sendiri, apakah aura itu hanya akan terlihat setelah suami berhasil menangkap momen istri dan anak tidur bersama dengan lelap? Apakah ini keistimewaan menjadi orang tua?
"Wat, tetap tegar dan bersabarlah menjadi seorang ibu, perjuangan kita masih panjang. Aku akan membawa kita menuju kehidupan yang lebih baik dari ini." Joyo menggeser pandangannya ke arah Slara, bayi perempuan yang sehat dan gemuk itu lucu terlihat, membuatnya gemas ingin mengajak bermain. Tapi ia urungkan karena kondisi yang tidak memungkinkan, "Slara anakku, tumbuhlah dengan cemerlang, patuhilah ibumu. Tak apa, jika kau tak memperdulikan ayahmu yang menyedihkan ini, yang membuatmu belum merasakan nyamannya tidur di alas sebuah kasur empuk lengkap dengan bantal serta guling untuk memanjakanmu. Maafkan ayahmu yang membuatmu harus berbagi sarung sebagai selimut dengan ibumu. Ketika kau besar nanti, jika kau menanyakan tentang arti pengorbanan dan kasih sayang, tanyakan pada ibumu. Tapi jika kau bertanya tentang perjalanan panjang dan arti perjuangan, tanyakan padaku. Ayahmu ini adalah kasur untukmu, dan ibumu adalah bantal yang mengelilingimu, yang menopang kepalamu dan rela menyangga kakimu. Aku dan ibumu akan berusaha lebih gigih lagi, melebihi yang belum pernah kau tau selama ini, bahkan selama hidupmu sebelum menikah."
Karena malam semakin larut dan tak ingin mengganggu tidur istri dan anaknya, membuat Joyo tidur di ruang tamu kontrakan. Disana terdapat sebuah bale bambu yang cukup untuk satu orang, Joyo tidur tanpa bantal, tanpa selimut. Namun berbalut doa, harapan, dan semangat untuk menjadi lebih baik lagi esok hari dan seterusnya.
*
Saat pagi hari tiba, selepas mandi, ia lihat anaknya yang wangi, warna putih bedak menghiasi wajahnya, serta rambutnya yang basah masih klimis sedang tertawa riang digoda ibunya. Nampaknya, ini kali pertama Joyo bangun terlambat dari biasanya. Waktu telah menunjukkan pukul setengah delapan pagi, dan ia harus menjeda tawa Slara yang riang itu karena alasan ingin bicara dengan sang istri.
"Wat, aku ingin bicara." Tegur Joyo selepas mencubit pipi anaknya.
"Loh mas, kenapa kamu ndak berangkat membuka kios? Apakah kamu sakit?"
Joyo memberi kode untuk sejenak berhenti bermain dengan Slara. "Begini Wat, semalam ketika aku ingin menutup kios, para pemilik dan pengurus Taman Ria menghampiri aku dan Rustam. Katanya, seluruh kios disini akan dibubarkan, Taman Ria akan disudahi."
Wati agak menyingkir lebih jauh dari anak tercintanya, dengan nada bicaranya yang agak dipelankan berharap Slara tidak mendengar. Tapi mata bayi perempuan itu mengikuti gerakan ibundanya, seolah rasa penasaran mengapa tidak melanjutkan bermain bersama.
"Kok bisa mas? Memangnya akan dibuat apa?" Tanya Wati yang kaget penasaran.
"Iya, katanya Monas akan disterilkan menjadi sebuah taman hijau, sebagai tempat hiburan rekreasi, dan museum. Pemerintah kota Jakarta ingin agar Monas hanya menjadi tempat sejarah Monumen Nasional tanpa ada aktivitas perdagangan. Aku sudah menanyakan bagaimana dengan pemilik kios lain, kemudian mereka menjawab bahwa mereka sudah berbicara kepada seluruh pemilik kios yang ada, tinggal aku dan Rustam yang belum diberitahu."
"Kalau begitu bagaimana dengan kiosmu mas?"
Joyo merogoh kantong celana jeans birunya, dan mengeluarkan lembaran-lembaran uang sejumlah lima puluh ribu rupiah, dan diberikannya kepada Wati. "Ini Wat, aku diberi pesangon atas ganti rugi terhadap mata pencaharian yang hilang, kau pegang saja dulu, aku percaya kau lebih handal mengatur keuangan."
Tangan kanan Wati yang menerima uang pemberian dari Joyo langsung memasukkannya ke kantong daster yang dikenakan. "Mas, berarti kedepannya apa kau ingin menganggur dulu? Atau bagaimana?"
"Tidak Wat, tidak ada waktu untuk itu. Aku akan mencoba berkeliling membawa sebagian karyaku, ini caraku untuk menjemput rezeki, doakan saja agar daganganku laku. Aku akan terus melangkahkan kaki mungkin sampai selepas isya malam nanti. Sebelum aku kembali pulang ke rumah, tolong jaga anak kita baik-baik ya." Ungkap Joyo sambil mencium kening Wati.
Joyo memilih lima buah kaligrafi yang akan ia jajakan, Wati mengikutinya sampai ke depan pintu rumah kontrakan, melepas doa untuk menyelimuti diri suaminya. Sebelum Joyo pergi menantang dunia, tak lupa kecupan juga di terjunkan ke kedua pipi dan kening anak bayinya itu.
Langkah demi langkah ia pacu, menebas waktu yang disorot terik menyala. Jakarta semakin membara, mobil-mobil mulai terlihat berbaris seperti biasanya, tapi untuk kehidupan yang tak seperti biasanya, uang belum bersarang di sakunya. Karya ukiran kaligrafi masih setia menemani Joyo, hinggap di degup-degup jantungnya, di sela-sela jemari tangan kiri dan kanan, satu buahnya membandel bertengger di pundak. Belum kalah Joyo berkelahi dengan kata sulit, belum lengah ia mengejar impiannya demi keluarga yang akan lebih layak disebut sejahtera. Kakinya sudah menciumi aspal perumahan, sampai kampung-kampung, ke pinggir-pinggir jalan, ke tempat-tempat ramai orang-orang berkumpul. Metro mini demi metro mini sudah mengantarkannya berkeliling, belum ada satupun orang yang membeli.
*
Saat ini dirinya telah sampai di Jakarta kota, disana ia coba untuk berkeliling tawarkan nama. Karena lelah juga akhirnya hinggap pada perasaannya, akhirnya ia hentikan langkahnya di depan gedung museum wayang. Karena tidak berbekal air minum dari rumah, dan uang yang hanya sedikit ia bawa itu pas untuk mengantarkannya kembali sampai rumah, membuat Joyo terpinggir duduk menepi di halaman museum wayang yang atapnya cukup untuk dirinya berteduh. Ia letakkan perlahan kaligrafi-kaligrafi dengan posisi berdiri yang posisinya sama seperti tubuh kurusnya yang terbakar matahari ke tembok kokoh itu, melepas topi yang bersarang di kepalanya, kemudian ia kibas-kibaskan ke arah wajahnya untuk merasakan angin yang keluar dari gerakan tangan yang diayunkan. Kucuran keringat menetes dari ekspresi wajah yang menyeringai menampung panasnya matahari, memandangi langit-langit dunia dari kota tua.
Dua puluh menit sudah waktunya beristirahat, terlihat seorang pria berkulit sawo matang dengan kaos tanpa lengan dan celana panjang jeans lusuh yang robek besar pada kedua dengkulnya itu menghampiri Joyo. Joyo menatap wajah pria itu, pria yang kira-kira usianya sekitar tiga puluhan tahun itu memiliki pipi yang kempot dengan wajah yang bisa ditebak asal daerah aslinya. Rambut gimbal panjang sepantat. Tangan kanannya memegang lembaran-lembaran kertas berwarna merah yang digulung.
"Nih, mas." Pria itu mengulurkan tangannya ke arah Joyo, terlihat disana ada selembar kertas yang ingin diberikan.
Ketika Joyo mengambil kertas itu, si pria tengah jongkok di depannya. Setelah ia membaca isi surat itu yang bertuliskan pengumuman lomba di Pasar Seni, Ancol dengan hadiahnya yaitu satu buah lapak kios gratis bagi tiga pemenang. Nampaknya si pria itu masih jongkok di hadapannya karena menunggu tanggapan dari Joyo, atau untuk sekadar menjelaskan maksud surat itu.
"Apa kamu orang pasar seni?" tanya Joyo.
"Ya, dan aku disuruh membagikan brosur itu kepada orang-orang yang berjualan sebuah karya seni. Karena tadi dari jauh aku melihatmu berjalan mendekat kemari, maka aku memberikannya padamu. Boleh kau coba." Kata pria itu yang mengubah posisi jongkoknya menjadi duduk sila.
"Ini acara sungguhan? Tapi disini tidak di tuliskan kemahiran apa yang diperlombakan, apa kau tau?"
"Lomba seni rupa mas, macam-macam lomba. Dari membuat karya lukis, sampai patung, termasuk ada juga lomba kaligrafi seperti yang kau bawa ini mas."
Joyo mulai tertarik mengikuti lomba tersebut, ia membuka dan membaca ulang kertasnya. "Besok lusa, pukul sepuluh siang?"
"Iya, itu waktu berkumpul untuk pendaftaran. Kau boleh mendaftar lebih dari satu lomba, karena jeda waktunya yang lama."
"Baiklah, terimakasih ya. Omong-omong, kau ini darimana? Tinggal dimana?" tanya Joyo sambil melipat kertas itu dan memasukkannya ke kantong celana.
"Aku dari pasar seni, aku tinggal di pasar seni. Hidupku perantauan dari Jember ke Jakarta sejak tahun delapan lima sudah di pasar seni, hingga kini mas. Kau sendiri?"
"Aku perantau dari Temanggung, tinggal di Taman Ria. Di jalan buah batu, tadinya aku memiliki kios disana, karena taman ria ingin dijadikan taman hijau, akhirnya aku coba jajakan karyaku dengan berkeliling."
"Berarti kau ini dari sekitaran Monas ya mas? Jauh juga mas." Ujar pria itu yang kaget.
"Ya, bagaimana cara untuk tetap bertahan hidup tinggal di ibukota saja, mas. Terlebih demi keluarga, apapun harus dicoba suka tidak suka, mau tidak mau."
"Siapa namamu mas?" tanya pria itu.
"Aku Joyo. Kau?" tangan mereka bersalaman.
"Aku Bagus, mas. Yasudah kalau begitu, aku beli harga lukisanmu semua, mas. Berapa?" kata pria itu datar.
Sementara Joyo heran tak percaya, sampai membuat pria itu mengulang kembali pertanyaannya.
"Ada apa to, mas? Kok kaya ndak percaya gitu?" Ucap bagus sambil tertawa.
Joyo juga ikut tertawa, untuk melepas rasa herannya. "Semuanya tujuh belas ribu, Gus. Gimana? Jadi?" Joyo mengambil karya-karyanya dan menatanya susun bersusun.
"Yo jadi to." Bagus merogoh sakunya, mengeluarkan dompet dan mengeluarkan uang-uang sejumlah dua puluh ribu. "Nih mas, Ndak usah kembali." Bagus mengambil barang-barang kaligrafi milik Joyo yang telah disusunnya setelah memberikan uang itu.
Joyo menerima uang itu, tentu itu uang yang terbilang banyak. Joyo ingin mengembalikan uang kembaliannya, dengan mengeluarkan sisa uang bekal yang dibawanya dari rumah.
"Nih kembalinya, Gus. Kalau harganya tujuh belas ribu, ya memang tujuh belas ribu, Gus. Jangan begitu, Ndak enak aku."
"Ah, mas ini. Mas, ku lihat kau punya jiwa seni. Bukan Cuma rambut gondrongmu yang menjelaskannya, tapi dari ucapan yang penuh semangatmu itu, serta hasil-hasil karyamu ini yang rapih, detail, serta nampak seperti nyata. Ini sungguh sangat seni yang mahal mas."
"Ah, kau bisa saja, Gus. Sudah ini kembalinya."
"Tidak mas. Ambil saja." Bagus terlihat bersiap untuk berdiri. "Mas, seni itu harus dinilai dan dihargai. Seni itu mahal. Saking mahalnya mungkin seberapa pun banyaknya pecahan nominal uang yang disandingkan dengannya, tidak akan pernah sejajar. Aku mengeluarkan dua puluh ribu kepada seorang yang bakal jadi seniman besar sepertimu tentu tak jadi masalah. Lagi pula aku tau, kau ini sebenarnya bukan orang yang tergiur dengan uang, melainkan menginginkan pekerjaan. Terlihat jelas ketika kau masih ingin mengembalikan sisa uang dari harga yang kau sebutkan. Tapi aura wajahmu menunjukkan kegelisahan. Jadi, terimalah saja mas, dan pulang kepada keluargamu. Simpan hari ini dan esok untuk tenaga dan imajinasimu. Jika kau lelah, kau tidak akan mendapatkan imajinasi yang segar. Lekas pulang, dan habiskan waktu bersama keluargamu. Sampai bertemu di hari Rabu, lusa nanti."
"Semua ucapanmu benar, Gus. Ternyata kau ini memiliki prinsip jiwa seni. Doakan semoga aku berhasil memenangkan lomba tersebut. Kita akan lebih saling kenal mengenal jika sering berjumpa." Joyo dan Bagus saling berdiri. Sebelum mereka pergi, pertemuan mereka diakhiri dengan saling berjabat tangan.