Wati selesai mandi dan berpakaian, Joyo selesai mengajak Slara jalan-jalan. Slara masih terdiam, kepalanya berputar tak henti-henti merekam suasana yang dilihatnya. Sambil menunggu istri memasak, Joyo mengajak bayinya bermain bongkar-pasang. Karena tak mengerti bagaimana caranya menyusun, Slara awalnya hanya berharap ayahnya menyusun ulang bangunan yang selesai disusunnya, mengganti bangunan lain dengan cara menghancurkan bangunan yang telah terpasang. Tapi bagi Joyo tak masalah, itu sebuah proses anaknya belajar. Setelah Slara melihat beragam bentuk bangunan yang berulang kali dibuat ayahnya, akhirnya ia mulai mencoba menyusun, meski tak sama seperti yang di lihat tapi ia berusaha mengikuti apa yang telah direkam kepalanya, ia coba berkali-kali sampai akhirnya menangis karena selalu gagal. Joyo kebingungan mengartikan tangisan itu, sedangkan sang ibu merasa bahwa itu adalah pertanda anaknya haus. Wati siapkan air putih di dalam DOT, dan memberikannya kepada Slara. Hal itu di terima anaknya, meskipun kembali lagi menangis. Wati mengganti air putih dengan susu, lagi-lagi di terimanya, kali ini Slara terdiam menikmati susunya di pangkuan sang ayah, karena Wati masih belum selesai memasak.
Ternyata hal sederhana itulah yang dimengerti Joyo, ketika anaknya kesal, sebenarnya ia hanya butuh ketenangan, ia butuh minum agar suasana dirinya menjadi lega. Meski ibu terkadang salah menafsirkan perasaan anaknya, tapi naluri ibu sangat kuat dan jarang meleset. Seperti air susu yang coba diberikan ketika sang anak menerima, ia akan merasa bahwa pemberian apapun dari ibu tidak akan pernah sia-sia. Joyo tak ingin mengganggu anaknya yang sedang diam menikmati susu sambil melihat kegiatan yang dilakukan Wati. Saat botol susu anaknya terjatuh, ia coba untuk mengambilkannya kembali, tapi Slara menolak dengan geleng-geleng kepala. Joyo menerka yang diinginkan sang anak dengan cara membuatnya tertidur, ah nampaknya hal itu tepat dengan keinginan Slara. Joyo masih belum puas bermain dengan bayinya itu, ia usap-usapkan tangannya ke pipi Slara. Slara terdiam menikmati sentuhan dari ayah, tapi Wati berpesan agar Slara tidak boleh tidur. Tugas bagi Joyo adalah membuat anak bayinya nyaman, tanpa membuatnya tertidur. "Karena Slara belum mandi", kata Wati. "Ia masih harus mandi, kemudian makan. Ini masakan sudah selesai, sekarang aku ingin memandikan Slara." Slara yang nampaknya masih merasa nyaman bermanja dengan sang ayah itupun kemudian menangis saat tangan ibu memisahkan mereka, tapi Wati sudah handal mengatasi masalah ini. Sedikit ia timang-timang sambil berkata "cupcupcup" sudah bisa menenangkan anaknya, dan berhasil membuat anaknya mengerti bahwa saat ini harus mandi.
Sambil menunggu mereka di kamar mandi, Joyo melahap sarapan kali ini. Satu rezeki yang masih bisa di nikmati dari mata pencaharian yang sedang ia cari. Lahap ia menyantap sayur sop dengan nasi dan ikan asin. Kali ini tanpa sambal, karena harga cabai sedang naik.
Setelah selesai menyantap sarapan, ia berganti posisi dengan Wati dan Slara yang juga sudah selesai. Joyo mencuci piringnya dan mandi. Ia nikmati air yang mengguyur dirinya, yang menenangkan jiwanya, yang menyelimutinya dari keresahan, ia rasakan kesegarannya. Terlintas dalam benaknya, ia akan meminjam gitar milik Bagong untuk bernyanyi bersama keluarga. Mengingat bahwa Bagong punya gitar bagus yang berdawai merdu.
*
Setelah beres, "Gong, aku pinjam gitar, dong." Kata Joyo dari luar mengetuk pintu kamar temannya.
"Oh iya, Yo. Sebentar." Tak lama Bagong keluar membawa gitarnya. "Mau nyanyi-nyanyi bareng keluarga ya, Yo?"
"Iya, gong. Sudah lama aku tak menyanyikan lagu anak-anak, dan lagu daerah."
"Mantap Yo, lanjutkan. Aku dan istri ikut nyanyi dari sini."
"Hahaha."
Setelah Joyo mendapat gitar, ia balik ke kamarnya. Slara yang sebelumnya sudah remang setelah makan dan minum susu lagi, kembali membuka lebar matanya. Seolah bertanya-tanya tentang benda apakah yang dibawa ayah? Pandangannya itu nampak tertangkap oleh Joyo dan Wati, hingga mereka serempak memberi tahu kepada Slara bahwa benda itu namanya gitar. Slara yang masih penasaran itupun menepuk-nepuk tangannya, dengan maksud ingin cepat melihat bagaimana benda tersebut berfungsi.
Wati tak melarang Joyo menunjukkan keahliannya bermain gitar dan bernyanyi setelah melihat wajah Slara yang berseri-seri dengan corak penasaran. Tak butuh waktu lama bagi Joyo untuk mulai memainkan gitarnya. Ia duduk di samping sang istri yang sama-sama menghadap Slara. Lentik jari-jari mengiringi tembangnya, mulai dari lagu-lagu Jawa seperti Lir Ilir, Gambang Suling, Cublak-Cublak Suweng, Gundhul Pacul, sampai Suwe Ora Jamu, habis ia sajikan. Anak bayinya yang masih mungil itu turut serta mengeluarkan suara seolah ikut bernyanyi bersama orang tuanya meski dengan kata-kata yang masih belum jelas itu. Tak puas bernyanyi lagu daerah, Joyo meneruskan nyanyiannya beralih ke lagu anak-anak. Karena melihat Slara yang bersemangat mengikuti nyanyiannya dan kadang tertawa sambil menepuk tangan seolah memberi apresiasi kepada ayahnya itulah yang menyebabkan Joyo terus bernyanyi. Satu persatu lagu anak-anak ia perdengarkan, mulai dari Pelangi, Ambilkan bulan, Kupu-kupu yang lucu, naik-naik ke puncak gunung, Helly, nyamuk-nyamuk nakal, sampai Senam Pagi. Ia menyanyikan semua lagu anak-anak yang di hafal. Karena mahir bermain gitar, Joyo tak perlu membaca kunci.
Tak terasa kebersamaan mereka bernyanyi telah memakan waktu lebih dari dua jam, kini Joyo menghentikan permainannya. Selama bernyanyi, para tetangga kamar tak merasa terganggu, bahkan ia mendengar mereka ikut bernyanyi dibalik aktivitas yang sedang mereka lakukan. Bagong masih belum berhenti menyenandungkannya. Joyo menaruh gitar di sandaran pintu kamar yang terbuka, Slara tak protes karena hiburannya berhenti, matanya mulai terpejam. Joyo mengambil minum dan berpindah tempat duduk, sementara Wati memilih rebahan ngeloni anaknya.
Bisri yang baru kembali ke kontrakan setelah membeli makan menegur Joyo yang terlihat dari pintu kamar yang terbuka, "Wah pak Yo, kenapa berhenti? Aku sedang asyik menikmati nyanyian anak-anak itu dari jalanan depan, eh sampai kesini sudah berhenti."
"Wah capek Bis, istirahat dulu deh biar anakku tidur siang." Sambil tertawa dan keluar, ke arah ruang tamu untuk merokok.
"Yasudah kalau begitu. Makan pak Yo." Bisri mengangkat bungkusan di plastik hitam.
"Oh ya, monggo Bis."
Setelah Bisri berlalu masuk ke kamarnya, Joyo bersantai di bale bambu yang terdapat di ruang tamu, menikmati isapan demi isapan rokoknya. Tapi tak lama ketenangan itu terusik perasaannya, Joyo bingung bagaimana cara memenangkan lomba hari esok, ia memikirkan lukisan apa yang akan dibuat.
Tiga puluh menit terlewati, ia masih memikirkannya sampai berbatang rokok larut dihisap api.
"Aku ingin melukis pemandangan saat aku melihat gempa. Tapi aku tak tau persis hal apa yang akan aku tekankan, begitu banyak yang aku lihat, begitu banyak pula yang aku rasakan."
Burung-burung mulai berkicau di kepalanya hingga menetaskan kalimat, "Ah entah, mungkin esok kutemukan jawabannya."