Chereads / Joyowati / Chapter 13 - Saatnya berlomba.

Chapter 13 - Saatnya berlomba.

Saat yang dinanti-nantikan peserta pun telah di depan mata, Joyo dan ayah Rustam mencari tempat yang telah tersedia. Tempat mereka berjauhan, terhalang oleh lima peserta sehingga membuat Joyo belum bisa menyapa pelukis itu. Ketika waktu telah dimulai, Joyo segera membuka kuas dan beberapa cat warna yang di perlukan. Sementara perasaannya masih terbagi oleh kekhawatiran akan persaingan dengan ayah Rustam itu, hingga membuat pikirannya pecah semrawut. Joyo sempat hening beberapa saat sebelum mulai menggoreskan kanvas itu dengan lukisannya. Selama proses itu, Joyo menumpahkan segala potret diri, ia melukiskan segala yang ia tengah resahkan, termasuk masa depan keluarganya, maupun persaingan dengan ayah Rustam. Entah mengapa optimis untuk menang itu tak lagi menjadi pasti baginya, ia hanya takut ketika ia menang tapi disisi lain ayah Rustam kalah, ia takut akan kemenangan yang justru bisa mencederai perasaan orang lain. Karena perasaan kesal akan kebimbangan itu, Joyo tak sengaja membuat karya lukisnya itu menjadi corak tebal pada warna, dengan potret diri keresahan hati. Mula-mula ia menekankan warna kuning yang cukup tebal, warna yang dirasa melambangkan kebenaran emosional. Karena Joyo termasuk salah satu penggemar dari karya-karya Vincent Van Gogh maka secara sadar ia meyakini warna sebagai sesuatu yang mengandung beban psikologis dan moral. Sehingga dalam lukisan Joyo pasti ada yang ia tekankan perasaannya dengan warna-warna yang tebal, ia juga meyakini bahwa warna mengekpresikan sesuatu dengan warna itu sendiri. Karya-karya Van Gogh sangat mempengaruhi gaya lukisannya, bedanya, Joyo lebih ekspresif dengan sangat membuka dan memberitahu perasaannya. Bahkan ia sendiri tak segan melukiskan dirinya yang sedang menangis, kala memang sudah seperti itu perasaannya.

*

Kembali pada karya lukis Joyo, ia menggambar sebuah gurun pasir luas yang menghampar, dan dirinya berada di sebuah aspal berliku di tengah gurun sambil menggendong matahari. Ia juga melukiskan jam dihadapannya yang meleleh hingga menjadi air terjun dan aliran air sungai yang mengalir di hadapannya menuju istana megah yang justru malah dibelakangnya.

Keringat mengalir dari dahinya, semakin ia menumpahkan emosinya, semakin tangannya gemetar memainkan warna. Matanya merem melek seolah sedang menimba air dari sumur atau diibaratkan jepretan kamera dari seorang fotografer. Semakin ia gemetar, semakin ia tak mengontrol diri akan aliran seni lukis yang terdapat pada karyanya. Alirannya serupa menjadi Surealis, bak Salvador Dali. Entahlah. Mungkin para pengamat seni atau para pelukis ulung masih bisa mengategorikan aliran karyanya, tapi tidak bagi Joyo yang minim pengetahuan tentang aliran aliran itu.

lima puluh menit waktu melukis ia kerjakan, dan tak sadar ketika lukisannya telah rampung, pelukis lain belum ada yang selesai, bahkan waktu yang disediakan panitia juga masih tersisa. Joyo merasa tak ingin menunggu waktu lagi agar secepatnya membebaskan pikiran, setelah ia lihat kembali lukisannya dari berbagai sisi dan telah merasa yakin bahwa lukisannya sudah rapih, ia pun bergegas keluar setelah menempelkan stiker di kanvas dan seluruh cat kering. Panitia yang melihat di belakangnya menghampiri lukisan Joyo, memperhatikan, dan mengambil lukisan itu untuk kemudian di serahkan kepada panitia yang berada di depan, sejalan dengan Joyo yang hendak pergi meninggalkan perlombaan. Ketika mereka berdua sampai di meja panitia depan, tanpa disangka Joyo ternyata seluruh panitia memuji karya lukisnya, bagi mereka karya yang diciptakan Joyo itu adalah sebuah karya mahal nan estetik. Tapi Joyo tidak merasa gembira, perasaannya gaduh akan kekhawatiran dan pertanyaan pertanyaan bagaimana hasil keputusan nanti antara dirinya dan ayah Rustam. Setelah mengucapkan terimakasih banyak kepada seluruh panitia, Joyo berjalan menuju pantai. Sambil melihat bayangan dirinya sendiri yang dipantulkan cahaya. Sesekali ia menoleh ke kanan dan kiri mencari Rustam, tapi tak diketemukan. Joyo mengambil rokok di sakunya, membakar, menghisap dalam dalam kemudian menghempas asapnya begitu lega, seakan bukan hanya asap yang keluar, tapi juga serat serat kekacauan yang bergelimang di dada. Sampai di bibir pantai, ia duduk mengamati kapal kapal kecil yang mengangkut penumpang berjalan-jalan, menikmati angin yang meniupkan air laut menjadi bergelombang. Sambil ia terus memikirkan, Apakah sebenarnya ayah Rustam sangat tidak masalah apabila dirinya tak dapat menjuarai perlombaan itu? Apa aku ini mengkhawatirkan hal yang sebenarnya tak perlu? Apa aku ini sangat berlebihan? Kepalanya mendongak ke awan, hal biasa yang ia lakukan setiap merasa tak ada pegangan, sembari membaca diri, mengadu pada Tuhan pencipta segala, "Aku hanyalah ibarat sebuah kapal ditengah tengah lautan, yang keresahan mencari pulau diantara pulau. Ketika optimis bertabrakan dengan kemanusiaan, terlempar aku dibuai keresahan gelombang pikiran yang sunyi."

Sekian lama ia hening mengamati suasana, perlahan semangatnya kian bangkit untuk menjawab satu persatu pertanyaannya sendiri, dibantu bibir dan jari-jarinya yang setia dengan rokok selama mengurai dilema. Ia berniat untuk segera menemui Rustam dan ayahnya, serta menemui bagus. Ah, tentu saja setelah perasaannya tenang. Agar semua kembali sedia kala dan biasa saja.

*

Sebuah tangan menepak bahu Joyo, dengan kaget ia menoleh. Ternyata itu adalah Rustam. Entah mengapa saat Joyo menatap, ia kehilangan percaya diri, jantung berdegup hebat, Joyo merasa gerogi.

"Kau sudah lama disini pak Yo?" Sapa Rustam sambil duduk di samping Joyo.

"Ehh, kau. Belum lama."

Rustam membakar rokok, "Kau nampak lesu, pak Yo? Apa ada yang kau pikirkan?"

Joyo menoleh dan menatap mata bocah itu. Matanya berbinar terang, tapi entah kenapa Joyo merasa itu adalah tanda kesedihan.

"Ah, tidak ada. Aku hanya sedang mengisi ulang imajinasi."

"Hahaha, kau pikir imajinasi itu seperti air minum galon. Sepertinya ada yang aneh."

"Tidak ada yang aneh, Rus. Dunia berjalan seperti biasanya."

"Bukan dunia, pak Yo. Tapi pak Yo sendiri." Kemudian Rustam melihat wajah Joyo. "Ah, sudah lupakan. Ngomong-ngomong, sudah selesai melukisnya pak Yo? Kau memang hebat ya. Ayahku saja yang pekerjaannya pelukis masih belum ku lihat."

Keringat menetes dari dahi Joyo, gerogi semakin tak tertahan.

"Aku hanya tak ingin berlama-lama disana, Rus."

"Ha?" Rustam begong mendengar ucapan Joyo. "Tapi, pasti kau sudah mempersiapkan matang-matang, karyamu tak mungkin asal asalan."

Joyo menghela nafas, "Begitu ya?"

"Jangan bilang kalau pak Yo takut gagal?"

"Bukannya rasa takut gagal itu manusiawi ya, Rus?" Joyo berusaha mengalihkan, menggiring pembicaraan untuk menjawab keresahannya.

"Ya, memang. Tapi jika pak Yo merasa seperti itu, berarti pak Yo belum hebat."

"Aku memang belum hebat, Rus."

"Tapi aku mengagumimu pak Yo. Ah, begini ya, aku harap pak Yo bisa mengatasi masalah tidak percaya diri itu."

"Aku sedang berusaha. Lalu, bagaimana jika ayahmu merasakan hal yang sama? Atau lebih buruknya kalau ayahmu gagal, Rus?"

"Hahaha." Rustam terkekeh mendengar ucapan Joyo. "Bagiku itu tidak mungkin, pak Yo. Tidak mungkin ayahku merasa gelisah bahkan takut gagal. Usianya sudah setia ini, pasti dalam hidupnya sudah banyak mengalami kegagalan. Kalau pun memang ayah tak berhasil menang di perlombaan ini, ayah pasti punya cara pandangnya sendiri yang didapat dari pengalaman hidupnya."

"Kalau ayahmu gagal, apa kau tidak merasa sedih, Rus?"

"Untuk apa? Jika aku yang mengikuti perlombaan ini kemudian aku yang tidak lolos, ada kemungkinan aku berkecil hati. Tapi kalau ayah, aku yang akan bertugas untuk menguatkan. Kami tau kalau gagal berarti memang belum rezeki. Tapi, pak Yo yang pernah bilang sendiri bahwa seni itu bercabang seperti pohon yang memiliki ranting-ranting ke penjuru. Seni itu merambat seperti akar, mengalir seperti air. Seniman tidak akan peduli dengan berhasil atau gagal di dalam perlombaan, tapi karena karyanya itu adalah tumpahan rasa, dan ketika pekerjaan yang selesai sudah dirasa sempurna, saat itulah karya bernyawa. Berhasil atau gagalnya seniman merupakan puas atau tidaknya ia mencipta."

"Tepat! Kata-kata inilah yang sebenarnya aku inginkan." Dalam hati Joyo bergumam.

"Berarti aku tidak perlu merasa resah ya, Rus? Aku tak perlu merasa takut gagal? Tak perlu juga merasa takut kalau ayahmu gagal?" Joyo menatap mata Rustam lagi, penuh dengan harapan titik terang.

"Hahaha. Tidak perlu pak Yo. Untuk apa? Barangkali pertemuan ini, dan apa yang kita lakukan saat ini hingga nanti menjelang kematian, sudah menjadi takdir. Saat ini, semasa hidup, kita hanya menggiring diri kita untuk menerima takdir yang sudah ditentukan. Kalau pak Yo terlalu larut akan hal itu, aku khawatir pak Yo akan selalu dihinggapi perasaan kecewa yang terlalu dan bisa jadi memperlambat laju kesuksesan pak Yo. Terlebih, tujuanmu kan untuk keluarga."

Tak disangka, pertemuan yang diawali dengan rasa takut dan gemetar hebat itu berhasil dilewati oleh kata-kata. Jelas Joyo sumringah, senyum lebar hadir memerdekakan gundah yang terpendam. Hati Joyo bebas selega-leganya.

Mereka pergi meninggalkan bibir pantai, dan bersepakat untuk menunggu di depan stand perlombaan, setelah itu pergi bersama ayah Rustam ke kios-kios pasar seni.

*

Belum lama mereka berjalan, ternyata ayah Joyo sudah terlihat menghampiri mereka. Mereka bertiga langsung menuju pasar seni, untuk melihat-lihat karya yang dijajakan para pemilik kios disana. Tegur sapa dan percakapan pun dimulai. Joyo kini tak merasa sungkan bertemu ayah Rustam. Diketahui, ternyata namanya itu adalah Sukur. Setelah banyak perbincangan, ternyata Joyo merasa tertarik oleh pak Sukur. Wawasannya sangat luar biasa dalam obrolan mereka mengenai suatu karya seni rupa, dan tak disangka Joyo, ternyata wawasan beliau di dapat dari pelajaran kuliahnya dulu. Meski kalau kata pak Sukur, ia jarang masuk kelas, lebih sering membantu senior membuat ornamen dalam tugas akhirnya. Joyo semakin tertawa saja melihat dirinya yang ternyata jauh lebih kecil dibanding pelukis lulusan sarjana seni itu. Walaupun begitu, ternyata pak Sukur ini orangnya juga tak besar kepala, ia memuji karya lukis Joyo tadi saat di perlombaan, katanya ia menjadi termotivasi setelah sempat mengintip karya Joyo dan kemudian teringat akan lukisan corak kehidupan yang pernah dibuat oleh teman yang ia idolakan semasa kuliah dulu. Sementara Rustam yang tidak mengerti dengan percakapan mereka, memutuskan untuk kembali berjalan-jalan disekitar panggung hiburan untuk mencari informasi siapa yang akan pentas disana atau barangkali bisa bertemu langsung oleh para musisi.