Malam telah tiba, hari yang cukup panjang bagi para peserta yang masih berada di pasar seni untuk tenggelam bersama senja. Di luar area kios, suara kentongan bergema riuh, lampion-lampion sepanjang jalan dinyalakan, dan suara alat musik modern seperti gitar, bass, keyboard, serta microphone sedang check sound orang-orang ya g berpakaian menarik pun juga nampaknya telah berkeliaran untuk mempersiapkan diri dalam arak-arakan pada malam karnaval ini. Keramaian yang semacam ini baru pertama kalinya dirasakan Joyo, kalau hanya sekadar panggung hiburan musik ia sudah terbiasa. Tapi matanya menampilkan cahaya kekaguman pada perayaan karnaval ini, apalagi bersama dengan para seniman yang baru dikenalnya, nampaknya hal yang sama juga dirasakan oleh pak Sukur karena kepala dan bola matanya sibuk melihat sekeliling. Sementara Rustam yang belum juga kembali pun masih sibuk diatas panggung untuk membantu para tim panggung hiburan mengecek kesiapan suara yang akan digunakan beberapa musisi terkenal tanah air dan semua tamu yang datang untuk mengisi pentas musik.
Bunyi meriah kembang api telah di gemakan pasar seni, pesta megah kumpulan seniman dalam satu lingkup yang sama-sama bergoyang, juga sama-sama berjuang. Kali pertama Joyo melihat Rustam memainkan gitarnya. Walaupun sang ayah telah kembali ke rumah lebih dulu karena tubuhnya dirasa tak begitu kuat lebih lama menghadapi terpaan angin malam, apalagi bunyi kencang suara sound, padahal anaknya sedang menjadi aktor panggung. Joyo selalu dibuat terperangah saat telinganya dililit melodi gitar khas ala Slash yang dipamerkan oleh Rustam. Tapi dalam kegemerlapan yang ia nikmati entah kenapa ada rasa sesak di dadanya yang tiba-tiba menghujam dan membuat gelisah. Rokok yang dihirup menjadi hambar, asap yang keluar menjadi tak bernyawa, tak ada gairah menikmati pesta pora. Seketika saja anak panah lepas dari busurnya dan menancap di dada menusuk hingga rongga terkecilnya. Joyo bukan orang yang lemah, menghadapi kacau perasaan itu bukan kali pertama baginya, sekuat mungkin ia mencoba sadar dan mengulangi perasaan-perasaan senang menikmati malam ini yang juga purnama. Namun kenyataannya, Joyo tak bisa lama melawan dirinya sendiri, dan tak sanggup lagi bertahan di tempat itu. Pada akhirnya ia keluar, dan berlalu pergi meninggalkan hiburan. Kopaja dengan cekatan berhenti di hadapannya, Joyo pun tak menolak perjalanan. "Rencanamu kesini hanya untuk lomba, tidak lebih!" batinnya mencaci. "Tidak apa, nikmatilah sesaat keramaian purnama ini. Keluargamu baik-baik saja." Logikanya menjawab sederhana. Antara logika dan batin terjadilah perseteruan panjang, membuat Joyo semakin lama mabuk oleh rasa getir yang serba salah, larut dalam lamunan.
"Pak, ongkosnya." Tegur kernet Kopaja yang melihat Joyo tengah melamun.
Sesaat ia sadar, memberikan ongkos tumpangan.
"Kalo malem jangan bengong, pak. Nanti kesambet si manis." Kernet simpul tersenyum sambil berlalu menagih penumpang lain.
Joyo hanya melihat kaki dari kernet itu, ia pastikan kakinya jejak.
"Kenapa mas keliatan bingung?" kata orang disamping kanannya yang terpisah jalan berlalu lalang.
"Oh, tidak apa-apa, Bu."
Ibu-ibu yang berpakaian coklat ala PNS itu hanya mengangguk tanpa melanjutkan pembahasan, kemudian bertanya. "Darimana mas?"
"Pasar seni." Joyo menjawab sambil memulihkan gelisahnya, membuka mata menjalankan realita.
"Oh pasar seni. Loh, bukannya ada panggung hiburan disana?"
Dengan wajah yang masih termangu, Joyo menjawab. "Iya, tapi saya milih pulang."
"Mas sudah berkeluarga?" kata ibu itu sambil melirik ke arah jalanan di depan.
"Sudah, Bu."
"Pantas saja."
Joyo penasaran dengan maksud kalimat itu, "Gimana, Bu?"
"Iya, orang kalo udah berkeluarga, pasti ngerasa ga nyaman kalo nikmatin hiburan sendirian."
Joyo bertanya-tanya apa jawaban itu yang membuat kecamuk di dadanya. "Tapi saya biasanya menikmati pentas musik juga di taman ria sendirian Bu, sambil jaga kios."
"Kan itu bekerja. Apa sekarang mas juga sambil bekerja?"
"Tidak sih, lalu memang apa bedanya Bu?"
"Ya, kalau bekerja, kemungkinan ada rasa hati yang meminta untuk diberi hiburan. Tapi kalau tidak, pasti perasaan akan menolak hiburan. Hati berkata lain dari kenyataan."
"Apa mungkin, Bu?"
"Sangat mungkin. Karena berkeluarga tidak hanya sekedar status."
"Ah, iya Bu. Saya tau ada tanggung jawab yang harus selalu dilangsungkan, sebab saya laki-laki dan meminang perempuan."
"Ya, tapi ada juga tanggung jawab yang berlangsung tanpa kau sadari. Dengan kata lain, menikah adalah serangkaian tanggung jawab."
Joyo sebenarnya tak terlalu mengerti apa maksud perkataannya, tapi ia tak ingin mengecewakannya.
"Terus terang, dada saya sesak Bu. Apa ada kaitannya dengan menjadi seorang suami?"
Wanita itu menghela nafas dan memicingkan matanya. "Kau sakit?"
"Saya rasa tidak, dari tadi saya baik-baik saja menikmati acara meski tak sepenuhnya. Saya masih sanggup pulang."
"Segeralah pulang, mungkin kau sedang di khawatirkan keluarga kecilmu, atau mereka sangat mengharapkan kehadiranmu. Apa kau sudah coba menghubungi istrimu?"
"Belum, saya tak memiliki rezeki lebih untuk berbincang di telepon umum."
Wanita itu mengangguk, dan percakapan mereka harus berhenti karena bis telah sampai mengantarnya. Joyo pun mengamati sekeliling, tak sadar sebentar lagi juga tujuannya sampai.
*
Saat dirumah, Joyo kebingungan mencari Wati dan Slara yang tiada. Dengan geger ia mengetuk-ngetuk pintu tetangga menanyakan kemana perginya mereka.
"Oh, belum lama mereka pergi kerumah sakit bersama mas Bagong." Ujar istri Bagong.
"Rumah sakit mana?"
"Aku tidak tau. Anakmu demam tinggi tadi, dan seluruh badannya gemetar hebat. Wati panik, tak hentinya ia mengompres anakmu, tapi demam anakmu makin parah disertai mengigau. Aku dan suamiku mendengar kekhawatiran istrimu, langsung saja aku suruh mas Bagong mengantarkan ke rumah sakit, meski sempat ingin menunggumu pulang, tapi aku berhasil membujuk istrimu segera bertindak cepat untuk menangani sakit anaknya."
"Apa benar-benar baru saja mereka pergi?"
"Sekitar 20 menit."
Dengan wajah ketus Joyo menggerundel, "20 menit itu sudah lumayan!"
"Lebih baik kau tunggu saja dulu, biar nanti kau tau sendiri perginya mereka ke rumah sakit mana, daripada kau memaksa mencari mereka tapi tak ketemu juga? Hanya buang-buang waktu dan tenagamu saja."
"Rumah sakit paling dekat sini adalah rumah sakit sentosa, apa mungkin?"
"Entahlah, tapi rumah sakit itu terkenal mahal. Coba saja sambangi bila kau penasaran."
Tanpa bicara lagi, Joyo segera menuju rumah sakit itu, doanya berkumpul agar dapat bertemu mereka dengan keadaan baik-baik saja. Tapi naasnya ketika sampai disana, tak ada pasien baru yang bernama Slara ataupun Wati. Joyo makin gusar, apalagi setahunya rumah sakit terdekat hanya ini. Sejenak ia duduk di ruang tunggu panggil pemeriksaan. Terbesit di kepalanya, apa benar yang harus dilakukan adalah menunggu mereka pulang? Atau setidaknya menunggu Bagong pulang saja biar tak sia-sia pencarian?
Butuh waktu lama untuk Joyo mengambil keputusan itu, ia lebih banyak merelaksasikan pikirannya dan mencoba tenang. Akhir keputusannya adalah memang ia harus pulang dulu menunggu kehadiran Bagong.
Sesampainya dikamar kontrakan, ia melihat baskom dan air bekas mengompres anaknya, ia perhatikan jarik yang menjadi alas tidur Slara, ia rapikan kamarnya yang belum lama mengalami tragedi kepanikan tanpa dirinya. Seluruh bayangan kehadiran mereka muncul dan tak pernah hilang dari ingatan sampai tertidur. Saat terbangun di pagi hari melihat keluarga kecilnya masih tak ada juga, segera ia berlonjak dari tempat tidur, mengetuk pintu kamar Bagong. Jawaban dari istri Bagong pun ternyata sama, sang suami belum juga pulang. Pada saat itu dugaan kuat mereka padu, "Slara harus di rawat inap."
Semakin panas Joyo menerima keadaan. Semakin menyesali keterlambatannya pulang. "Seharusnya aku tak perlu sampai melihat matahari terbenam dan perayaan karnaval di pasar seni itu." Kata-kata semakin menyambuk hatinya. Matanya pun tergenang air.
Tak ada yang bisa ia lakukan lagi selain menunggu siang, menunggu kedatangan Bagong. Jika Bagong menemani anak dan istrinya semalaman, pasti ia akan pulang siang ini untuk memberitahukan keberadaan mereka. Dengan berusaha menerima kenyataan untuk sabar, Joyo duduk di ruang tamu rumah itu, api telah membakar rokok yang mengeluarkan asap dari mulutnya. Tak henti asbak menampung doa dalam gelisah sesal pria yang baru berkeluarga.
*
Tiba saatnya matahari yang hampir terbenam itu membawa Bagong hadir di hadapan Joyo. Dengan gesit ia membangunkan Joyo yang lelap berbantal sebelah lengan. Melihat orang yang di tunggu telah datang, Joyo langsung bergegas mempersiapkan diri untuk pergi tandang ke tempat anak dan istrinya berada. Belum sempat Bagong duduk atau sekadar minum air putih, ia harus pergi lagi. Tak ada penolakan dari bibirnya, sebab ia tahu kecemasan menjadi bapak walaupun ia belum memilikinya mataharinya.
"Rumah sakit gemilang." Ucap Bagong persis disamping telinga pak sopir angkot.
"Sakit apa anakku? Pastikan bahwa semua baik-baik saja saat kau disana semalaman." Joyo menepuk pundak Bagong dari samping.
"Ia step dan gejala tipes. Ya, dokter cepat menanganinya kau tenang saja."
Sampai di rumah sakit, ruang kamarnya sendiri tanpa ada pasien lain, kamar yg khusus untuk Slara. Ia melihat anaknya sedang lemas terbaring di samping seorang ibu yang tidak pernah kehilangan cemas. Sementara Bagong menunggu di luar ruangan, dan pamit untuk pulang. Joyo mengiyakan, sebab dirinya lebih memilih untuk menginap bersama malam ini. Saat tangannya membelai kepala anaknya, Wati bangun dan tersenyum, sementara Slara berkaca-kaca. Joyo memendam rasa ingin menangis, kemudian mencium kening anaknya seraya mengucap kalimat penyemangat. Setelah mendengar itu, Slara kembali memejamkan matanya.
Joyo melihat ada perban di jari tangan Wati, padahal wanita itu sudah berusaha menyembunyikannya. "Kenapa wat?" tanya Joyo yang mulai duduk disamping istrinya.
Wati melinguk ke arah anaknya, memastikan bahwa putri kecilnya telah tidur dan tidak mendengarnya, sambil kemudian menjawab dengan berbisik, "Semalam, tubuhnya berguncang hebat, mas. Lengan dan tungkainya menghentak, serta giginya yang tak berhenti seperti menahan gigil. Aku berusaha melemaskan tubuhnya saat ia kejang agar syarafnya tidak ketarik yang mungkin bisa menjadi cacat permanen, aku juga memasukkan jariku ke mulutnya, hingga ia terus menerus menggigit jariku. Dokter juga yang mengobati ini."
Joyo kehabisan kata, kerongkongannya tersedak pilu. Tak ingin larut dalam kesedihan, ia mengatur posisi duduknya di tengah-tengah mereka dan tangannya tak henti mengusap-usap kepala keduanya. Hingga waktu larut bersama dekapannya..
**