Pagi hari tiba, mentari mulai memancarkan sinarnya menelusup ke balik jendela menyelinap memasuki ruang-ruang kecil diantara sela tirai bambu yang terpasang menggantikan hordeng hingga sampai mengendap di mata Joyo yang tengah terpejam. Pedagang sayur ikut membantu sinar itu membangunkan Joyo dengan suaranya yang khas menarik pembeli, begitu juga malaikat kecilnya yang sadar akan celana basahnya. Tak butuh waktu lama mereka menyadari tanda-tanda hari sudah datang lagi, keluarga kecil yang kusam itupun terbangun dari mimpinya, melanjutkan perjuangan yang masih harus berlari sampai ke garis depan kesejahteraan. Mereka ingat akan Joyo yang harus memamerkan keahliannya dalam lomba. Meski tak berharap menang, tapi mereka berharap karya yang tercipta adalah yang terbaik. Ah, persepsi itu nampaknya hanya dilantunkan dalam hati Wati, dalam benak Joyo tentu mau menang atau tidak yang penting ia menginginkan hadiah berupa kios yang tetap karena itu adalah poin bagi dirinya mengubah keadaan keluarga yang ia bina. Wati mulai menyibukkan diri mengelap pantat bayi serta menggantikan celananya, Joyo beranjak membasuh wajah supaya terlihat dunia yang akan ia hadapi. Bagong sudah menerima uang banyak dari hasil rampasan dompet-dompet anak buahnya yang sedari sebelum fajar tiba sudah ramai berdatangan. Joyo, Wati, dan Slara duduk bersama, menunggu nasi yang matang sembari mengheningkan cipta untuk doa paling mulia. "Hari ini adalah hari yang akan bersejarah, aku akan memenangkan lomba, aku akan berikan karya terbaik." Dalam hati Joyo bergejolak semangat juang kemerdekaan, merdeka yang bagi dirinya sangat sederhana namun sulit dicapai dan perlu perjuangan. Optimis ia menatap mentari di depan jendela. Ia keluar kamar, membakar rokoknya yang masih tersisa satu batang. Ia biarkan tubuhnya disirami cahaya dan memandangi asap-asap yang keluar dari mulutnya. Asap itu, rokok itu, tentu akan menjadi ciri khas baginya sebagai seniman yang tak melupakan tanah kelahirannya. Sebagai anak yang terlahir dari wilayah berpenghasilan tembakau yang terkenal itu, ia akan buktikan bahwa hari ini dirinya akan menang. Tak akan ada satupun orang yang bisa menghalangi perjuangan, tak ada satupun yang dapat menyaingi pengorbanan, tak ada satupun yang dapat mendustakan hasil dari kerja keras. Tukang koran sibuk mengayuh rezeki di hadapannya, semakin membuat ia bertekad untuk mengukir kesuksesan.
"Mas, ayo sarapan dulu. Bareng-bareng sini sama Slara." Wati menyapa dari belakang, di balik tembok kamar. Sementara Slara yang sudah bisa bicara walau belum jelas pelafalannya juga ikut bersuara, seolah ikut mengajak ayah tercintanya berkumpul bersama meski tanpa ruang makan.
"Iya Wat." Seru Joyo seketika mematikan rokoknya. Rokok yang sebenarnya masih ia nikmati, dan sedang nikmat-nikmatnya dihisap itu terpaksa ia binasakan. Karena seruan sang anak memanggil.
Joyo memasuki kamar kontrakan sepetak itu, mengambil nasi hangat yang sudah disediakan Wati, yang sudah diciduk dari rice cooker dan beberapa tempe orek sisa semalam yang dibelinya di warteg.
"Kamu ndak makan Wat?" tanya Joyo sambil hendak mengunyah.
"Nanti, mas. Yang penting kamu dan Slara dulu."
"Kamu jangan sampai ndak makan ya Wat."
Wati hanya membalas anggukan, sambil menyuapi anaknya yang bersemangat mengunyah makanan meski dengan gigi-giginya yang belum tumbuh sempurna secara utuh.
Seusai sarapan pagi dan mencuci piringnya itu, Joyo bergegas mandi untuk menyiapkan diri mengikuti lomba di pasar seni. Slara yang sudah lebih dahulu mandi sebelum sarapan memandangi ayahnya dalam-dalam, bola matanya mengikuti gerakan sang ayah. Sesekali berteriak kecil meminta perhatian agar Joyo menjelaskan dirinya hendak kemana. Ketika sang ayah mendekat, mata Slara melebar, tangannya coba menggapai tangan sang ayah, kakinya menendang-nendang, dan kepalanya menggeleng. Ia menduga mungkin sang ayah akan mengajaknya bermain atau bernyanyi seperti kemarin, tapi itu sama sekali tidak benar. Ternyata sentuhan sang ayah itu adalah belaian tanda dirinya akan pergi bekerja. Setelah melihat ayahnya keluar dari pintu kamar, suaranya berteriak-teriak memanggil, Joyo datang lagi untuk mencium pipi dan keningnya, lalu beranjak pergi. Hal yang sama dilakukan oleh Slara, dan ketika ayahnya tidak datang kembali, ia menangis keras. Wati paham akan kerinduan sang anak, Wati mengeri akan makna waktu bersama bagi Slara, ia menggendong bayi mungilnya dengan mengajaknya berbicara dan menjelaskan padanya perbedaan antara hari ini dan hari kemarin. Meski entah mengerti atau tidak, tapi tangisan putrinya lama-lama berhenti.
Kembali seperti hari-hari biasanya, Wati menghabiskan waktu bersama Slara yang belum tertidur itu hanya dengan bercanda, membacakan kisah dongeng atau kisah kenabian dan kewayangan dari buku yang disimpan oleh Joyo. Sesekali ia mengambil karya Joyo, membiarkan putrinya menyentuh karya itu, dengan menjelaskan padanya perihal karya yang dibuat oleh Joyo. Setiap kali sudah merasa tidak ada lagi yang akan dilakukan, Wati memberikan Slara susu sambil mendongengkan cerita fiksi khayalannya untuk lebih menyihir anaknya sampai tertidur.
*
Sementara Joyo kembali berjalan menembus cahaya, mencumbui asap-asap kendaraan, berdesakan di dalam Kopaja yang produktif mengeja langit-langit hari. Mobil-mobil mewah yang hadir menyalip jalan Kopaja, turut serta meramaikan desakan dalam hati yang ia simpan dalam kepalan tangan. Gedung-gedung yang sudah mulai menghiasi tanah Jakarta menatap tak peduli, kaca-kaca sinis melihat pedagang menjajakan impian. Pekerja-pekerja kantor sibuk merapikan pakaian, Joyo sibuk merapikan rambut gondrong sepantatnya yang sudah mulai kering terpapar sinar. Ia tak pernah mengikat rambutnya kala pagi, katanya, biar berfotosintesis. Biar bernafas. Celana jeans biru laut yang menjelma warna langit pun kian menghiasi penampilan, paduan jaket Levis tak pernah lupa dikenakan, setelan pakaian yang menjadi identitas dirinya. Bukan karena ingin membangun sebuah ciri khas, tapi memang itulah rezeki dirinya. Tak pernah luput ia berdoa pada Tuhan untuk mendengarkan kicauan dalam kepala, dan mengampuni kemiskinannya. Pak polisi rajin mengamati pengendara yang nekat melintas jalan raya tanpa kelengkapan aturan seharusnya. Matanya tajam memberi teguran. Sementara pak sopir matanya tajam mencari peluang berjalan. Bagi Joyo, warga Jakarta penuh makanan, tak hanya nasi dan roti, tapi kemacetan yang bersusun sampai ke tepi, belum lagi banjir yang tak kuasa menahan rindu di beberapa wilayah ibu kota. Ah, tapi bagi Joyo, inilah kehidupan. Tak ada urusan berkeluh-kesah, sementara peluh belum lelah, masa depan harus diperjuangkan.
Matanya yang menyelinap pada sudut-sudut kota sepanjang jalan yang dilintasi Kopaja nampaknya harus segera usai. Kini dirinya sudah sampai di Ancol, ia langkahkan mimpinya ke depan tiket masuk, dan mengarahkannya ke pasar seni yang siap menghadirkan cerita. Matanya tak henti melahap situasi, ketika sampai di pasar seni ia lihat arak-arakan orang berpakaian daerah, lomba ini terasa seperti festival besar. Pertama kalinya ia lihat pasar seni, kios-kios disana lengkap menjajakan karya. Seni rupa nampaknya lengkap ditampung daerah tersebut. Sebuah panggung tak jauh dari hadapannya sudah berdiri, ah nampaknya nanti akan ramai. Pasar seni menampung seluruh kesenian. Harga tiket masuk yang tak terlalu mahal nampaknya menjadikan pasar seni sebagai salah satu pilihan untuk berlibur bagi beberapa orang yang melewati hari dengan sibuk padatnya pekerjaan tetapi menyimpan banyak keinginan untuk relaksasi melihat karya seni. Stand-stand pedagang sudah berdiri ramai menjajakan pakaian khas daerah meski bukan pakaian adat, kaos-kaos bertuliskan Djakarta, baju lurik khas Yogyakarta, sampai rumbai-rumbai khas Papua, semua ada. Seniman-seniman senior berbaur bersama dengan pengunjung, begitupun dengan para peserta lomba. Ia seperti melihat seribu bayangan kebiasaan dirinya di Taman Ria. Lampion-lampion yang sudah terpasang siap untuk dinyalakan menggantikan senja yang telah tenggelam, meja-meja panitia sudah tersusun. Tapi nampaknya, belum terlihat panitia yang berjejer disana, Joyo lanjutkan untuk sedikit berjalan-jalan melihat-lihat ramainya festival. Seniman-seniman sibuk berkarya dan terus berkarya, meski keramaian gemerlapan di depannya, sepertinya tak ada urusan bagi karya yang tetap berjalan. Joyo tentu merasa senang melihat orang-orang itu, melihat ketekunan seniman menjadi semangat baginya, semakin ia ingin menunjukkan keahliannya, semakin besar hasratnya memenangkan lomba.
Dari jauh, diam-diam ada yang memata-matai Joyo, mengikuti kemana ia pergi. Sampai pada sebuah kios kayu-kayu yang terukir indah, tempat Joyo berbincang-bincang dengan sang pemahatnya, ia menghampiri.
"Oi mas." Sapa Bagus.
"Eh kamu Gus, sini duduk Gus." Ujar Joyo sambil menggeser posisi duduknya. Sang pemahat meleng sedikit menatap wajah Bagus sambil tersenyum dan mengangguk.
Karena melihat situasi yang tidak ada masalah baginya jika duduk bersama, Bagus pun duduk di tempat yang disediakan Joyo, disampingnya.
"Piye, mas? Sudah siap?" Bagus mengeluarkan kantong plastik berisikan tembakau, Garet, dan cengkeh.
Melihat bungkusan itu, Joyo terkejut. Karena rokok lintingan adalah sebuah kebiasaan yang dilakukan lumrah orang-orang desanya. Terutama para sepuh-sepuh di Temanggung sering merokok seperti itu, karena mereka petani tembakau itu sendiri. Tak heran jika merokok seperti itu menjadi budaya tersendiri bagi masyarakat Temanggung, karena Temanggung sendiri terkenal sebagai kota tembakau. Tapi yang jadi masalahnya bagi Joyo adalah mengapa Bagus bisa mendapatkan tembakau yang baginya tak asing? Tembakau yang terlihat lebih besar-besar, ia sudah yakin bahwa itu tembakau Srintil. Sebutan Srintil mungkin sudah banyak yang paham, terutama orang yang sudah terbiasa berkecimpung di dunia pertembakauan. Namun tidak ada seorang petani yang bisa memastikan tanaman tembakaunya menjadi Srintil. Srintil sebutan populer salah satu jenis tembakau yang berkualitas di Kabupaten Temanggung. Tidak semua lahan pertanian tembakau di Temanggung muncul jenis tembakau Srintil. Keberadaannya sangat langka, hanya di daerah tertentu dan berkat kearifan lokal. Apalagi tembakau Srintil di daerah Joyo menjadi kualitas nomor Wahid, daerahnya yang di kaki gunung Sumbing dan Sindoro menjadikan kualitas Srintil menjadi lebih baik. Harga Srintil sangat ditentukan dari kualitas daun tembakaunya. Semakin banyak kadar nikotinnya, maka semakin mahal harganya. Nikotin secara sederhana adalah bahan yang mengandung perangsang kelompok alkaloid yang juga terdapat pada tumbuhan famili Solanaceae yaitu tomat, terong ungu (eggplant), jenis sayur sayuran seperti kembang kol, dan kentang. Secara sederhana tembakau jenis Srintil dapat dilihat saat disimpan, ia akan mengeluarkan bau menyengat seperti busuk berwarna kuning, diakibatkan kadar nikotinnya begitu banyak. Kalau dijemur memerlukan waktu 4-5 hari baru bisa kering. Beda dengan tembakau Temanggung pada umumnya, baunya tidak begitu menyengat dan hanya butuh 1-3 hari untuk pengeringan. Pada prinsipnya daun tembakau bisa menjadi Srintil berasal dari varietas lokal asli Temanggung, yaitu jenis Kemloco yang ditanam dengan memakai teknik bagus. Sebagai contoh saat menanam tidak dicampur dengan varietas lain, tanah tidak terlalu banyak kadar airnya dan lain sebagainya. Nama Srintil, sebagian masyarakat mengatakan berasal dari kata sri-ne dan kata ngintil. Sri dipercaya masyarakat Temanggung sebagai Dwi Sri yang diterjemahkan keberuntungan, sedang ngintil adalah ikut-mengikuti. Jadi Srintil itu daun tembakau yang diikuti dengan keberuntungan dengan hasil kualitas tembakau bagus (mengandung nikotin banyak), harganya bagus di atas rata-rata harga tembakau pada umumnya, tidak semua lahan menghasilkan Srintil (karena kearifan lokal) dan tingginya permintaan pasar.
"Dari mana kau dapat Srintil, Gus? Tanya Joyo setelah mengambil plastik merah yang membungkus tembakaunya.
"Dari teman, mas. Dia orang Parakan."
"Oh, habis panen ya?" tanya Joyo.
"Iya, mas. Tapi kata dia harga Srintil mahal, jadi aku dikasih tak banyak. Tak apalah bagiku mencicipi tembakau khas sudah pasti menyenangkan."
Joyo kembali memalingkan wajahnya ke arah seniman itu. Kemudian, pikirannya menerbangkan ingatan akan masa lalunya. Masa kecil di desa ia kuras hingga kini dirinya berada di pusat ibukota. Dahulu, ia seringkali memet di sawah. Memet atau menangkap ikan adalah kebiasaan kecilnya. Tak hanya dirinya, bahkan Wati, dan seluruh anak-anak kecil di desa pasti tak pernah ketinggalan aktivitas menyenangkan yang dilakukan di sawah, di terik siang selepas bersekolah. Lama waktu mereka menyibukkan diri, dari siang sampai sore menjelang selalu penuh lumpur menjadikan mereka berwarna kulit sawo matang, tak heran penampilan mereka menjadi kalah jika dibandingkan dengan orang-orang kota. Tapi, ah entah mengapa Joyo tak lagi melihat anak-anak kecil di kampungnya sibuk berlarian membelah sawah. Bagi Joyo, saat ini para orang tua yang tak lain adalah teman-teman masa kecilnya juga terlalu menjaga gengsi, terlalu menjaga fisik anaknya agar tidak kalah dengan orang kota. Padahal, hidup bukanlah tentang sebuah perbandingan fisik, melainkan serangkaian banyaknya cerita yang menjadi pengalaman. Orang-orang tua di desa kini takut anak-anaknya menjadi kotor, dan terbakar kulitnya, mereka takut jika anak-anak mereka menjadi dekil karena seringnya kulit dilapisi lumpur. Entahlah, mungkin suatu saat nanti akan ada seseorang yang mampu menemukan bahwa lumpur juga memiliki manfaat. Memet akan menjadi kenangan tersendiri yang tak pernah hilang ketika menceritakan kepada anak cucunya, dan Memet akan menjadi sebuah budaya yang kelak bakal dirindukan anak-anak seusianya di masa lalu. Budaya yang perlahan mulai hilang, kelak akan bangkit kembali ketika telah sampai pada hasrat tiap-tiap insan yang baru, pada generasi mendatang.
Dahulu, Joyo hanya seorang anak desa yang terkenal nakal. Nakal dalam kategori sering bermain, lebih banyak waktu bermain ketimbang belajar. Namun, bakat yang memang sudah menyelimuti dirinya sejak dini adalah menggambar. Bakat itulah yang menjadi hobinya, dan berangkat dari hobi itulah yang membuat dirinya terus menerus menggambar, yang dengan secara otomatis hal tersebut juga meneguhkan bakatnya. Joyo percaya bahwa bakat tak serta merta ada dan kekal. Bagi Joyo, meski bakat sejak dini sudah sebesar bumi, tapi jika itu tidak pernah diasah, tidak akan pernah bisa menjadi suatu kemampuan yang luar biasa. Bakat hanya berkah, tapi ketekunanlah yang mengubah berkah menjadi besarnya hikmah. Joyo merasa tak pernah puas jika hanya menggambar pemandangan itu-itu saja, pemandangan sawah yang menghampar di hadapan Sumbing yang menjulang. Hal itu yang memicu dirinya untuk coba menggambar mengikuti imajinasinya, dan selalu memacu ketertarikan dirinya menggambar dalam bentuk lain, hingga semakin mantap dirinya mencoba beberapa karya rupa lain. Bagi Joyo, bicara seni adalah bicara tentang kemampuan. Seni memang tak pernah tetap, seni terus bergerak. Itulah yang menjadikan seni tetap ada hingga kini, meski telah lahir sejak manusia mengenal peradaban. Seni terus berkembang, sejak zaman prasejarah, bangsa-bangsa kuno, abad pertengahan, zaman renaisance, zaman Barok dan rakoko, abad ke-19, hingga abad ke-20, dan akan terus bergerak berkembang mengikuti zaman. Lambat laun, itulah seleksi alam untuk para seniman. Para pembuat seni rupa tak bisa dikategorikan sebagai seniman jika belum bisa mengubah Dwi Matra menjadi Tri Matra. Seni tak pernah menjadi satu, tapi serangkaian karya seni tercipta itulah yang menjadi padu dalam tubuh sang seniman. Joyo selalu menganggap dirinya adalah seorang seniman, bukan tanpa alasan, karena hal itulah yang kemudian membuat dirinya akan terus eksis bergerak untuk karya. Joyo tak pernah menghitung berapa banyak karya yang telah diciptakannya, tapi ia ingin melihat karya-karya terabadikan dalam kisah hidupnya. Ia ingin, kelak ketika dirinya telah mencapai usia senja dikelilingi oleh usahanya. Tapi ia selalu bertanya mengapa perjuangan itu seperti ini? Kapankah gerangan waktu menggiringnya kepada hasil? Apakah ini arti perjuangan? Panjang sekali dan rumit berliku, apakah ini memang ujian bagi setiap insan? Apa ini rintangan yang semakin besar dihadapi jika tekat sudah semakin bulat? Mengapa seniman menempuh kesuksesan selalu harus melewati perjuangan dalam kurun waktu yang panjang? Tiap kali ia tatap langit yang cerah, ia selalu merasakan ngeri. Ngeri pada dirinya sendiri. Ngeri pada kehidupan saat ini. Tapi ia percaya, Tuhan tak akan pernah membuat ujian melebihi kemampuan hambanya. Hal itu selalu Joyo buktikan dalam setiap waktu ibadah tiba yang tak pernah ia lewatkan. Tuhan mampu mengubah kemungkinan menjadi kepastian. "Aku pasti akan menjadi orang besar."