Chereads / Joyowati / Chapter 12 - Hal tak teduga

Chapter 12 - Hal tak teduga

Suara lonceng nyaring berbunyi, disusul oleh letusan kembang api yang dinyalakan ke udara, pertanda panitia sudah lengkap mengisi tempat pada perlombaannya masing-masing. Meskipun lomba tidak dilakukan secara serempak, tetapi seluruh panitia sudah memulai membuka pendaftaran nomor urut yang akan diperoleh peserta.

"Weh mas, lombanya sudah mau dimulai. Sekarang waktunya mengisi nama dan mengambil nomor dulu." Kata Bagus sambil menepuk pundak Joyo.

"Yo, Gus. Doain aja ya, semoga ada tempat satu kios untukku."

"Yo pasti mas, karyamu apik. Tapi musti membuat sesuatu yang berbeda mas. Kalo mau cari aman, boleh dengan keahlianmu yang biasa dibuat."

"Aku menemukan inspirasi baru kok, Gus."

"Wes sudah kuduga, kau memang senang bermain dalam tantangan." Tawa dari Bagus menampilkan gigi-giginya yang kuning akibat nikotin rokok.

Joyo hanya membalas tawa, dan menepuk pundak Bagus. Sementara sang seniman yang sebelumnya dilihat oleh Joyo itu menghentikan aktivitasnya, sambil menyumbang semangat untuk bapak satu anak tersebut. "Semangat, mas." Bagus dan sang seniman tertinggal disana, Joyo membiarkan mereka bercakap-cakap, seperti mungkin kebiasaan sehari-hari sebelum mengenal Joyo.

Sambil berjalan dengan menatap Bagus dan seniman itu Joyo tersenyum mengangkat tangan, lambaian perpisahan setelah perjamuan.

Joyo mendekati stand yang berdiri untuk lomba lukisan, mengisi nama dan memperoleh nomornya. Cukup panjang antrean dibelakangnya, nampaknya Pasar seni memang pusat para seniman berkumpul untuk berlomba menjajakan karyanya atau tempat orang-orang menjual karya demi menjunjung harapan akan kehidupan yang lebih baik. Tidak ada seleksi bagi orang-orang yang ingin mengikuti lomba, mereka hanya perlu mengisi daftar nama di meja panitia untuk memperoleh nomor urut yang akan dikalungkan bagi peserta, sekaligus dengan stiker yang harus peserta tempelkan pada sebagian tempat di karya mereka setelah selesai di buat.

Selepas ia mendapatkan kartu, ia masuk ke blok yang sudah di sediakan. Tak hanya tempat, tapi juga kanvas dan cat sampai wadahnya, komplit tersedia. Joyo membelah kerumunan orang yang hadir, tapi di sela kerumunan itu ia seperti melihat orang yang sudah tak asing baginya. Rambut kribo mekar yang sangat familiar terlihat dibalik pohon, sedang duduk pada sebuah tempat seolah menjadi pot pohon itu yang terbuat dari semen, sambil minum es. Pandangan ia alihkan ke arah panitia, dilihatnya orang-orang yang berbaris mengantre masih banyak. Tak ingin dibuat penasaran dan menyesal, dengan cekatan ia balikkan lagi matanya menatap orang itu. Sambil memandanginya, ia coba mengingat kembali ciri fisiknya, tubuhnya, dan rambutnya yang khas. Rambut-rambut ala Rocker pada zaman itu. Ia terus mengamatinya, sambil melangkah mendekat. Sampai ia dapat berhasil melihat wajahnya, ah, ternyata dia memang bukan orang asing bagi hidupnya.

"Rustam!" tegur Joyo keras dari belakang. Sengaja ia tak langsung menghampiri ke hadapannya atau menepuk pundaknya. Tentu saja itu dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan bahwa ia akan salah orang.

Sementara Rustam celingak-celinguk mencari sumber suara itu, tapi tak dilihatnya orang yang terlihat habis memanggil namanya.

"Rustam!" suara Joyo semakin kencang memanggil. Tapi Rustam masih sibuk menoleh ke kiri kanan, sampai suara yang memanggil namanya itu menyela sebelum ia menengok ke sebelah kanan lagi.

Mendengar suara yang kian jelas itu akhirnya ia menoleh ke belakang. Tapi ia tak melihat sumber suara itu. Ah, nampaknya Joyo tertutup kerumunan orang yang berdiri.

Tapi Joyo dari tempat berdirinya melihat kepala anak itu sudah sejajar dengannya.

"Rustam!" Joyo mengulanginya dengan lebih keras sambil melambaikan tangannya.

Melihat ada tangan yang melambai, akhirnya pandangan Rustam masuk menyelinap kerumunan.

Ah, ia melihatnya.

"Oi pak Yo." Lambaian tangan Rustam mengiringi langkah Joyo mendekat sambil bertanya-tanya dalam hatinya, apakah ia ingin mengikuti lomba ini? Apa mungkin ia mengantarkan ayahnya?

Tak ingin sibuk memikirkan pertanyaan dalam dirinya yang tidak pasti itu, Joyo melupakan rasa penasarannya. Ia kembali fokus melangkah maju. Joyo tidak salah orang, kiranya tak butuh waktu lama untuk mereka duduk berdampingan.

Karena tak ingin terbelit penasaran, Joyo pun menanyakan kedatangannya.

"Kau sedang apa Rus?" ungkap Joyo penasaran.

"Sedang menunggu ayahku, pak Yo. Ia sedang mengantre." Jarinya menunjuk tempat ayahnya berdiri.

Joyo mengikuti arah jarinya menunjuk, dan matanya tertuju pada seseorang yang sebenarnya belum terlalu tua, meskipun tetap jauh lebih tua darinya.

Rambutnya panjang sebahu, sudah berwarna putih semua. Warna rambut yang kontras dengan kaos hitam yang dipakai membuat ia berbeda sendiri dari para pengantre yang lain. Tubuhnya pun terbilang tinggi, meski keriput dan kendur tangannya bisa dilihat dari jauh karena kaos yang dikenakannya lengan pendek.

"Itu ayahmu? Yang rambutnya gondrong berwarna putih?" tanya Joyo sambil memastikan kebenarannya.

"Ya. Pak Yo benar. Rambut gondrongnya tidak kalah dengan pak Yo. Meskipun pak Yo harus mengakui jika rambut sepenuhnya uban milik ayah itu lebih keren." Rustam tertawa.

"Iya keren. Tapi lebih keren lagi jika kau mengantarnya dengan mobil, Rus." Joyo membalas tawa.

"Ah, pak Yo bisa saja satirenya." Rustam mengambil es yang tinggal sedikit miliknya, kemudian di habiskan. "Pak Yo sendiri bersama siapa kesini? Apa pak Yo sudah mengambil nomor?" ia beranjak sebentar ke tempat sampah membuang es.

"Aku sendiri, Rus. Aku sudah mengambil nomornya, aku kepagian sampai sini. Aku berjalan-jalan melihat kios-kios yang sudah di tempati sambil melihat karya-karya seni para seniman disini."

"Aih, pak Yo. Nampaknya, tidak dimana-mana kau memang datang paling awal ya."

Joyo tertawa, "Entahlah Rus. Semasa sekolah dulu, aku adalah orang yang paling hobi terlambat."

"Lalu ceritanya pak Yo ingin menebus kesalahan itu?"

"Iya, tepat sekali Rus."

"Ah, seperti sinetron saja."

"Ya, mungkin. Tapi itu benar adanya."

"Apanya pak Yo?"

"Hidup ini kan juga perlu ada perubahan. Aku hanya merasa bahwa ini adalah pekerjaan yang aku senangi, setiap waktu bisa menjadi sumber pengalaman, setiap pengalaman bisa menjadi sumber inspirasi."

"Memang sih, tapi bukankah memang yang seharusnya dilakukan seseorang jika sudah berkeluarga adalah bekerja keras dalam bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, pak Yo?"

"Ya, termasuk salah satunya. Kau tidak perlu menunda waktumu saat ini untuk itu. Tapi, Rus aku hanya melakukan yang bisa disebut perubahan itu bukan semata karena sudah memiliki keluarga. Tidak. Sebelum berkeluarga aku sudah lebih cepat."

"Mengapa pak Yo? Maksudku, kau kan seorang pengusaha? Atau setidaknya pak Yo juga termasuk orang yang bekerja tidak bergantung kepada bos."

"Rus, seorang pengusaha bukan hanya orang yang memiliki bisnis usaha. Toh juga bila seperti itu, tak semua pengusaha memiliki jiwa entrepreneur, yang memiliki jiwa tersebut adalah mereka yang memanfaatkan peluang dari setiap bisnisnya atau orang yang terjun ke dalam suatu bisnis. Di mana, jika kita memiliki jiwa entrepreneur, dapat dipastikan bisnis yang akan dijalani dapat terus bertahan. Maka dari itu, aku menyimpulkan bahwa setiap orang adalah pengusaha bagi dirinya sendiri. Bagi cita-citanya, bagi masa depannya. Pengusaha adalah orang-orang yang melakukan sebuah usaha. Baik itu skala kecil ataupun besar. Rus, kau harus memiliki manajemen untuk hidupmu. Ya, lagi-lagi juga agar bisa membahagiakan orang kesayanganmu sebelum terlambat."

"Betul juga pak Yo. Tapi, bagaimana jika aku sedang usaha mencapai keinginan atau cita-citaku, namun di tengah jalan orang-orang yang aku sayangi berpulang. Sebelum aku menang atas hidupku, pak Yo?"

"Rus, lihat ayahmu." Joyo menunjuk diikut dengan pandangan mereka ke arah pria tersebut. "Seperti yang sudah pernah aku katakan padamu sebelumnya, apa kau masih ingat?"

"Masih, pak Yo."

"Aku yakin, ayahmu tidak pernah bahkan mungkin tidak ingin memaksamu buru-buru agar dirinya mampu melihatmu menjadi orang besar. Mudah saja, Rus. Kau hanya perlu membuat ayahmu percaya, tunjukan padanya, di hadapan mata yang telah sayu, bahwa dirimu sedang berproses. Dari foto-foto di album yang pernah kau perlihatkan, aku telah percaya bahwa ayahmu adalah seniman, tentu ia tau bagaimana cara menilai perjuangan. Tentu ia tau bagaimana cara menghargai proses yang kau lakukan untuk hidupmu. Tanpa kau sadari, Rus, yang kau lakukan untuk masa depanmu, apalagi berkarya, kau memiliki mimpi yang besar, itu akan membuat orang tuamu lebih bersemangat mendoakanmu dan semakin percaya kau akan tumbuh menjadi orang besar. Syukur-syukur kau menjadi legenda. Tapi, kau harus percaya padaku bahwa ayahmu tidak semata-mata bangga hanya saat kau telah menjadi yang kau mau, tapi ketika ayahmu melihat perjuanganmu menempuh hidup. Karena hal itulah yang membangkitkan semangat muda ayahmu kembali. Ingatan-ingatan masa muda pada hari lalu akan kembali berputar di kepalanya. Kau juga harus percaya bahwa kau yang jika kelak tumbuh menjadi lebih besar dari ayahmu, dan jika ayahmu masih bisa melihat kejayaanmu, itu adalah bonus baginya."

"Aku takut, pak Yo. Jika di tengah perjalanan aku belum berhasil mencapai kesuksesan itu, belum mencapai kejayaan itu."

"Apa yang kau takuti? Jika ayahmu saja sudah melihat dirimu yang telah berbenah. Apalagi yang kau takuti? Jika perjuanganmu di mata ayahmu telah berkembang menjadi rasa syukur paling agung. Baktimu akan semakin luhur karena berlanjut dengan doa. Rus, doa adalah cara terbaik bagi manusia mengungkapkan ketulusan."

"Tapi, bagaimana jika ayahku bukan orang yang seperti itu? Bagaimana jika ayahku diam-diam tak sabar menunggu hasil? Jika ayahku tidak melihat dari yang pak Yo bilang perjuangan."

"Tidak mungkin, Rus. Ayah, yang menjadi orang tua tentu tetaplah manusia. Manusia yang tak luput dari rasa gengsi, bagaimana ia menyembunyikan air mata harunya kala melihat lelahnya dirimu melampaui hari yang keras. Apalagi jika melihatmu berkeringat di tengah perjalanan. Tentu ayahmu akan menyembunyikan itu, mungkin bukan karena gengsi juga, tapi karena ia sebenarnya ingin terlihat tetap tegap mengayomi dirimu yang sedang di deru liku-liku."

"Mengapa kau begitu yakin pak Yo? Sedangkan setiap manusia itu berbeda-beda."

"Ya, setiap manusia memang berbeda-beda. Tapi, setiap orang tua mayoritas memiliki cara pandang, cita-cita, yang sama. Dan setiap perasaan pada masing-masing manusia itu sebenarnya sama, memiliki sisi sensitif. Tak ada manusia yang tidak memiliki air mata, tapi mungkin banyak manusia yang terlihat jarang mengeluarkan air mata. Rus, itu hanya sandiwara baginya, agar air matanya tidak jatuh terlihat di hadapan manusia. Banyak manusia yang pintar menyembunyikan air matanya sendiri."

Sejenak Rustam terdiam menunduk ke bawah. Sesekali terlihat menggerakkan kedua kakinya dengan kepala yang masih tertunduk. Joyo berpikir bahwa Rustam sedang mengolah kembali kata-katanya. Sebab ia yakin, bahwa Rustam bukan orang yang sulit menerima masukan, meski dalam jiwanya adalah pemberontak, tapi ia yakin Rustam memiliki hati yang lapang lagi pikiran yang jernih.

Namun saat sedang hening itulah yang membuat Joyo terpagu akan kata-katanya sendiri. Ia menganalisis kembali ucapannya. Ia baru menyadari bahwa apa yang ia ucapkan memungkinkan menjadi semangat bagi Rustam, mungkin saja ia memiliki harapan besar bahwa kali ini ayahnya akan menang lomba, dan ketika memiliki kios di pasar seni itulah bagi Rustam untuk kembali mencari inspirasi bersama orang-orang seni yang baru, yang akan dilihatnya. Sementara hati Joyo bergetar, ia merasa bimbang bagaimana jika ayah Rustam tidak berhasil lolos, lalu bagaimana dengan perjalanan Rustam dan keluarga itu kedepannya? Pikiran itu lambat-laun menjadi bumerang bagi ucapannya sendiri yang berusaha menyemangati Rustam.