Di kamar kontrakan berukuran 5x6 yang mereka sebut rumah itu terlihat Wati sedang memasak sayur asem, sambil menggendong Slara pada sebuah jarit yang terikat di pundaknya. Bocah itu tampak terdiam sambil menggigit gigit empeng botol susu. Dengan tatapannya yang mengajak berkeliling melihat sudut-sudut kamar, mungkin dalam hati sedang mencoba menerima bahwa ruangan kecil itu adalah rumahnya. Rumah dimana tempat ia dilahirkan, tempat yang mengawali hidupnya. Sesekali ia merengek, melempar botol susunya sebagai pertanda bahwa ia risih karena kotorannya yang menempel di popoknya, atau karena ia risih karena popoknya sudah penuh terisi pipisnya sendiri. Tapi, Wati tidak kaku. Tidak merasa risih pada kewajibannya itu, selayaknya ibu yang telah benar-benar mengandung anaknya sendiri, ia melakukannya dengan sepenuh hati.
Setelah sayur asem siap dihidangkan, Wati membuat sereal untuk makan Slara agar lekas lelap karena dari tadi sudah banyak mengeluarkan tawa. Wati khawatir Slara akan menangis kencang karena sulit tidur, atau karena perutnya yang mungil itu menahan lapar. Setelah sereal juga selesai di seduh, ia mengajak Slara yang masih terbalut selendang jarit itu keluar rumah, berjalan-jalan sedikit, mendendangkan lagu-lagu anak-anak dan tangannya perlahan memberi suapan sambil mengelap kembali makanan yang di keluarkan dari mulut bayinya. Tak lupa Wati menempelkan lap celemek di sekitar leher sampai dada Slara. Ketika sereal satu mangkuk bayi itu hampir habis, terlihat Joyo dari ujung gang melangkah pulang tanpa membawa kembali dagangannya. Wati merasa senang Joyo sudah kembali sekaligus merasa aneh mengapa ia tak membawa satupun dagangannya yang tadi ia bawa pergi. Ketika mereka saling berhadapan, Wati tak lupa mencium tangan suaminya, sedangkan Slara nampaknya tak mau kalah, ia tersenyum lebar melihat ayahnya yang baru terlihat lagi. Dari bibir dan giginya yang mungil itu ia mengeluarkan kembali makanan yang seharusnya sudah ditelan, seolah ingin menunjukkan bahwa ia sedang makan atau justru sebenarnya ia ingin menawarkan makanan kepada ayahnya. Naluri ke-bapakan Joyo nampaknya tergugah melihat reaksi Slara, ia sempatkan untuk menghibur dan menciumi anak tercintanya itu. Dan terjadilah kehangatan keluarga melalui tertawa.
Wati tak ingin mereka lama-lama bercanda di luar rumah, karena kondisi Joyo yang baru pulang kerja juga membuat Wati mengajak mereka berdua masuk ke dalam rumah. Agar Joyo segera mandi dan berganti pakaian terlebih dahulu karena sudah sore.
"Mas, kamu kok pulang cepat? Rezeki hari ini cepat juga ya datangnya mas?" tanya Wati melihat suami masuk ke kamar setelah selesai mandi.
Karena pakaian ganti sudah Joyo kenakan di kamar mandi, ia pun menjawab, "Betul sekali Wat. Alhamdulillah rezeki hari ini, meski tadi aku sangat lelah sekali menghabiskan waktu berjalan-jalan di terik siang. Tapi, untunglah kaki ini tepat mengantarkan tubuhku menyambut rezeki. Aku sampai di kota tua."
"Sejauh itu mas?" Wati memotong
"Ya, benar Wat. Ketika aku sedang beristirahat dan berteduh dari cahaya matahari siang yang murka di halaman museum wayang, dari jauh aku melihat laki-laki berambut gimbal. Ia datang memberikan aku selebaran kertas pengumuman bahwa akan diadakan lomba di Pasar Seni. Ia pun menawarkannya, dari situ kami berbincang hingga berkenalan nama. Ternyata ia orang lama di Pasar Seni. Kemudian di akhir pertemuan, ia berminat untuk membeli semua dagangan ku, dan memberikan uang lebih tapi tidak ingin ada kembalian." Joyo merogoh saku, memberikan uang hasil penjualan kepada Wati dan kertas pengumuman lomba itu.
"Terimakasih mas, Alhamdulillah itu rezeki." Wati menerima uang lalu memasukkannya ke dompet yang telah ia selipkan diantara pakaiannya di dalam lemari. Kemudian lanjut membuka surat itu dan membacanya. "Wah lomba ini masih hari lusa mas? Apa esok kau ingin tetap berjualan? Atau ingin istirahat saja dulu di rumah, mas?"
"Sepertinya aku ingin libur total dulu satu hari Wat, tidak apa-apa kan?" tanya Joyo sambil menyelonjorkan kakinya yang masih terasa lelah.
"Tidak masalah mas, mas harus istirahat yang cukup ya." Wati meletakkan Slara yang sudah pulas tertidur di pelukannya itu ke atas sajadah-sajadah yang ditumpuk berlapis.
*
Esok harinya Joyo terbangun di pagi hari, ia terbangun karena Slara menangis. Sebenarnya, tangisan bayi merupakan alarm terbaik bagi seorang ayah yang sedang mengupayakan dirinya mengajak keluarga beranjak dari lubang kemiskinan. Wati nampaknya tak mau kalah, ia terperanjat dan langsung mengecek celana anak perempuannya. Ah, nampaknya celananya sudah basah oleh ompol dan minta diganti. Untungnya persediaan celana bersih yang kering masih ada satu, Wati berniat untuk mencuci pakaian-pakaian Slara. Wati menunjukkan sosok ibu yang hangat dan cekatan dalam mengetahui masalah anaknya, tangannya yang lembut mulai mengelap bokong si bayi. Sesudahnya ia menggantikan celana, Joyo tergugah untuk merasakan menggendong bayi perempuannya, mengingat hari ini adalah waktu penuh bersama keluarga, tak ingin di sia-siakannya berlatih untuk menggendong bayi dengan benar.
Perlahan tapi pasti, Wati mengajarkan kepada suaminya hingga layak untuk menggendong Slara. Slara hangat dalam dekapannya, walaupun tangan bocah yang masih pendek itu belum mampu untuk memeluk sang ayah, tapi dirinya tak kehabisan cara, ia merangkul tangan kirinya ke pundak kanan Joyo dan tangan kanannya menepuk-nepuk punggung ayahanda sebagai isyarat meminta untuk diajak jalan-jalan. Joyo mengerti akan isyarat itu, tak ingin kehilangan momen saat menggendong bayinya hanya dikamar saja, akhirnya Joyo pun keluar. Mereka disirami cahaya mentari pagi yang sudah mulai menampilkan keanggunan, dengan cahaya yang mengandung kebaikan untuk kesehatan sang bayi juga membuat Joyo mengelilingi gang demi gang di daerah tempat tinggalnya. Satu dua orang bergantian menyapa pria yang kerap disapa pak Yo itu, tak jarang juga ibu-ibu yang gemas melihat anak kecil itu mulai mencubiti pipi Slara. Slara tak pernah menangis dengan hal itu saat berada dalam pelukan sang ayah maupun ibundanya. Mungkin ia hanya merasakan kenyamanan saat di dekap mereka, ia tak merasa takut, tak merasa khawatir, karena selama dekat dengan mereka, tak akan pernah ada masalah yang terjadi pada dirinya. Terkadang setiap ada orang-orang yang hadir di penglihatannya itu terlihat lucu, ia tertawa riang, dan menepuk-nepuk bahu orang tua yang menggendongnya, dengan caranya sendiri menyampaikan kepada mereka bahwa dirinya sedang merasa senang. Namun terkadang setiap kali ia lama dalam dekapan salah satu orang tuanya, ia menangis. Bukan karena ompol atau kotorannya yang mengganggu, bukan karena lapar atau ingin minum susu, melainkan rindu kepada orang tuanya yang satu.
Dan begitulah anak, sampai kapanpun usianya, ia akan selalu menangis setiap kali rindu dengan orang tua.
Orang tua adalah sepasang cinta yang tak pernah bisa dilampaui oleh dirinya sendiri, meski sehebat atau sebesar apapun dirinya kelak.
Mungkin hal itu dapat terjadi karena justru orang tua ingin anaknya lebih besar melampaui mereka, tapi masih adakah ketulusan yang lebih dari itu?
Slara memandangi burung-burung gereja yang bertengger padu dengan teman-temannya sambil berkicauan, dan kebiasaan bayi adalah merasa dirinya adalah seekor burung hingga berandai bisa terbang ke berbagai tempat kemanapun ia suka, bisa berkicau bebas bersenandung mengeluarkan isi hatinya. Walaupun lambat laun ia akan tau, tak semua tempat bisa dihinggapi, tak semua lawan jenis bisa diajak bersama, tak semua teman bisa diajak bersuara, tak semua perasaan bisa dikicaukan.
Seperti hakikatnya manusia, setiap bertambah usia maka kemampuan berpikirnya akan ikut bertambah juga.