Chereads / Joyowati / Chapter 7 - Tahun Pertama

Chapter 7 - Tahun Pertama

Satu tahun berselang, Slara telah tumbuh lebih besar. Kebutuhan yang masih harus Joyo dan Wati perjuangkan. Tepat berselang ketika hari ulang tahun Slara, Joyo kehilangan mata pencahariannya di Taman Ria karena alasan untuk pembersihan wilayah Monas sebagai tempat hiburan rekreasi dan tempat sejarah. Kios milik Joyo pun dibeli oleh pihak Taman Ria sebagai ganti rugi akan mata pencahariannya yang hilang permanen. Begitupun kios Rustam, dan seluruh pedagang terpaksa gulung tikar dengan mencari profesi lain, atau bertahan tetap dengan berdagang tapi di wilayah yang berbeda. Kios-kios mereka rata dibeli dengan harga masing-masing lima puluh ribu. Meski uang yang didapat lumayan banyak, tapi itu tidak akan berarti apa-apa jika dibandingkan kehidupan yang masih terus berlangsung, terutama bagi Joyo yang tengah menghidupi Slara kecilnya. Wajah Rustam pun terlihat lesu dan tak percaya akan penggusuran halus ini, meski sudah jelas terlihat bahwa cara yang dilakukan oleh pihak setempat adalah sah dimata hukum, dan cukup manusiawi, namun beberapa kali juga ia melakukan negosiasi dengan petugas dan pemimpin tempat wisata tersebut.

Namun, Rustam kembali harus menelan ludahnya sendiri. Dengan wajah kecut ia mengeluh kepada Joyo yang tengah memikirkan pekerjaan apalagi yang mungkin nanti akan digeluti.

"Pak Yo, kira-kira nanti pak Yo akan berganti profesi apa? Atau pindah tempat dagang kemana?" Ucap Rustam yang melangkah gontai mendekat.

"Entahlah Rus, mungkin aku akan kembali ikut kakak sepupuku membuat ukiran dengan tembaga lagi di Kalideres. Atau, aku ada kenalan orang yang kini menjadi Adirector dalam film. Mungkin aku bisa menanyakan celah pekerjaan kepadanya. Tapi sambil menunggu jawaban yang pasti, aku akan berdagang keliling dulu menawarkan sisa-sisa ukiranku yang belum terjual. Kalau kamu bagaimana, Rus?"

"Ah, tidak tahu pak Yo. Aku memikirkan bagaimana perasaan ayah mendengar ini semua. Mungkin ketimbang aku berkeliling menjual lukisan, karena ukurannya juga besar-besar, aku lebih baik membuka toko sendiri di depan rumah. Kalau tidak laku, mencari tempat lain secara ilegal. Tapi yang penting lukisan ini terjual habis dulu, seperti kata pak Yo."

"Kamu, masih ingat pesanku waktu itu, Rus?" tanya Joyo sambil menguncir rambutnya.

Rustam membakar rokok, dan menjawab, "Masih ingat pak Yo, mungkin di sinilah proses aku harus mulai berjuang atas diriku, demi keinginanku."

"Ya, Rus. Kau tak boleh patah semangat. Usiamu tujuh tahun di bawahku. Semangat mudamu seharusnya masih sangat menggebu." Setelah menepuk pundak Rustam mungkin untuk yang terakhir kalinya mereka berjumpa, Joyo pun berlalu meninggalkan Rustam yang masih asyik menghisap rokoknya. Joyo membawa ukiran-ukiran yang tersisa dengan tangannya, masih banyak yang belum terjual, jadi Joyo harus dua kali bolak-balik mengambil barang dagangannya. Sementara Rustam lebih memilih untuk menyewa jasa tukang angkat barang, meski membayar, baginya tak masalah daripada harus mondar-mandir melihat kios yang selama ini menjadi tempat pengabdiannya kepada orang tua yang tak lama lagi akan berganti menjadi pohon-pohon hijau. Ia tak sanggup melihat kenangan-kenangan yang telah dilaluinya, sepi dan bosannya menunggu pembeli, perasaannya yang sumringah kala pembeli datang, menghabiskan waktu menunggu dengan menciptakan lagu, berbincang bersama Joyo ketika bosan, sampai menyanyikan lagu-lagu Rhoma Irama setelah konsernya semalam, selalu membuatnya bergoyang seolah mendapat nafas baru bagi hidupnya yang mulai padam akan semangat juang. Di dalam hati Rustam, kini semuanya hanya tinggal kenangan, mungkin ia akan kembali lagi setelah ia berhasil menekuni pesan dari Joyo, atau setelah ia sudah berkeluarga, membawa anak-anaknya rekreasi ke Monumen Nasional untuk melihat sejarah Indonesia dan sejarah hidupnya. Entahlah berapa lama lagi, tapi Rustam menanamkan janjinya di lubuk hati terdalam agar segera mewujudkan impiannya lebih cepat, supaya kelak menikmati karya sebelum masa senjanya terbenam. Perasaan sedih dan bingung juga dirasakan oleh tukang angkat barang yang bernama Syamsuddin. Jelas baginya, karena tidak ada pedagang berarti tidak ada pembeli barang-barang seni disana, dan tidak ada konser musik ataupun pentas seni yang kerap diadakan tiap minggunya disana. Berarti tidak ada lagi orang yang membutuhkan jasa kekuatannya di Monas. Sedangkan ia tak memiliki keahlian menjadi pencopet atau menjadi preman yang memalak para pedagang. Meski bertubuh bugar dan kekar layaknya binaraga terkenal di Indonesia dengan wajahnya yang garang seperti harimau sedang mengintai mangsa, tapi ia tetap ciut nyalinya jika harus melakukan hal seperti itu.

Keberaniannya hanya akan timbul ketika ia menjaga amanah yang diberikan kepadanya, apalagi untuk menjaga kerukunan demi keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. Ia sempat berpikiran untuk menjadi satpam di tempat manapun, tentu saja jika tempat itu tidak menanyakan ijazah terakhir yang dimilikinya. Sebab hidupnya tak pernah menginjak bangku sekolahan. Di usia yang tergolong masih muda, masih berkepala dua, hidupnya kenyang akan lika-liku jalanan. Berbekal frustrasi akibat kedua orang tuanya yang sering bertengkar, membuatnya ingin selalu lantang meneriakkan perdamaian dan haus akan kerukunan.

Syamsuddin tumbuh sebagai anak yang membenci kekerasan, seringkali ia terlibat dalam perkelahian jalanan dengan para preman-preman ibukota yang menghadirkan kekerasan di depan matanya, tak sedikit luka bacokan celurit atau tebasan pedang bersarang di sekujur tubuhnya. Tapi Tuhan nampaknya masih mengulurkan tangan kasih kepadanya. Tak jarang ia menjadi buronan para preman, lagi-lagi itu karena perkelahiannya yang juga berhasil dimenangkan. Tentu hal itu juga membuat hidupnya menjadi tak tenang, ia berkelana mencari tempat-tempat aman untuk tidur supaya terbebas dari preman-preman yang kadang masih menyimpan dendam. Di beberapa wilayah, namanya cukup terkenal dan disegani. Tapi sebagai seorang jantan yang tidak berusaha mencari nama besar karena kekerasan, ia tidak memperdulikan itu. Terpenting baginya adalah bisa hidup dengan memberikan kenyamanan juga bagi orang-orang di sekitarnya. Ia percaya bahwa perubahan besar akan tercipta setelah usaha kecil yang dilakukan. Namun setelah para pedagang pergi, ia merasa hidupnya harus dimulai lagi dari awal. Sebab di Taman Ria itulah ia merasakan rumah. Ia dipercaya menjadi orang dalam di area Monas. Ia akrab dengan seluruh pedagang, pembeli, maupun pengunjung konser sampai bintang tamunya. Pada saat merasakan kerukunan itulah yang membuatnya melabelkan Taman Ria adalah rumah. Terlebih, ia juga kenal akrab dengan tetangga tetangga kamar Joyo dan Wati yang membuat hidupnya menjadi aman dari pencarian preman-preman penuh dendam kepada dirinya.

Kini kehidupan para penghuni Taman Ria harus kembali dari awal.