Hari-hari berlangsung, mereka telah melewati berbulan-bulan di Jakarta, Joyo dan Wati sudah sangat terbiasa menikmati menjadi orang tua resmi. Awal kedatangan mereka, tetangga-tetangga disana terkaget-kaget, anak siapakah gerangan yang digendong oleh Wati? Bukankah baru beberapa Minggu saja Joyo dan Wati pergi? Dan sebelum mereka pergi, sepertinya Wati tidak sedang mengandung bayi. Tapi semua pertanyaan itu terjawab ketika Wati mengatur cerita untuk berbohong, kebohongan yang juga telah disepakati oleh Joyo sehingga alasan mereka sinkron. Pertanyaan itu terjawab setelah Wati menceritakan bahwa sebenarnya waktu yang lalu dirinya sedang hamil, tapi memang perutnya tidak kelihatan besar. Karena ketika pulang kampung Wati merasa perutnya amat sakit, akhirnya bayi itu dilahirkan secara Cesar dan penuh dengan resiko, panjang lebar Wati bercerita demi membungkam pertanyaan para tetangganya yang kepo itu, dan akhirnya berbuah manis. Mereka semua meyakini bahwa ternyata memang betul itu adalah anak kandung mereka. Terlebih ketika Wati menunjukkan bekas jahitan di perutnya kepada ibu-ibu tetangganya, yang padahal bekas jahitan itu sudah lama, bukan akibat melahirkan melainkan karena kecelakaan di masa lalu.
Joyo dan Wati juga telah menetapkan nama untuk bayi tersebut, namanya Slara Nugraha. Tapi nama untuk panggilannya adalah Slara. Slara dimaksudkan oleh Joyo sebagai arti satu lara atau bisa dimaknai satu perasaan sedih yang sama, sedangkan Nugraha yang berarti anugerah. Jadi Joyo memberi arti bagi nama bayi tersebut adalah anugerah dari satu rasa kesedihan yang sama. Tak heran kalau nama itu juga punya pengaruh bagi sang bayi, hingga kini mereka tinggal di Jakarta, Slara tak pernah rewel memaksa meminta ASI dari Wati. Ia selalu menerima dan bahkan sangat menikmati susu formula yang diberikan ibunya. Karena kesulitan ekonomi yang berulang kali menghempas mereka, Joyo dan Wati hanya memikirkan bagaimana caranya agar Slara dapat makan, dapat asupan agar mampu tumbuh dengan sehat. Selayaknya perhatian khusus kepada kesehatan bayi, Joyo dan Wati juga tak pernah luput untuk memberikan imunisasi kepada Slara. Kesulitan ekonomi, rezeki yang lebih banyak surutnya ketimbang pasang tentu sangat terasa bagi keluarga mereka, bagi Joyo dan Wati mungkin sudah terbiasa, tapi bagi Slara adalah sebuah hal baru yang mau tidak mau harus menjadi biasa. Tapi Joyo tak habis akal menyiasati hal tersebut, meskipun juga rezeki belum tandang ke sakunya. Ia habiskan waktu buka kiosnya sampai tengah malam, sampai pukul sebelas malam, tepat ketika jam Monas juga tutup. Setiap kali ada rezeki, untungnya Wati pandai menabung, Wati tidak memikirkan dirinya, kekompakan antara ayah dan ibu yang rela mengorbankan perutnya demi sang bayi, kadang mereka merasa bahwa memang seperti inilah maksud dan tujuan mengapa anak tidak boleh durhaka kepada orang tuanya, ada cahaya yang selalu disimpan dalam perut yang terbenam. Tapi para tetangga kamarnya yang berada dalam satu kontrakan yang sama sering menawarkan makanan kepada Wati. Di dalam satu kontrakan tersebut terdapat lima kepala keluarga yang terbagi menjadi lima kamar. Bisa dibilang, tetangga-tetangga tersebut termasuk mengerikan, sebut saja kepala keluarga yang pertama bernama Bagong, ia merupakan seorang ketua preman di Sarinah mempunyai anak buah yang tersebar sebanyak tiga puluh orang. Setiap kali Bagong keluar rumah, ia selalu membawa payung meskipun cuaca sedang tidak mendung, bukan tanpa alasan payung itu selalu ia bawa-bawa, karena dibalik payung itu tersimpan samurai tajam yang selalu diasah setiap hari. Bukan hanya pemandangan itu yang selalu dilihat oleh Wati, bahkan setiap pagi hari ramai para anak buah Bagong datang keluar masuk menyerahkan setoran dompet sampai emas hasil curian. Padahal Bagong sendiri tidak memiliki postur tubuh kekar seperti para depkolektor atau pengawal pribadi yang garang dan menyeramkan. Sama sekali tidak. Tubuhnya kurus, tinggi badannya sekitar seratus tujuh puluh sentimeter, rambutnya lurus sebahu, matanya pun tidak terlalu lebar, bahkan lebih kecil dibandingkan mata Joyo yang sebesar jengkol. Kulitnya kuning Langsat, tidak sawo matang seperti Joyo. Bahkan kulitnya bisa dibilang lebih putih ketimbang Wati. Sosoknya amat bersahaja dengan para tetangga, murah senyum dan selalu bertanya kepada orang yang ia kenal, atau menegur tetangga yang ia kenal. Wati dan Joyo kadang tak habis pikir, dibalik keramahannya ada macan yang tersembunyi. Suatu kali pernah ada anak buahnya yang tertangkap polisi, Bagong selalu bertanggung jawab untuk itu. Beberapa kali anak buahnya ada yang tertangkap ketika melancarkan aksinya mencuri, tapi tak butuh waktu lama dirinya dapat keluar setelah Bagong membereskannya. Bagong tinggal bersama istrinya yang bernama Dasti. Dasti yang wajahnya juga terlihat seperti kelinci dengan alisnya yang tebal hampir menyatu, serta bibirnya yang tipis dan kecil menampilkan pesona tersendiri bagi kaum Adam ketika melihatnya, mempunyai kebiasaan yang nakal juga. Ia sering mengutil pakaian-pakaian di mall. Sehingga setiap kali ia berpakaian terlihat sangat modis dan tak kelihatan kalau ternyata tempat tinggalnya hanya di sebuah kontrakan kecil yang terbagi-bagi menjadi beberapa kamar. Setiap kali Wati ke pasar bertemu dengan Dasti, atau ketika mereka berbelanja ke pasar bersama, Dasti sering menyuruh untuk Wati tidak perlu membayar. Bukan tanpa alasan, karena nama suaminya yang sudah tenar jadi Dasti bisa bebas menyebut ia istri Bagong. Walaupun hanya berlaku untuk sekali pembelian dalam sehari. Tapi Wati tak pernah mengambil belanjaannya di pasar secara cuma-cuma, karena Wati selalu ingat bahwa bisa jadi makanan nanti yang masuk ke tubuhnya atau ke anaknya tidak mendapatkan berkah, yang lebih buruk justru jika membawa petaka. Dasti tak pernah marah jika Wati memilih untuk membayar, dari situlah Dasti merasa segan pada Wati. Setiap kali ia masak ayam, daging, ia selalu membagikan atau menawarkannya pada Wati. Wati selalu menerima itu karena menghargai pemberian orang lain, tapi ia belum memakannya sampai mendapat persetujuan dari sang suami. Karena Wati juga tidak ingin dirinya sendiri yang kenyang, sedangkan sang suami sedang bekerja demi kehidupan bersama. Beberapa kali memang Joyo dan Wati menerima makanan pemberian dari Dasti. Joyo dan Wati tidak berpikiran bahwa itu halal atau haram, sama sekali tidak. Tapi bagi mereka, jalan itulah yang bisa ditempuh untuk tetap hidup. Jika surut melanda, mereka berhari-hari hanya minum air mineral, itupun juga terbatas. Mereka hanya mengubah pemikiran halal atau haram menjadi sebuah rasa syukur. Rasa syukur karena ada tetangga yang memberikan rezekinya agar mereka tetap hidup, dan kehidupan tetap berlanjut. Terlepas dari halal atau haram, Joyo dan Wati sangat tahu betul dan percaya bahwa Tuhan maha mengetahui. Tuhan tau segalanya.
Keluarga yang kedua, kamar yang kedua, di kepalai oleh Bisri. Seorang pedagang es teh di depan mall Sarinah. Bisri ini termasuk kakaknya Bagong, di bagian atas gerobaknya juga terselip sebuah samurai panjang, karena ia tau betul dirinya adalah pedagang, dan banyak sekali preman asing di luar kendali adiknya itu yang resek memalak ataupun merampok para pedagang. Berbeda dengan adiknya yang kurus tinggi, Bisri justru lebih gemuk, badannya terlihat berisi dengan tinggi yang sama dengan Bagong. Ia memiliki istri bernama Mona. Orang Tionghoa yang mencintainya setelah ia menyelamatkan Mona ketika di jambret oleh anak buah adiknya. Bukan tanpa alasan Bisri menolong, bukan juga karena alasan wanita Tionghoa itu cantik, melainkan karena anak buah Bagong telah melewati wilayah khusus pembagiannya. Meskipun Bisri tak ikut dengan komplotan Bagong, tapi Bisri tau betul wilayah-wilayah anak buah adiknya itu tersebar, dan tau betul akan wajah-wajah anak buahnya, meskipun anak-anak buah Bagong tak banyak yang tau tentang Bisri. Seperti ciri fisik wanita khas Tionghoa pada umumnya, Mona memiliki kulit putih kekuningan, matanya sangat sipit dan bibir kecil merah yang segar seperti apel. Sebelum hingga sesudah mereka menikah, Mona masih tetap bekerja sebagai pegawai bank. Mona mungkin termasuk salah satu diantara banyaknya wanita Tionghoa yang mau diajak untuk hidup susah dan menerima apa adanya. Mungkin sama seperti Wati, itulah yang namanya cinta sejati. Cinta itu buta, yang buta akan harta, dan takhta. Cinta itu tuli, yang tuli pada cibir ucapan dari mulut-mulut pengganggu. Alasan pertama Mona ketika ditanya oleh Bagong mengapa mau menikah dengan Bisri yang miskin adalah karena dirinya mengawali hidup merantau ke Jakarta juga dengan susah payah, ia merantau dari Semarang ke Jakarta setelah lulus sarjana filsafat di Yogya. Mona melihat Bisri seperti melihat masa lalunya, ketika sampai di Jakarta ia tak serta Merta langsung menjadi pegawai atau dapat pekerjaan. Ia membawa modal uang yang hanya cukup untuk membayar satu bulan kontrakan, karena tidak ada uang yang dipegangnya lagi, mau tidak mau dirinya harus menjadi apapun agar mendapat uang untuk makan asalkan halal. Mona pernah menjadi seorang pedagang es, persis seperti Bisri. Pernah berkali-kali menjadi penjaga toko sampai butik, sebelum akhirnya ia menjadi pegawai di bank dengan gaji yang sudah berkali-kali lipat lebih tinggi dari harga kontrakan. Mona tidak memandang cinta dengan cara rumit yang banyak pertimbangan ini dan itu, ia hanya melihat bahwa Bisri mampu melindungi dirinya ketika ia lihat sendiri betapa gagahnya Bisri menolongnya, apalagi wajah Bisri yang menurutnya juga lumayan. Dan baginya, yang membuat jatuh cinta adalah ketika seorang lelaki mampu membuat dirinya menjadi diri sendiri, mengingatkan dirinya pada perjuangannya selama ini, meski tanpa kata-kata. Alhasil, sampai pernikahan mereka yang ke sepuluh ini Bisri dan Mona sama sekali tak pernah bertengkar, semakin mengertilah Mona bahwa kebahagiaan bisa muncul dari mana saja, bahkan dari jalanan. Meski bisa dibilang kehidupan mereka berkecukupan, tapi Mona tak pernah menuntut Bisri untuk mencari kontrakan yang lebih besar atau untuk pindah ke kontrakan rumah satu yang hanya dimiliki mereka berdua, padahal pun mereka bisa. Bagi Mona, menerima keadaan tempat tinggalnya saat ini saja bisa membuatnya senang, ia tak keberatan meski harus hidup di dalam sebuah kamar bertahun-tahun, dalam satu rumah yang terbagi lima kepala keluarga. Baginya kehidupan seperti itu sudah cukup untuk mengenal arti kerukunan bertetangga. Sementara dua kepala keluarga yang lain berprofesi sebagai tukang ojek, yang satu belum memiliki istri, dan yang satu lagi sudah memiliki anak dua. Meski hidup berdampingan dalam satu atap, tak pernah ada kecurigaan diantara mereka, mereka hidup teratur. Terutama Joyo dan Wati, pesan yang selalu mereka bawa dari semasa hidup ikut orang tua selalu mereka pegang teguh yaitu menghormati orang lain dengan sopan. Karena hal tersebut membuat mereka termasuk orang yang disegani. Hidup berdampingan dengan orang-orang yang berbeda suku, serta berbeda kepercayaan agama tak membuat mereka saling singgung, tak pernah terjadi masalah dalam kehidupan mereka. Walau dengan kebiasaan yang berbeda, tidak membuat Joyo dan Wati melipat ajaran adat daerahnya. Mereka saling tolong menolong, saling bantu tanpa bertanya darimana asal dan agamanya.