Chereads / Joyowati / Chapter 5 - Pertemuan

Chapter 5 - Pertemuan

Di rumah bergaya Joglo dengan halaman tanah yang luas itu Joyo datang dari desa Sosoran. Ia langkahkan kakinya memasuki rumah dengan bahan baku kayu sengon, pohon-pohon yang biasa ditanam oleh warga Temanggung di kebonan, tentu saja dengan masih beralaskan tanah. Belum ada lampu saat itu, seluruh penduduk masih menggunakan pelita atau bahasa Jawanya Sentir, sebagai pencahayaan kala senja telah tenggelam ke balik cakrawala. Belum ada bel yang menghiasi pintu-pintu rumah mereka. Adat tata krama masih terbalut dalam kebudayaan masyarakat sederhana dalam berkunjung yaitu dengan mengetuk pintu rumahnya. Ia melihat ayahnya sedang duduk sambil melinting tembakau yang menjadi tanduran khas Temanggung yang sangat terkenal itu. Ia melewati ayahnya setelah salim dan membungkuk sedikit berjalan di depannya, memasuki bagian belakang rumahnya, bagian dapur, menemui ibunda tercinta. Saat sore hari ibu selalu berada di dapur, entah untuk membuat menu baru makan malam mereka atau menghangatkan lauk yang sudah dibuat tadi pagi. Tentu saja belum ada kompor, masak memasak dilakukan menggunakan tungku dengan bahan bakarnya adalah kayu kayu kering. Memang lebih lama jika dibanding dengan masyarakat modern yang sudah menggunakan kompor. Tapi, itu tidak berlaku bagi orang-orang desa yang sudah handal membuat api dan menjaganya agar tetap menyala sampai masakannya selesai. Sang ibunda terlihat sedang membuat tempe goreng, dengan rambut putih terkuncir memenuhi kepalanya dan pakaian kebaya dibalut selendang jarit sebagai bawahannya. Joyo tak langsung membicarakan maksud tujuannya, ia membantu ibunda menyelesaikan pekerjaan dapur dulu. Kemudian setelah pekerjaan selesai, Joyo mengatur waktu untuk makan bersama-sama lebih cepat sebelum malam tiba.

"Ada apa to, nak? Tumben kamu terburu untuk makan bersama di waktu yang belum biasanya. Kata ibu Joyo sembari menyiapkan sawi hijau yang di kukus untuk disantap dengan sambal.

Sementara Joyo sibuk mengambil nasi, "Tidak apa Bu, ayo kita makan dulu, aku sudah lapar."

Ayah Joyo hanya diam saja sambil makan, karena bagi ayah Joyo ketika di hadapan makanan, dan saat makan tidak boleh berbicara. Kemudian mereka bersama menyantap makanan yang telah disajikan sang Ibunda.

*

Joyo keluar ke halaman rumahnya, rumah yang letaknya lebih tinggi daripada rumah-rumah lain itu menampilkan pemandangan kesejajaran genting-genting berbaris di muka jalan. Selain itu, pada saat sore hari sebelum tiba malam, senja akan terlihat sangat elok membiaskan cahayanya seolah sedang menyoroti gunung dengan jelas. Gunung itu adalah gunung Sumbing, karena Temanggung masih termasuk wilayah kaki gunung Sumbing, jadi gunung itu dapat terlihat kapan saja saat langit cerah. Joyo sangat senang sekali melihat pemandangan itu dari teras rumahnya. Sambil duduk santai di kursi rotan dan melinting tembakau untuk merokok satu batang menunggu adzan Maghrib tiba. Rencananya, ia akan membicarakan secepatnya, tapi waktu masih belum tepat bila harus dikatakan sekarang, karena Joyo menerka sendiri untuk membicarakan hal ini tak cukup bila hanya hitungan menit. Sementara ibu sedang mandi di sumur. Jika istilah orang Jawa di daerah Temanggung berarti kamar mandi. Joyo lepas memandangi langit yang jingga berseri

.

"Le." Sapa ayah dari belakang tempat Joyo duduk, "Gimana keadaanmu di Jakarta? Baik-baik saja? Sudah lama kau tak menengok tanahmu ini. Meski aku dan ibumu selalu berdoa untuk masa depanmu, kami juga tak bisa menyembunyikan tanya dan khawatir. Meski kau juga sudah terdidik untuk berkelana dari usia belasan tahun, tetap saja dimata kami kau adalah seorang bayi yang baru kemarin dilahirkan ibumu."

"Oh, ayah, kemari yah, kita duduk bersama. Duduk di sebelahku." Joyo menggeser posisi duduknya, mempersilahkan sang ayah menempati

.

Sang ayah pun duduk, mereka bersebelahan.

Joyo melanjutkan pembicaraan, "Keadaanku baik-baik saja yah. Di Jakarta memang sudah padat penduduknya, saat ini. Entah tahun-tahun berikutnya. Aku disana bekerja membuat kaligrafi dengan tembaga. Aku memiliki kios. Tapi tetap ada pasang surutnya yah. Semua bisa aku hadapi, alhamdulillahnya juga Wati tak banyak mengeluh."

Joyo menghisap rokoknya dalam-dalam, di hatinya ingin sekali dia mengadu beratnya kehidupan yang terus berputar yang menjadikannya kadang merasa di gilas waktu yang kejam dan tanpa ampun. Tapi ia menahannya, karena bagaimanapun juga ia sadar bahwa itu akan membuat ayahnya bersedih. Ia hanya ingin membuat ayahnya tersenyum karena anaknya telah bekerja, mencari uang sendiri, memiliki keluarga, apalagi di Jakarta, ibukota yang menjadi pusat perantauan orang-orang desa. Ia hanya ingin melihat ayahnya tersenyum, bahwa anaknya itu mampu bertahan di ibu kota bertahun-tahun, membuat ayahnya berpikir bahwa anaknya mampu diterima oleh ibu kota.

"Kalau begitu nak, jangan pernah melupakan kewajiban agamamu, jangan pernah lupakan nasihat orang tuamu ini agar kau selalu menjadi orang yang memegang teguh sopan santun dan perdamaian, kau juga jangan melupakan pengalamanmu sampai sejauh ini, agar bisa belajar menjadi lebih baik lagi dengan sendirinya oleh dirimu sendiri." Sang ayah kemudian melinting tembakau, setelah rokok dibakarnya ia melanjutkan, "Nak, akan ada masanya orang-orang yang berusaha maksimal mendapatkan hasilnya yang tak sedikit. Akan ada masanya orang yang berdiri di kakinya sendiri menjadi orang besar. Kesulitan awal dihadapi hanya untuk membentuk kekuatan kaki agar mudah melangkah selanjutnya. Semuanya pengalaman akan berubah menjadi guru paling bijak untuk dirimu."

Bergetar rasanya hati Joyo, entah mengapa rongga dadanya menyempit membuat terasa sesak, kemudian air mendesak untuk dikeluarkan mata. Tapi ia menahannya, mentransformasikan perasaan itu menjadi sebuah semangat baru. Joyo percaya bahwa setiap ucapan orang tua harus ditransformasikan menjadi penyemangat hidup dan menancapkannya di pikiran agar terus hidup menjadi hubungan batin yang baik antara anak dan orang tua agar terus terhubung.

Langit menjadi semakin gelap, senja semakin pudar ke balik cakrawala, jingga semakin pekat dan bulan sudah bersiap menggantikan posisinya. Suara adzan terdengar dimana-mana, karena banyak masjid maupun musholla di tempa asalnya. Lampu-lampu rumah sudah berderet menyala, ibu menutup hordeng rumah, saatnya mereka berdua masuk menyiapkan diri untuk sembahyang.

**

Malam mengisi hari ini, Joyo yang sebelumnya memikirkan waktu hanya sebentar berkunjung dan menemukan jawaban dari kedua orang tuanya ternyata tak kuasa menahan rindu yang lama terpendam setelah bertahun-tahun mengadu nasib di perantauan. Selepas isya akhirnya waktu mereka bersantai bersama, berkumpul dengan keluarga. Sang ayah santai membaca buku-buku agama, sang ibu sibuk membaca terjemahan kitab suci. Itu pemandangan yang biasa dilihat Joyo tak jadi masalah, ia bisa mengambil celah kapan saja untuk membuka pembicaraan.

"Yah, Bu." Aku ingin bertanya, dan meminta restu kalian.

Ayah dan ibu serentak menutup kegiatannya. Untuk fokus mendengar Joyo.

"Ada apa, le?" jawab ibu yang tak bisa menahan penasaran.

"Begini, Bu. Aku kemarin ikut membantu korban gempa di Yogya. Saat aku bersama Mitra mengangkut barang-barang yang masih bisa dipakai untuk umum, kami menemukan bayi yang ditinggal orang tuanya di bawah kasur besi milik Puskesmas di ruang periksa pasien. Kemudian bayi itu kami serahkan kepada tim medis. Setelah beberapa hari, orang tua bayi itupun ditemukan, tapi sayangnya sudah tidak bernyawa. Para tim dan petugas lainnya telah mencari sanak saudaranya yang lain, beberapa diantaranya yang diketemukan meninggal dunia, tapi yang lain tidak ditemukan. Lalu, kami para relawan dan seluruh pengungsi mengadakan musyawarah, dan hasilnya adalah aku dipercaya untuk merawat bayi itu, dengan kata lain aku dipercaya untuk menjadi orang tuanya. Bagaimana menurut kalian?" Mata Joyo memandang serius ibu dan ayahnya.

"Balik lagi ke kamu, kamu sudah siap yakin atau tidak le? Karena mau darimanapun datangnya, anak tetap titipan Tuhan. Dan yang ditunjuk sebagai orang tua, tetap harus memiliki tanggung jawab yang besar, walaupun bukan anak kamu dengan Wati tapi kewajiban tanggung jawab tetap harus sama, terlebih ketika kalian memiliki anak kandung nanti. Kalian, terutama kamu, harus bersikap adil dan bijak. Jika tidak, kalian berdosa besar." Jawab ibu yang langsung merespons cerita Joyo.

"Aku siap, Bu. Aku tau resikonya. Aku tau tugasku sebagai orang tua."

Kemudian ayah menyambungnya, "Kalau kau siap, karena kau juga dipilih oleh orang-orang, itu berarti kau punya tanggung jawab dua kali lipat. Kamu diberi amanah oleh Tuhan dan para ciptaannya. Lalu jika kamu mengiyakan, bagaimana kedepannya?"

"Iya ayah aku tau. Aku sudah memikirkan itu semua. Aku sudah menanyakan kepada Wati. Wati hanya bilang, kalau kau siap, aku juga tentu akan siap. Kita berjuang bersama. Lalu jika aku iyakan, tentu aku dan Wati akan melewati berbagai proses sampai bayi tersebut sah ditangan kami, sebelumnya juga untuk satu bulan kami masih harus bolak-balik ke Yogya, memberitahu perkembangan bayi dan sekaligus membawa bayinya kesana untuk dilihat kedekatan kami, yah, Bu."

"Ibu, percaya kamu bisa."

"Ayah juga percaya kamu bisa." Sambung ayah.

"Jadi, apa kalian menyetujuinya, ayah, ibu?"

"Tentu nak, lakukan yang terbaik ya." Jawab ibu, disusul oleh senyum mereka.

Joyo merasa bahagia, di pikirannya ia perlu meminjam sepeda motor pak kades lagi untuk ke Yogya. Kali ini, ia akan membawa Wati. Ia membayangkan bahwa nanti sang anak akan kesana kemari melihat kakek dan neneknya. Ia akan banyak berkeliling menggunakan sepeda motor di pangkuan Wati sekaligus dalam kemudi Joyo. Joyo tidak memikirkan bagaimana nanti kehidupan mereka di Jakarta. Sebab, ia tak pernah mengkhawatirkan hari esok. Bagi Joyo, selagi masih hidup, kehidupan dapat berubah karena diubah. Ia merasa dirinya masih cukup belia untuk mengerahkan segala tenaga dan pikirannya agar dapat menjaga sebaik-baiknya titipan Tuhan tersebut, sekaligus tanggung jawab menjadi seorang suami dan ayah.

Udara yang semakin dingin terasa, angin bercampur kabut masuk dari sela-sela ventilasi rumah, dan waktu terus berlanjut makin larut. Setelah menyalakan pelita, mereka tidur dalam waktu yang sama. Di kamarnya masing-masing, kecuali ayah dan ibu yang sekamar.

**

Pagi membelai, Joyo membuka matanya tepat pukul enam. Beres-beres tempat tidur, mencuci muka, dan gosok gigi. Joyo ke teras rumah, menyaksikan pagi hari pedesaan tanah asalnya, melihat kabut tipis yang menyelimuti kota serta para penduduk. Embun masih basah di dedaunan terlihat sangat segar menampilkan daun-daun sehat, serta rumput-rumput hijau menyala seperti tanaman-tanaman yang baru saja selesai disiram oleh pemiliknya di kota Jakarta. Tapi pemandangan kali ini, tanaman-tanaman tumbuh subur karena disiram langsung oleh Tuhan yang melalui perantara alam ciptaannya untuk proses kehidupan, termasuk manusia. Hari ini, Joyo sudah merencanakan kembali ke rumah mertuanya, ia ingin pergi lebih pagi agar bisa terlebih dahulu menikmati jalan-jalan yang akan mereka susuri. Joyo sudah menyiapkan motor trail milik pak kades yang di teleponnya semalam sebelum tidur, juga menelepon sahabat lamanya, Mitra. Ketika sampai di Yogyakarta, Joyo membayangkan bahwa nanti mereka akan ke Malioboro, tempat yang sangat terkenal itu, bukan hanya dari para penduduk pribumi saja, tapi turis-turis mancanegara pun menilai Malioboro sebagai salah satu ikon dan tempat wajib dikunjungi bila ke Yogyakarta. Joyo juga sempat berpikiran untuk mengajak Wati ke beberapa pantai, buka untuk menikmati keindahan alamnya, tapi untuk menapaki jejak-jejak dirinya yang pernah menjadi relawan sebelumnya. Banyak tempat-tempat yang ingin ia ceritakan kepada Wati atas pengalamannya dahulu sebelum mereka bertemu. Tapi bagi Joyo, hari ini cukup beberapa tempat saja yang nanti dilewati. Ia ingin mencicil waktu sedikit demi sedikit, bila ada rezeki esok hari justru ia memanjatkan doa supaya dapat mengajak anaknya kelak kesana kemari keluar dari lingkaran kota Jakarta.

Joyo menatap indah gunung yang menjulang dari terasnya, aduhai Sumbing terlihat indah dan cantik sekali, warna birunya mulus melebihi kulit kulit artis ibu kota. Dahulu, saat masih sekolah menengah atas, ia dan beberapa temannya sering kesana, mendaki sampai ke puncaknya, puncak sejati. Ingatan itu masih lekat dalam benak Joyo, bersama beberapa teman yang kini entah kemana tak pernah ada kabar dan tak saling jumpa. Ia menjadi yang paling lincah saat itu, dan paling banyak akal. Tapi walau begitu Tuhan maha adil, ia termasuk orang yang tidak kuat dingin padahal asli anak kaki gunung. Tapi lagi lagi Tuhan maha adil, ketika Joyo memijakkan kakinya di ibu kota yang panas dan gersang, ia tak banyak mengeluh tentang gerahnya Jakarta. Apalagi kala itu ia pertama kalinya ke Jakarta, semasa sekolahnya tak pernah kesana, tak ada perpisahan ke ibukota. Perpisahan hanya dilakukan di sekolah saja, dengan panggung gembira, panggung biasa yang dibuat oleh pihak sekolah dengan tambahan kata gembira dari perasaan senang kelulusan siswa-siswi

.

Matahari mulai naik lebih tinggi hingga mulai terasa panas kali ini, Joyo bersiap mandi. Setelah tubuhnya meresap air, ia lihat beberapa makanan sudah terhidang, ibu sedang asyik menunjukkan bakatnya memasak di dapur, dan ayah juga sedang menampilkan kehebatan dirinya mengulek sambal. Aduhai romantisnya cinta kalian, gumam Joyo. Cinta yang dibangun bersama, menua, hingga lanjut usia adalah bukti romantisme nyata yang dimiliki pria.

Terkadang, pria tak perlu banyak membuktikan bahwa dirinya romantis. Bukan dengan merayu, ataupun membekali wanitanya dengan kata-kata indah serta hadiah, itu hanya membuat perasaan wanita berbunga yang entah sampai jangka waktu berapa lama. Tapi keromantisan sesungguhnya adalah sebuah komitmen bersama dengan segala konsekuensi dan resikonya yang telah dicapai berdua.

Wanita memang menyukai kata-kata indah, ingin dirinya menjadi puisi paling istimewa bagi kehidupan cinta, tapi wanita sebenarnya lebih menginginkan menjadi satu-satunya yang dimiliki pria di dalam hati dan pikirannya pada sebuah asmara. Joyo mengingat, dahulu ibu pernah bilang kepadanya sebelum ia melamar dan menikahi Wati, "Tidak ada wanita yang ingin di madu, nak. Tidak ada bedanya saat ini dipoligami dengan dimadu. Saat ini orang-orang banyak yang jika bagi ibu salah mengartikan poligami, poligami mereka mengatasnamakan bahwa itu tidak masalah dalam agama, atau menyangkut pautkannya dengan kisah nabi. Nabi sendiri berpoligami dengan janda-janda tua, beliau membagi atau menyamaratakan rezeki yang dimilikinya. Padahal poligami saat ini sangat berbeda, itu sangat tidak bisa diterapkan dalam kehidupan saat ini, apalagi kehidupan mendatang. Poligami, jika tidak didasarkan atas rasa cinta sang pria kepada wanita, contohnya seperti pria yang berpoligami dengan janda tua yang sudah lanjut usia, tentu itu tidak masalah bagi wanita pasangannya. Tapi saat ini, banyak mereka yang berpoligami dengan didasarkan cinta atau lebih buruknya jika memikirkan ingin memiliki keturunan. Itu artinya, poligami berlandaskan nafsu belaka. Dunia pria sudah semakin gila jika mengatasnamakannya dengan agama. Orang-orang itu yang sepertinya tidak pernah belajar bagaimana cara menjaga perasaan orang lain. Dan bagi ibu sangat jauh melenceng dari ajaran agama itu sendiri, nak. Kau jangan menjadi orang-orang gila selanjutnya seperti mereka." Pesan yang sampai saat ini masih di pegang teguh dalam diri Joyo. Puncak perasaan bahagia bagi sepasang suami istri adalah ketika bisa menikmati masa tua dan senja-senja yang telah dilalui bersama.

**

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi, saatnya bagi Joyo kembali kepada Wati untuk urusan keluarga yang dipimpinnya. Dengan mengenakan celana jeans biru dongker dan kaos hitam polos lengan pendek terbalut jaket Levis biru muda yang sudah mulai robek-robek itupun Joyo memadukan pakaiannya. Tak lupa juga tas selempang coklat tua terpasang di pundaknya. Setelah mengikat tali sepatu, menguncir rambut gondrong sepunggung, dan salim kepada kedua orang tuanya, ia melangkah pergi. Jarak cukup jauh dari rumahnya ke tempat pemberhentian bus yang akan menjadi tempatnya menaiki bis menuju Wati. Sekitar dua kilometer, jarak yang cukup membosankan dan melelahkan bila di tempuh oleh orang-orang kota. Tapi untungnya kaki Joyo sudah terlatih berjalan jauh, kaki kuda yang sudah terasah semasa muda. Waktu tempuh pun menjadi cepat, hanya tiga puluh menit, dan ketika ia sudah menaiki bus, ia duduk di belakang pak sopir, bersandar pada kaca bis sebelah kanan. Memerhatikan jalanan, sambil melihat-lihat lalu lalang warga. Memang sebenarnya Joyo dan Wati tak jauh beda dalam urusan menikmati perjalanan. Hanya sedikit saja bedanya, Joyo menyayangkan dirinya apabila matanya terkatup beberapa waktu. Ia menjaga dirinya dari tidur di kendaraan, tentu karena alasan bahwa ia menyukai kesibukan orang-orang, dan masih selalu bertanya-tanya, ketika orang lain yang menaiki kendaraan, sedangkan dirinya berada di luar di tengah kesibukan yang dilihat orang lain, apakah ia ada dalam pandangan orang itu? Apa orang lain juga merasakan senang dan kagum kala melihat dirinya larut dalam kesibukan di jalanan?

Pukul sebelas ia sampai rumah Wati, sebelumnya ia menemui pak kades untuk lagi-lagi meminjam sepeda motornya. Dan pak kades lagi-lagi tak keberatan, cukup memakan waktu bagi Joyo bicara dengan pak kades, orang yang juga memiliki hobi mengobrol, apalagi ada hal yang ia ceritakan padanya. Pak kades hangat mengucapkan selamat sebelum menutup pertemuan, dan memberikan kunci motornya. Tak membutuhkan waktu lama ketika ia bertemu dengan Wati dan seluruh keluarga, Joyo mengajak istrinya yang sudah bersiap pergi.

"Sudah lama kita tidak menikmati masa seperti ini ya, mas?" kata Wati mengenang masa-masa awal pernikahan mereka.

"Iya. Tapi beda lho Wat, dulu kita naik ontel. Hanya sekadar berjalan-jalan ke pasar, membeli sayur-mayur, buah-buahan, atau keperluan lainnya." Jawab Joyo.

"Iya ya mas, ini pertama kalinya kita naik sepeda motor. Apakah mungkin di lain waktu kita bisa seperti ini ya, mas?"

"Doakan saja, Tuhan menunjukkan jalan terbaik untuk kita sebelum tutup usia ya, wat."

"Amin, mas. Tapi omong-omong bayi yang mas temukan itu berjenis kelamin laki-laki atau perempuan?"

"Perempuan, Wat. Semoga tidak cerewet seperti kamu." Joyo tertawa, membuat Wati menepuk pundaknya, Joyo mengencangkan laju kendaraan karena sudah memasuki jalan raya.

Tak lama, percakapan mereka kembali terjadi. "Mas, wanita bukannya memang sudah ditakdirkan untuk cerewet ya?"

"Loh, kamu bangga to Wat?" kata Joyo yang merasa heran.

"Iya, dong. Dari wanita yang cerewet, lahirlah orang-orang yang cakap."

"Wah iya juga ya, aku ndak kepikiran loh. Diplomat-diplomat hebat pasti karena wanita yang cerewet sebelumnya." Joyo kembali tertawa.

"Kok tertawa sih?" Wati mencubit punggung Joyo, membuat kesatrianya menjadi tegap.

"Aku bukan bermaksud meledek to, Wat. Tapi diplomat, politikus, dan bermacam-macam tokoh yang cakap, yang tulisannya suka dibuat motivasi, itupun juga pasti karena wanita yang hebat dibelakangnya."

"Bukan di belakangnya, mas. Tapi diatasnya."

"Karena orang tua ya?"

"Betul mas."

"Tapi Wat, setelah kita memiliki keturunan yang menjadi tanggung jawab kita, kita harus bisa menyiasatinya dari sekarang. Kita harus punya strategi yang baik agar anak kita mampu menjadi orang yang berguna, bagi Nusa bangsa maupun agama, yang lebih penting untuk orang tuanya."

"Iya betul mas, pendidikan pertamanya adalah kita, bahasa pertamanya adalah bahasaku."

"Maksudmu, bahasa ibu? Pokoknya, kita tidak boleh membiarkan anak kita nanti jadi kemaki, lupa tanah kampungnya, lupa tanah airnya."

"Aku berharap ia mempunyai semangat juang yang tinggi sepertimu, mas."

"Dan aku berharap ia berhati lapang selalu nrimo sepertimu, Wat."

"Amin, mas. Selebihnya nanti kita bangun bersama sambil menyelam minum air. Kita harus selalu menyempatkan waktu agar bisa saling berkomunikasi. Anak, mau dari manapun berasal tetap saja titipan Tuhan."

"Betul, Wat. Meskipun bukan anak kandung kita, tapi entah mengapa aku sangat-sangat bersemangat. Tak sabar menjadi seorang ayah, walau aku tau ekonomi kita seperti ini, aku yakin aku mampu melewati batas kemampuanku."

"Iya mas, aku juga sangat bersemangat. Aku ingin melakukan semua yang terbaik untuknya."

Joyo mempercepat laju motornya, menembus jalan-jalan kota Magelang sampai Yogya, dan tiba di tempat bayi yang ditemukannya itu di rawat. Joyo dan Wati kaget karena disitu telah berkumpul banyak orang, termasuk Mitra dan istrinya. Joyo menerka nampaknya, peresmian, dan syukuran akan langsung dilakukan. Tapi Wati terlihat langsung menemui Rina yang sedang menggendong bayi itu, mereka saling bercakap-cakap dengan akrab. Dalam kondisi Yogya yang mulai membaik, dan alam yang kiranya sudah mulai bersahabat, mereka berkumpul bersama di balai pertemuan, Joyo dan Wati pun menyepakati persetujuan dan serah terima sebagai orang tua asuh sang bayi, disaksikan beberapa keluarga dari bayi tersebut yang masih selamat, beberapa pihak juga yang bersangkutan dalam hal pengangkatan anak. Karena memang sebenarnya itu bukan keinginan Joyo untuk mengangkat bayi tersebut, melainkan karena kepercayaan dari orang-orang disana dan para keluarga bayi itu yang telah membujuk Joyo, maka Joyo dan Wati tidak melalui proses yang rumit. Yang terpenting bagi mereka adalah benar-benar siap, dan mengetahui bagaimana kabar bayi tersebut di tangan Joyo dan Wati.

Sementara waktu yang terus berputar, akhirnya dalam keadaan larut, hari ketetapan pun telah usai. Mereka bersama-sama melakukan tradisi syukuran, dengan sambutan hangat dari para pejabat di Yogyakarta, karena berita penemuan bayi itu rupanya telah tersebar dari beberapa media massa.