Wati masih setia menunggu suaminya pulang ke palung pelukan. Sudah dua pekan Joyo pergi. Meski sudah biasa ditinggal suaminya, perasaan Wati tak pernah melewatkan kata khawatir. Alhasil, doa-doa tulus dari dalam lubuk hati mengalir deras kepada suaminya. Wati tak menaruh curiga, sama sekali ia tak pernah mengkhawatirkan pengkhianatan yang dilakukan Joyo, tapi khawatirnya itu selalu saja bertumpu pada kesehatan suami tercinta. Setiap kali dirinya hendak makan, sampai selesai makan, gelisah bertanya-tanya apakah kau sudah makan, suamiku? Bahkan hingga membuat hatinya menciptakan sebuah halusinasi yang berbicara kepada suaminya, bukan hanya ketika makan, tapi juga hendak tidur. Pekerjaan Wati di rumahnya bersama orang tua akan kembali seperti seluruh anak perempuan yang berada di dalam rumah, yaitu membantu orang tua. Membereskan rumah, mencuci pakaian, sampai memasak. Sebisa mungkin dedikasi penuhnya sebagai anak untuk membantu orang tua.
Sementara Joyo di Yogyakarta, tinggal di Gunung Kidul bersama dengan relawan-relawan lain. Tapi mereka memakai tenda sendiri, sehingga satu tenda hanya dipakai dua orang. Mereka juga ikut membantu pekerja lain yaitu membangun fasilitas kamar mandi, dan ikut membuat saluran air sampai air dapat terpancar dari keran-keran yang ada di setiap kamar mandi dan WC umum. Tak lupa Joyo selalu berkomunikasi dengan pak Kades di Temanggung untuk selalu mengabarkan bahwa motornya belum bisa dipulangkan. Karena masih ada yang harus dilakukan. Karena pak Kades adalah sosok pemimpin yang sebenarnya, tentu saja itu tidak di permasalahkan. Tidak ada kendaraan bermotor baginya tak menyurutkan untuk terus mengabdi kepada masyarakat. Tak menjadi alasan baginya untuk menutup kantor desa dan tempat bertemu warganya mengeluh. Sudah sepuluh tahun ia memimpin, dan keadaan desa sampai warganya tetap baik-baik saja, tidak ada masalah sama sekali. Desa masih terjaga asri, masih menjadi tanah surga, seperti lagu dari grup musik legendaris kita, Koes plus. Sawah-sawah pun masih menghasilkan padi, jagung, dan tanaman lainnya. Bukan menghasilkan tempat rekreasi, gedung, atau perumahan elite ala Eropa.
*
Waktu terus berjalan, tak terasa bagi Joyo dan Mitra sudah tiga pekan mereka menjadi relawan. Proses pencarian dan pengumpulan data untuk korban-korban bencana sampai rumah-rumah yang hancur sudah dilakukan sejak sepekan yang lalu. Orang tua bayi yang mereka temukan juga sudah terjawab. Orang tua bayi tersebut bernama Roni dan Rani, mereka bekerja sebagai petani dan juga buruh tandur. Diketahui saat itu mereka dan bayinya sedang pergi ke Puskesmas untuk memberikan imunisasi kepada bayi mereka. Ketika sang ibu masuk ruang dokter dan bayi itu hendak disuntik imunisasi, gempa besar tiba-tiba mengguncang seluruh Yogya terutama daerah mereka yang terparah. Alhasil para pasien yang mengantre sudah mulai berhamburan keluar menyelamatkan diri. Tapi karena melihat istri dan anaknya belum selesai, Roni masih bertahan menunggu sampai gempa berada pada puncak kedahsyatannya. Roni tewas akibat tertimpa atap puskesmas yang roboh, padahal saat itu istri dan anaknya sudah selesai disuntik imunisasi. Ketika hendak keluar, dan gempa sudah sangat kacau, Rani melihat pak dokter yang juga tewas tertimpa reruntuhan. Demi keselamatan nyawa bayinya itulah akhirnya terpikir oleh Rani untuk menaruh sang bayi di kolong tempat tidur rumah sakit, karena ia sudah merasakan bahwa dirinya tak akan bisa selamat dan lari dari gempa yang mengepungnya saat ini, apalagi dirinya sudah banyak menghindari reruntuhan yang jatuh hampir menimpanya. Bayi tersebut pun di taruh di kolong kasur rumah sakit yang berkerangka besi, menutup sebagian wajahnya dengan jarit agar tidak terhirup debu-debu yang jatuh. Setelah selesai menaruh bayinya, Rani berlari keluar untuk menyelamatkan diri. Saat keluar dari ruangan, ia tak kuasa menahan tangis ketakutannya bukan hanya karena gempa yang kacau tapi juga orang-orang yang sudah banyak tergeletak terkena reruntuhan. Sampai pada akhirnya ia melewati tempat tunggu sebelumnya bersama Roni, ia pun melihat suaminya itu telah terkapar bersimbah darah dan pecahan genteng disekitar tubuhnya terkulai. Ketika melihat suaminya itulah kejadian paling sedih yang menyayat hati dan tak kuasa membendung air matanya, sambil terakhir kali ia mendoakan sang bayi semoga selamat, ia rebahkan tubuhnya memeluk suaminya, ia pasrahkan nyawa bersama dengan suaminya karena memang sudah putus asa, jika terus berlari menyelamatkan diri tentu itu tidak akan menjadi kemungkinan dirinya akan selamat. Pada akhirnya Roni dan Rani meninggal di tempat ruang tunggu itu, tak jauh dari bayinya berada. Pasca gempa yang melanda, pemkot Yogyakarta, maupun pemerintah Indonesia segera mengerahkan pasukannya untuk mengevakuasi para korban. Mayat Roni dan Rani berhasil ditemukan bersama para korban lainnya, mereka dipindahkan ke rumah sakit Yogyakarta yang masih aman dari bencana gempa untuk dimandikan dan di kafankan. Sudah banyak petugas atau tim relawan yang mengevakuasi para korban bencana alam itu, tapi tak satupun mereka yang menemukan bayi Roni dan Rani. Sampai pada akhirnya tiba Joyo dan Mitra yang menemukannya.
Saat ini para relawan, termasuk Joyo dan Mitra sedang sibuk menentukan orang tua baru bagi sang bayi itu. Sampai mereka membuat waktu khusus untuk memusyawarahkan keputusan bersama demi masa depan sang bayi. Mita menyarankan agar bayi itu diangkat oleh Joyo. Sementara Joyo menyarankan agar Rina yang mengangkatnya. Tapi Rina menolak karena alasan waktu kemanusiaan untuk menjadi relawan dan pendidikan yang masih ingin ia capai. Rina berbalik menyarankan Joyo. Alhasil Joyo pun menjadi kandidat terkuat dalam pemilihan orang tua yang dilakukan secara musyawarah. Musyawarah itu dilakukan tiga malam berturut-turut, dengan orang-orang yang berbeda, sampai para warga juga ikut diajak rembuk. Tapi sialnya bagi Joyo, Mitra masih tetap vokal mengusulkan dirinya yang menjadi orang tua bagi bayi itu. Dengan kalimat pujian yang terdengar seperti jilatan selalu ia lontarkan berkali-kali, hingga tertangkap bagi pendengarnya bahwa Joyo adalah orang sukses. Tentu seberapa kali pun Joyo mengelak, mereka sudah terdoktrin oleh ucapan Mitra, apalagi Joyo juga sudah diketahui bahwa dirinya adalah orang yang tinggal di Jakarta. Kota terbesar yang menjadi ibu kota Indonesia saat itu, dimana orang-orang banyak yang berbondong-bondong mengadu nasib kesana demi menjadi orang berhasil, tapi tak sedikit pula mereka gagal mencapai kesuksesan di Jakarta. Karena Joyo bertahun-tahun sudah di Jakarta, dengan ditambah ia menggunakan motor trail yang dianggap mereka adalah motor pribadinya itulah akhirnya membuahkan hasil keputusan dengan ditujukan hanya kepada Joyo. Joyo merasa pening dan khawatir sekali ia akan gagal membesarkan bayi itu. Ia pusing memikirkan bagaimana nanti reaksi Wati. Ketika mendengar bahwa ia ditunjuk menjadi orang tua angkat bayi itu setelah melewati tiga malam berturut-turut musyawarah. Joyo pusing mendengar suara-suara kepercayaan dari mereka, walaupun itu bisa menjadi penyemangat baginya, tapi tetap saja hal yang mereka katakan itu benar-benar sangat salah dan menyimpang dari kenyataan yang ada, dari kenyataan yang sesungguhnya kehidupannya di Jakarta.
Mendengar suara gemuruh yang membuat bising di telinga Joyo membuatnya berdiri dan mengatakan dengan tegas, "Yasudah, beri aku beberapa hari untuk mendiskusikan hal ini kepada istriku, mertuaku, dan orang tuaku. Aku tidak bisa mengambil keputusan sepihak, meskipun aku sudah memiliki keluarga dan belum memiliki keturunan, meskipun aku adalah kepala keluarganya. Tapi demi kebaikan sang bayi, bagiku sangat perlu kesepakatan juga didapatkan oleh seluruh keluargaku. Baik keluarga besarku maupun istriku." orang-orang yang sebelumnya terdiam mendengar Joyo berbicara kini telah bergemuruh kembali dan bertepuk tangan, karena hasil keputusan sudah didapat. Entah mengapa mereka tidak segera mencari kandidat lain sebagai gantinya
"Baiklah kalau begitu tuan Joyo yang terhormat, kami sangat menunggu hasil keputusan anda. Kami sangat menunggu kabar baiknya. Kami harap anda dapat mengusahakan kepercayaan yang kami berikan kepada anda." Rina yang berdiri membalas ucapan Joyo juga membuat suasana hening. Dengan cara bicaranya yang terlihat sudah sangat terbiasa dari bekalnya yang selalu menjadi pemimpin rapat semasa kuliahnya dulu itupun berhasil menutup musyawarah terakhir malam ini. Dan sekaligus berhasil membuat burung-burung dikepala Joyo semakin merdu berkicau. Joyo keluar meninggalkan rapat yang di selenggarakan di ruang yang dibangun para relawan itu untuk berkumpul sambil bermain bersama dan tempat makan bersama. Seluruh relawan bencana gempa yang terjadi di Yogyakarta kali ini berhasil membuat hubungan harmonis dan keakraban antara mereka dengan para korban. Alhasil, banyak dari mereka yang saling kenal mengenal. Indahnya kebersamaan yang terlahir dari air mata.