Sinar mentari muncul ke permukaan, menampakkan cahaya keanggunan. Selepas beribadah pagi, Joyo menghidangkan kopi untuk dirinya sendiri. Duduk di teras sambil membakar rokok simpanan yang tersisa dua batang. Rencananya, ia akan menghabiskan rokok di pagi ini sembari menyecap pahit, memandangi langit-langit semesta. Kebebasan pagi hari yang jarang ia nikmati di kota besar. Keseharian yang tak biasa. Pagi menjadi awal dari perubahan, ada peluang untuk mengubah hidup agar lebih baik dari sebelumnya. Meskipun ia tak pernah terlambat menikmati pagi, tapi hari ini tak perlu memikirkan pekerjaan dan bergulat dengan waktu demi menikmati suasana baru di kota yang lama. Sambil menunggu matahari muncul ke bumi, ia mendengar kicau burung-burung gereja tengah bertengger di atas kabel listrik sebuah kota yang belum ramai dan belum sepadat Jakarta. Menghirup udara pagi memang paling merdu. Matanya melihat tukang koran yang sudah berkeliling mengantarkan berita. Ketika tukang pengantar koran itu menjatuhkan dagangannya ke halaman rumah Mitra, Joyo bergegas mengambilnya.
"Terimakasih ya, pak." Ucap Joyo setelah mengambil koran tersebut.
"Ya, sama-sama pak." Sambil mengayuh sepeda dan pergi ke tujuan lain, pengantar koran itu masih sempat menjawab Joyo.
Kemudian Joyo kembali ke tempat duduknya, membuka lembar demi lembar koran. Tak satupun isinya yang ia lewatkan. Dalam benaknya berasumsi bahwa nikmat sekali hidup Mitra, ternyata ia masih selalu saja sempat membaca berita dari media cetak. Dibandingkan dengan dirinya yang pagi hari sudah tiba di Monas untuk membuka kiosnya, Mitra jauh lebih bisa menikmati pagi dengan teliti. Sesekali mengikuti kegiatan orang lain memang tidak masalah, walaupun yang bersangkutan tidak menikmatinya secara bersama.
Waktu menunjukkan pukul enam, mentari sudah terbit, ayam-ayam sudah banyak berkokok, ada pula induk yang keluar mencari makan mengajak anak-anaknya. Simbah-simbah sudah mulai bersiap untuk bepergian ke sawah, entah bercocok tanam atau sekedar mencari rumput untuk hewan ternak kesayangan. Tak mau kalah dengan rutinitas mereka, terdengar suara air dari kamar mandi, pertanda sudah ada satu orang yang terbangun. Mitra sama seperti dirinya, belum memiliki keturunan. Entah mengapa mereka memiliki prinsip yang sama, jika memang ekonomi keluarga belum mumpuni, belum berani untuk mengambil resiko memiliki keturunan. Bagaimanapun juga, anak adalah tanggung jawab yang utuh. Meski begitu, mereka tetap memikirkan ingin memiliki keturunan, alhasil upaya itu dilakukan dengan menabung.
"Kamu bangun dari kapan?" Mitra menyapa dari depan pintu rumah.
"Wah dari subuh tadi."
"Pagi-pagi sudah ngopi saja, padahal belum sarapan. Mau mati cepet?"
"Ah, aku biasa sarapan dengan asap rokok dan air kopi. Tapi aku sudah minum air putih dulu banyak-banyak."
"Oh emang aneh. Mau berangkat jam berapa?" kata Mitra membuka rokoknya.
"Ya secepatnya."
"Yowes, aku habis satu batang ini tak mandi."
"Nanti gantian."
Pukul delapan tepat mereka sudah siap dan mulai berangkat. Menggunakan motor trail milik pak kades, tapi beda pendapat dengan Mitra yang masih saja menganggapnya itu milik Joyo pribadi. Mereka berangkat menggunakan sepatu model boots yang tinggi, agar safety ketika membantu petugas mengevakuasi para korban. Joyo menenangkan dirinya agar bisa melihat satu persatu detail kondisi yang terjadi disana ketika sampai, karena ia ingin mentransformasikan pemandangan dengan perasaannya ke dalam sebuah lukisan. Kali ini ia berpikir, sambil ia pulang ke rumah mertuanya mampir dulu untuk membeli peralatan melukis, dan membiarkan karyanya terpajang di ruang tamu rumah mertuanya itu, ia tidak akan menjualnya. Yogyakarta di pagi hari masih seperti wilayah terdekat lainnya seperti Magelang dan Temanggung, karena masih sama-sama dataran tinggi suhu disana bisa dikatakan dingin. Tentunya lebih sejuk dibandingkan kota Jakarta. Sepanjang perjalanan Joyo membagi pusat pikirannya antara jalan raya dan kondisi rumah-rumah yang dilewati, makin ke lokasi makin parah dampaknya.
Dua jam perjalanan mereka tempuh, tentu waktu yang lama bagi mereka, karena Joyo melambatkan laju sepeda motornya untuk menyaksikan pemandangan yang ada. Pemandangan yang bukan hanya indahnya alam dan suasana kota, tapi juga rumah-rumah yang hancur dan jalan-jalan retak walau tidak terlalu membahayakan bagi pengendara sepeda motor. Saat masuk gunung kidul, melewati lokasi yang semalam mereka sambangi, mata Joyo melihat banyak tim medis maupun lembaga penanggulangan bencana sampai aparat keamanan negara yang sudah berkumpul disana. Joyo memarkirkan motornya di depan tenda besar lembaga penanggulangan bencana, dan menemui petugas lapangan yang berjaga untuk meminta izin membantu, meski bagi Joyo misi utamanya adalah untuk mendapatkan perasaan yang bisa dengan baik ia tumpahkan ke dalam lukisan.
"Selamat pagi, pak." Sapa Mitra yang masuk tenda besar karena melihat ada orang disana sedang menyantap sarapan pagi. "Boleh kami membantu mengevakuasi korban-korban bencana disini?"
"Bapak darimana?" kata petugas itu.
"Saya, dari Sleman, pak. Daerah yang tidak terlalu parah terkena gempa." Kemudian Joyo ikut masuk dan memperkenalkan dirinya. "Kalau saya dari Temanggung pak. Sama sekali tidak ada kerusakan, hanya gempa kecil yang terasa."
"Oh ya, kalau bukan berasal dari pengungsi, silahkan saja. Kami merasa sangat tertolong. Tapi, nanti kalian ikut gabung saja ya, untuk hari ini akan ada wilayah penyisiran untuk membagi tim. Kedatangan kalian menambah jumlah pasukan."
"Baik, pak terimakasih. Kemudian Joyo dan Mitra keluar dari tenda itu, menuju ke arah petugas gabungan yang sudah berkumpul. Setelah menawarkan diri ke beberapa orang, mereka pun mendapatkan persetujuan. Kemudian mendapat bagian untuk menyisir wilayah Utara gunung kidul. Wilayah yang tidak terlalu jauh dari pantai Indrayanti.
Karena lokasi yang lumayan jauh dari tempat mereka berdiri, Joyo dan Mitra sepakat untuk menempuhnya dengan menggunakan kendaraan sendiri. Sementara petugas menggunakan mobil-mobil yang sudah siap menampung korban-korban yang barangkali masih tertimpa reruntuhan, serta mobil medis yang lengkap juga untuk selalu siaga memberi pertolongan pertama. Setelah dibekali radio dua arah, Joyo, Mitra, beserta petugas lainnya yang sama-sama menyisir wilayah Utara pun berangkat. Sebelum sampai di lokasi, Joyo memerhatikan keadaan sekelilingnya, ingatannya memutar waktu sepuluh tahun lalu bersama sahabat yang kini duduk di belakangnya.
Dahulu, tempat ini begitu banyak dikunjungi oleh anak-anak sekolah maupun wisatawan lainnya yang menyukai pantai. Dengan sebotol minuman yang di belinya dengan Mitra kala itu, mereka tengah rebahan asyik di pantai, atau kadangkala memandangi debur ombak gagah dari kejauhan sambil duduk dibawah pohon kelapa yang nyiur, dan tak terasa minuman sudah habis mengisi perut mereka. Setelah minuman habis, kalau masih ada semangat untuk menikmati olahraga di pantai, kadang mereka bermain bola adu penalti dengan gaya ala Christiano Ronaldo, saat berhasil mencetak gol atau jika sudah lunglai mereka hanya menikmati ketenangan batin yang ditampilkan alam dengan bernyanyi. Mitra, dari dulu selalu membawa gitar tiap kali pergi ke pantai, meski tak sehandal Joyo dalam memainkannya, dan gitar itu berakhir pada pelukan Joyo yang memainkannya.
Mereka gemar berlibur saat waktu lengang, karena dulu tinggal di satu kamar kost setelah Joyo mengajak Mitra untuk sama-sama mengisi diri menghibur para pengunjung di rumah makan dengan bernyanyi, istilah itu kini disebut dengan live music. Banyak orang-orang menyukai penampilan mereka karena suara Mitra yang kental akan khasnya Rock ala Bon Jovi. Sebelum akhirnya mereka terpisah karena warung makan itu bangkrut. Joyo memilih untuk hidup di Jakarta, sedangkan Mitra masih bergelut diri di Yogyakarta karena berhasil menikahi perempuan kembang desa. Selain bernyanyi bersama, mereka juga banyak menciptakan sebuah kerajinan tangan demi mendapatkan tambahan pada uang sakunya untuk patungan membayar uang bulanan kost, atau jika sedang naas uang itu hanya cukup untuk membeli rokok satu batang. Di Malioboro mereka lebih sering berkeliling menawarkan nama. Demi menjadi seorang yang sama-sama memiliki nama besar dalam kancah seni rupa. Sempat beberapa kali mereka bertemu dengan pelukis ulung asal Indonesia yang bernama Affandi, Joyo yang sangat menyukai karya-karyanya itu beberapa kali juga mencoba cara melukis seperti Affandi, hasil-hasil lukisannya seringkali ia jual di Malioboro, dengan menjual nama pelukis besar itu ia meraih keuntungan, demi membayar kamar kost. Berhasil ia membayar kamar kost itu tanpa ada uang satu rupiah pun yang dikeluarkan oleh Mitra. Tapi, kekonyolannya itu di utarakan langsung kepada pelukis yang dikaguminya itu. Affandi hanya tertawa, tidak mempermasalahkan apa-apa. Joyo mengenang di sepanjang jalan yang mengarah sampai pantai Indrayanti, di sela-sela pohon yang berdiri ia melihat ada seorang wanita yang meregang nyawa. Sontak saja, dulu ramai sekali warga berduyun-duyun mendatanginya sampai ada polisi yang menangani untuk kemudian dibawa ke rumah sakit untuk mengetahui identitasnya. Selepas kejadian itu membuat Joyo dan Mitra takut untuk pulang dari pantai malam-malam, kemudian beberapa bulan setelahnya mereka tidak pernah lagi berkunjung kesana.
Joyo melihat ke arah spion sebelah kanan, ia arahkan pandangannya ke belakang untuk melihat apa yang tengah dilakukan Mitra. Ternyata Mitra sedang asyik memandangi wilayah itu ke kanan-kiri. Nampaknya, ia juga mengenang masa-masa kebersamaan mereka di kota pelajar itu sepuluh tahun lalu. Kemudian mobil-mobil di depan sudah berhenti, tanda lokasi sudah sampai. Alangkah terkejutnya mereka berdua melihat situasi disana, tak hanya banyak rumah-rumah yang hancur, tapi juga jalan-jalan terpapar lumpur tebal yang nampaknya juga disebabkan karena gempa hingga membuat tebing tinggi dari tanah di sepanjang jalannya itu longsor. Tertinggal beberapa retakan dari tebing di sudut sebelah kanan. Karena khawatir jika ada gempa susulan tanah-tanah tinggi itu bakal longsor, akhirnya tugas pertama mereka adalah mengevakuasi korban maupun hewan-hewan ternak yang masih hidup disana secepatnya.
"Ayo, Yo kita bereskan." Kata Mitra mengencangkan tali-tali sepatunya.
"Ayo Mit." Joyo menjawab setelah selesai meletakkan helmnya.
Mereka melebur dengan jumlah 15 orang personel menyisir satu persatu rumah, membongkar puing-puing berserakan, puing-puing yang tidak menempel ke tanah, ataupun mengambil plang nomor rumah yang biasanya tertera nama-nama anggota keluarga yang singgah untuk sekaligus membantu proses identifikasi korban bencana alam itu. Instruksi dari ketua regu penyisiran agar Joyo dan Mitra dapat menyisir bangunan puskesmas, dan kemudian mencari barang-barang yang masih bisa digunakan. Karena akan digunakan untuk keperluan bersama, dan bila masih mungkin akan kembali digunakan setelah dibangun kembali puskesmas oleh pemerintah.
Sesampainya di Puskesmas, Joyo dan Mitra membagi tugas diri masing-masing. Joyo ke tempat ruang pasien atau ruang pemeriksaan, ruang obat-obatan atau ruang apotek, sementara Mitra ke ruang lainnya. Ketika Joyo melangkahkan kakinya membuka pintu ruang pasien, hampir saja kepalanya tertimpa tembok yang telah rapuh itu diatas pintu. Dari arah pintu masuk, Joyo melihat reruntuhan begitu banyak, atap-atap maupun plafon yang jebol, pecahan-pecahan kaca yang berserakan mengisi lantai keramik putih polos itu. Sepanjang mata memandang ia hanya melihat satu barang yang nampaknya itu masih bisa digunakan, yaitu tempat tidur bagi pasien yang berobat walaupun banyak debu diatasnya. Joyo tak kunjung membersihkan tempat tidur itu, tapi mengamati dalam-dalam tiap detail yang terjadi di hadapannya, untuk direkam ke dalam ingatannya. Berjalan pelan-pelan seperti orang yang mengintip kegiatan pemeriksaan antara dokter dengan pasien. Kemudian dirinya hanyut kedalam perasaannya pada kesedihan yang terlihat, imajinasinya menciptakan kegiatan rutinitas yang terjadi sebelum bencana menghampiri. Saat ia sedang merasakan ketenangannya, konsentrasinya buyar ketika ia mendengar suara tangisan bayi. Namun baginya itu adalah imajinasi yang masih ia ciptakan, sampai ia belum sadar juga bahwa tangisan bayi itu memang benar-benar nyata. Setelah ia sadari, Joyo berusaha untuk memastikan dirinya bahwa ia sudah tidak sedang berimajinasi. Tapi, hatinya bingung, kalau memang ada bayi, mengapa Mitra tidak kesini dan mencari sumber suaranya? Kemudian Joyo keluar ruangan mencari-cari Mitra, satu persatu ruangan ia buka, tapi belum juga ia temukan. Karena masih penasaran, ia kemudian memasang telinganya, tak terdengar suara bayi itu. Joyo merasa ada yang aneh dan curiga atau jangan-jangan suara itu adalah hantu? Hantu di siang hari? Sementara Mitra tidak juga ia temukan, padahal sudah banyak ruangan yang dibuka. Hanya ada satu tempat yang belum di datangi, yaitu kamar mandi. Segera dengan cepat Joyo berlari mencari kamar mandi, dan ternyata memang disitulah Mitra berada, ia baru saja selesai buang air.
"Mit, sini." Dengan tergopoh Joyo memanggil.
"Apa sih?" Mitra menjawab dengan santainya, karena perasaan lega yang dari tadi menahan buang air.
"Sini, kau harus ikut aku ke ruang pasien. Apa kau dengar suara bayi?" Joyo menarik lengan Mitra dengan erat sambil berlari.
"Bayi? Kamu mabuk? Aku tidak mendengar apa-apa?" Mitra masih terlihat santai mengikuti arah Joyo berlari.
"Ngawur. Aku dengar, serius. Disana, di ruang pasien." Joyo menunjuk ke arah ruangan pasien itu.
"Mosok setan siang-siang?"
"Jangan begitu, coba ayo. Kalau benar-benar ada bayi, kita harus cepat selamatkan. Masih ada suara, berarti masih hidup. Sebelum terlambat kita harus cepat, kita ini relawan."
Mereka pun berlari ke ruang pasien tersebut, Joyo membuka pintu, Mitra mengikuti. Mereka berdua mendengar suara bayi itu, dan segera mencarinya. Mengangkat pecahan-pecahan tembok yang berserakan, mengangkat lemari yang jatuh di lantai, tapi juga tak ditemukan. Suara bayi itu semakin keras, makin lama mereka mendengarkan seperti ada sesuatu yang dikatakan bayi itu, seperti ada yang berusaha ingin ia sampaikan walau belum bisa bicara. Suara tangis bayi itu semakin menjadi teriakan meminta tolong. Tak berhenti sampai disitu, tak ingin terlalu lama diam meneliti lokasi tersebut, mereka langsung berusaha mencari-cari lagi letak suara tangisan itu berasal.
Suara besar yang dihasilkan dari tembok yang ringkih kemudian terdengar lagi, jatuh menghantam keramik ruangan dan pecah berkeping-keping. Bayi itu tidak bersuara lagi. Hal yang menimbulkan pendapat bagi Joyo dan Mitra bahwa bayinya tertimpa reruntuhan. Sontak mereka langsung bergegas mengangkat semua batu-batu besar yang jatuh, tapi masih tak ditemukan. Pada akhirnya mereka menyerah, karena telah lama suara bayi itu tak lagi melintasi telinga mereka. Mereka jengkel sendiri, mengapa mereka tidak begitu peka dengan suara bayi? Dengan apa makna yang disampaikannya? Bahkan mereka tak peka dalam mengenali letak bayi itu berada. Karena lelah, mereka memutuskan untuk segera saja membersihkan, dan membawa tempat tidur yang kelihatan masih bagus itu keluar. Saat sedang membersihkan reruntuhan yang bertabur di atas tempat tidur itu, mereka mendengar suara bayi itu lagi. Mereka saling bertatapan, dan sepakat untuk melihat ke kolong tempat. Dengan cepat mata melongok ke kolong tempat tidur, dan ternyata memang disitulah letak bayi itu berada. Joyo dengan cepat mengambilnya pelan-pelan, memeluknya dan mengeluarkannya dari kolong tempat tidur, sangat hati-hati, sementara Mitra mengamati situasi agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Setelah selesai dikeluarkan dari kolong tempat tidur, mereka menggendong bayi itu dengan seluruh kemampuan lak-laki dalam melindungi. Membayangkan jadi ayah walau hanya beberapa saat saja. Bayi terbungkus rapih dengan jarit, tapi nampaknya bayi itu bukan bayi yang benar-benar baru lahir, usianya mungkin sudah menginjak beberapa bulan. Bayi itu terlihat lucu. Mata yang besar dengan pipi tembam, disertai badannya yang gemuk menampilkan bahwa bayi tersebut adalah bayi yang sehat. Tapi mata Mitra melihat ada luka di tulang kering yang belum jadi pada kaki kanan bayi itu. Karena tidak ingin ada suatu hal buruk terjadi, mereka sepakat membawa bayinya ke petugas medis yang sudah berjaga di depan.
"Aku menemukan ada bayi di kolong tempat tidur Puskesmas itu, Dok." Kata Joyo tergopoh-gopoh memberikan bayinya.
Sang dokter dengan beberapa tim medis lain langsung memeriksa luka pada bayi itu sekaligus kesehatannya. Joyo yang melihat mereka bekerja dengan cepat bergumam, betapa mulianya mereka ini.
Setelah bayi tersebut selesai diperiksa kesehatannya, luka pada kaki kanannya itu terbelit perban, kata dokter bayi itu sehat-sehat saja, luka pada kakinya masih bisa disembuhkan dan tidak terlalu bermasalah. Tapi masalah terbesarnya adalah siapa dan dimana orang tua bayi tersebut.
Kemudian untuk sementara waktu bayi itu masih dalam perawatan tim medis, tentu itu lebih baik untuk nasibnya, daripada harus menginap di tenda pengungsian bersama warga lainnya. Untuk sementara waktu, bayi tersebut berada di tangan yang tepat, apalagi ada seorang wanita juga disana. Meski belum menikah, wanita sejak dari lahir memang sudah dipercaya dan memang digariskan memiliki kepekaan perasaan yang lebih baik daripada pria walau sebaik apapun ia menjadi seorang ayah. Karena wanita akan menjadi ibu, dan ia akan melahirkan pria-pria baru di dunia ini. Apalagi seorang pekerja medis, tentu saja ia tau betul susu formula atau makanan bayi apa yang memang pantas untuk bayi tersebut. Kemudian sang bayi menangis dalam gendongan wanita itu. Ia satu-satunya wanita yang ada dalam tugas medis dalam kelompoknya. Wanita yang dikatakan masih cukup muda, sebab ia baru saja lulus studi sarjananya dan memang sudah melanglang buana menjadi relawan medis. Tak ayal namanya pun mencuat ke pemerintah Indonesia, dan selalu ada dalam setiap bencana alam, baik itu tugas negara ataupun berdasarkan keinginannya sendiri. Tentu ia tidak memikirkan uang bayaran dan lain sebagainya, diketahui dari banyak orang-orang yang menceritakannya, ia sesungguhnya berasal dari keluarga kaya yang jatuh miskin. Tapi karena ia dan keluarganya memiliki mental setebal baja, kondisi apapun tidak menyurutkannya untuk banyak belajar dan mencoba, sampai pada akhirnya kerja keras yang mengantarkan namanya dikenal di negeri ini, menjadi tamu istimewa dalam setiap acara kampus sampai berkali-kali hadir di televisi. Selain itu, ia juga terkenal sebagai seorang motivator. Ia menolak beasiswa magisternya ke Rusia, hanya karena ingin membantu menjadi relawan dalam gempa Yogyakarta yang terjadi saat ini. Perempuan berparas ayu, berambut sebahu yang ikal mengombak, memiliki bola mata seperti bola pingpong, dan murah senyum. Tak terlihat balutan make up atau perawatan apapun, tak ada bedak yang menyelimuti kulit wajahnya, tapi itu tetap menampilkan kecantikan wajah yang telanjang. Meski ia tidak pernah mengharapkan imbalan, tidak memikirkan bayaran, uang datang dengan sendirinya. Uang yang menjemputnya, ia berhasil menguasai dunia dengan menjadi dirinya sendiri. Ia berhasil menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dan bagi pekerjaannya, ia tidak menjadi budak pekerja atau budak uang seperti kebanyakan orang sampai mengkhawatirkan kesulitan yang akan dialami, dan lain sebagainya. Karena satu prinsip baginya yang sering ia katakan, waktu adalah nyawa. Joyo dan Mitra beberapa kali pernah melihatnya di televisi, tak ayal beberapa kalimat motivasi yang mereka tonton sekilas itu menjadi nafas baru bagi hidup mereka.
Joyo dan Mitra kembali bertugas seperti kewajibannya saat ini. Menyisir ruangan berdua, menemukan banyak barang-barang yang masih bisa digunakan di Puskesmas untuk menambah fasilitas medis membantu para korban yang terkena dampak bencana alam. Tugas baru bagi seluruh relawan kali ini yaitu menemukan kedua orang tua bayi tersebut. Tapi setelah proses evakuasi selesai secara total.