Chereads / Joyowati / Chapter 2 - Perjalanan

Chapter 2 - Perjalanan

"Mas, ayo istirahat, kau sudah banyak membuang waktumu untuk bengong." Sapa Wati yang nampaknya sudah mulai bosan mengamati wajah Joyo.

"Kau dulu saja, aku masih ingin menonton televisi." Jawab Joyo sambil mematikan rokoknya dari asap terakhir yang masih bisa dihirup.

Sambil merapikan kardus menjadi kasur, dan menumpuk pakaian menjadi bantal, "Baiklah, aku tidur ya. Simpan tenagamu untuk hari selanjutnya." Wati memejamkan mata.

Bosan di dalam kamar, Joyo keluar menyalakan televisi.

"Sekitar dua jam yang lalu, gempa bumi dengan magnitudo 25,1 dan kekuatan 5,5 Skala Richter mengguncang sejumlah wilayah di Yogyakarta. Dari laman Badan Meteorologi klimatologi dan Geofisika atau BMKG gempa terjadi sekitar pukul 20.00 WIB. Dengan kedalaman 10 KM, BMKG menegaskan bahwa gempa tersebut tidak berpotensi tsunami. Akan tetapi wilayah paling parah yang terkena dampak gempa terjadi di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta. Sejauh ini korban telah mencapai 12 ji..."

"Dreeeetttt. Dreeet" Getar telepon seluler memotong pembicaraan reporter berita di TV.

"Halo, Mit. Kenapa?" Joyo mengangkat telepon dari sahabat lamanya yang kebetulan di Yogya.

"Kamu masih di Jakarta? Lagi sibuk-sibuknya ndak? Sini to ke Jogja, baru ada gempa, parah." Kencang suara Mitra terdengar di telinga sebelah kanan Joyo.

"Iyo, aku baru saja melihat di TV. Rumahmu gimana? Ada yang rusak?"

"Alhamdulillah ndak ada. Tapi kamu harus kesini, visual kan dalam lukisan. Lukisanmu itu punya sihir merangkum sebuah cerita."

"Hahaha, bisa aja kamu."

"Yaudah pokoknya kesini ya. Tak tunggu, paling lambat lusa harus sudah sampai rumahku." Penegasan kalimat yang disampaikan oleh Mitra itu diakhiri dengan mematikan telepon. Seperti penegasan dalam kalimat tertulis yang diakhiri dengan tanda titik.

Joyo tertawa sendiri tiap kali berbicara dengan Mitra, "Ada aja kelakuanmu, mit. Kau memang punya selera humor yang tinggi ya." Gumam Joyo dalam hati. Setelah telepon berakhir, diletakkan kembali telepon selulernya itu ke meja. Setelah ia arahkan matanya ke televisi, berita sudah berganti dengan iklan. Setelah menunggu iklan selesai, ternyata berita pun sudah berganti acara sinetron. Jengkel Joyo karena merasa masih perlu melanjutkan berita tersebut untuk informasi gempa. Tangannya mengambil remote dan jari-jarinya mengganti beberapa Channel tv, tapi tak ditemukan lagi berita. Alhasil, Joyo kembali ke kamarnya.

"Wat, Wat, bangun." Tangannya menggoyangkan pipi Wati.

"Ada apa mas? Tempat tidurmu sudah aku siapkan."

"Tempat tidur kita sama, Wat. Beralaskan kardus berbantal pakaian bersih."

Wati membalas dengan tawa kecil, lalu memejamkan mata kembali.

Belum ada tiga detik terpejam, Joyo membangunkan kembali. "Hey, Wat, aku ingin bicara."

"Apa mas?"

"Sebentar." Joyo merebahkan tubuhnya, agar lebih mudah berbicara dengan Wati.

"Begini, tadi Mitra menelepon. Kita harus ke rumahnya. Kita dipaksa."

"Ha? Ada apa? Sebentar." Wati membenahi posisi tidurnya, dengan lebih membuka matanya juga. "Mitra, bukannya orang Jogja? Jadi, kita harus kesana?"

"Iya, tadi di TV ku lihat ada gempa melanda Jogja. Aku tidak tau bagaimana nasib rumahnya. Tapi ia bilang, baik-baik saja, entahlah aku tak yakin dengan ucapan baik-baik saja darinya. Aku tau betul dengannya, dia selera humornya tinggi. Ketika kesulitan dihadapi, ia melewati dan menerimanya dengan tertawa. Memang sulit diterka kesedihan bagi dia itu seperti apa. Apa sebaiknya kita tengok kesana? Untuk memastikan yang sesungguhnya. Sekaligus, kita pulang kampung. Sudah enam tahun kita tidak pulang."

"Boleh, mas. Tapi, uang darimana? Tabungan kita selama enam tahun berulang kali kita pakai, dan hanya sisa tiga puluh ribu, lho."

"Cukuplah itu."

"Kamu yakin? Aku hanya khawatir kita tidak bisa bayar kontrakan bulan ini."

"Tenang saja, tiga puluh ribu itu kita bayarkan kontrakan lima ribu. Kita pakai uang untuk ke Jogja dan kembali lagi kesini itu mungkin hanya butuh sepuluh ribu." Dengan masih berdoa agar uang itu tidak cepat habis, Joyo menghitung-hitung sisa uang dan jangka kehidupan.

"Sisa uang kita nanti hanya lima belas ribu. Yasudah, kalau kamu yakin, aku ikut. Tapi sekarang istirahat dulu, sudah larut. Kamu besok ingin tetap membuka kios?"

"Ya, aku akan membuka sampai setengah hari. Jam satu siang, aku pulang. Kalau bisa, kamu sudah siap, jadi setelah aku siap kita langsung berangkat ke terminal."

"Iya, boleh." Mata Wati kembali terpejam. Dan kali ini tidak dibangunkan lagi oleh Joyo sampai pagi tiba, Joyo pamit berkerja.

*

Kiosnya ia buka pukul delapan, seperti jam buka Monas. Biasanya Joyo sudah berada di area itu sejak pagi. Lebih awal dibandingkan dengan pedagang lainnya. Biasanya ia habiskan waktu untuk menepi melihat jalan raya sambil berimajinasi, atau nongkrong di warung kopi langganannya. Setelah pukul delapan pagi, ia masih termasuk orang pertama yang membuka kiosnya. Biasanya, kekosongan waktu luang menunggu pembeli datang selalu ia habiskan dengan mengukir dan mengukir, membuat karya seni rupa dalam corak lain. Bahkan kadangkala ketika tetangga kiosnya itu memberikan kanvas secara gratis, ia mencoba untuk melukiskan pemandangan yang ada di sekitarnya, atau menumpahkan perasaan di hatinya. Dalam bekerja, Joyo hanya memiliki dua waktu istirahat, saat pagi sebelum buka dan malam setelah tutup. Baginya, tidak pernah ada kata berhenti untuk mengembangkan bakat. Bila terhitung ingin istirahat, harus diselingi dengan merefresh imaji.

"Pak, harga kaligrafi ini berapa?" tanya seorang wanita berwajah China itu sambil menunjuk kaligrafi yang berbentuk seperti perahu ditengah gelombang laut yang ganas.

"Itu tiga ribu, Bu." Jawab Joyo menaruh ukiran barunya.

"Lumayan mahal juga ya, pak."

"Modal memang tak seberapa, Bu. Tapi, saya menjual keahlian."

"Wah, bapak bisa aja." Jawab ibu-ibu itu sambil tertawa.

"Selain Menjual, saya juga membuka ruang bagi yang ingin belajar."

"Sudah ada yang berminat belajar, pak?" ibu-ibu itu terlihat tertarik untuk mengetahui betul detailnya ukiran Joyo.

"Sudah banyak, Bu. Tapi bakat akan kembali lagi kepada pemiliknya. Mereka mungkin bisa lebih berkembang lagi jika terus menerus diasah."

"Oh iya betul sih, sebenarnya bakat yang membuat kita untuk semangat berkembang. Saya mau yang tadi dong pak." Kembali menunjuk kaligrafi pilihannya.

"Oh iya, sebentar ya Bu, saya bungkus."

Ketika Joyo hendak membungkus dan memasukkan kaligrafi itu kedalam box dan menghiasnya,

"Gausah, pak. Biar saya tenteng aja. Saya bawa mobil di depan."

"Kalo begitu mau saya antar?"

"Tidak usah pak. Begini saja. Saya sekalian ingin memamerkan kaligrafi ini pada khalayak."

"Hehe, terimakasih Bu."

"Ngomong-ngomong, ini kaligrafi harganya sama semua?"

"Enggak, Beda-beda, dari tingkat kesulitannya."

"Kalo begitu disini paling sulit yang mana, pak?"

"Yang ini, Bu." Jari Joyo menunjuk kaligrafi yang berbentuk seperti ayah, ibu, dan anaknya yang sedang berjalan bersama-sama dengan menggendong buah-buahan di dalam keranjang dari pasar.

"Wow, ini sih keren banget pak. Saya seperti melihat lukisan, tapi dengan pondasi Kaligrafi. Berapa ini pak?"

Joyo mengambil kaligrafinya, "Ini sepuluh ribu, Bu. Kaligrafi ini saya buat pas saya lagi kangen-kangennya sama masa kecil dulu di kampung."

Ibu-ibu tersebut mengambil kaligrafinya yang disodorkan kepadanya, "Harganya sepadan sih. Kampung bapak dimana?" sambil matanya terus mengamati tiap detail lekuk kaligrafi itu.

"Saya Temanggung, Bu. Jawa Tengah."

"Kebetulan saya juga. Saya di Ngadirejo. Kalo gitu saya ambil ini juga ya."

"Wah serius Bu?" Joyo terperangah, tak disangka rezeki hari ini ternyata dihadirkan untuk menggantikan rezeki kemarin.

"Iya serius, Yasudah kalau ini pasti perlu bantuan juga kan? Mari saya bawakan."

"Tidak usah pak." Setelah membayar, ibu-ibu itu memanggil tukang bawa barang yang ada di Monas. "Kan kita harus banyak memberi rezeki pak, hehe." Sambil menengok ke arah tukang angkat itu.

"Dibawa kemana Bu?" dengan gesit dan cekatan, tukang angkat sudah memanggul kaligrafi tersebut.

"Ke depan ya, parkiran." ibu-ibu itu langsung pergi ke arah tempatnya menaruh mobil.

"Terimakasih ya Bu." Teriak Joyo yang lupa bilang saking rasa tak percayanya.

Tapi dari jauh ia mendengar ibu itu menjawab, "Sama-sama."

Perasaannya senang sekali, baru sepagi ini sudah tiga belas ribu uang yang masuk kantongnya. Ia langsung menyiasati, bahwa tiga belas ribu itu yang akan ia gunakan untuk pulang kampung dan ke Yogya. Sepuluh ribu ia siapkan untuk perjalanan, sedangkan yang tiga ribunya ia jadikan tabungan, bertukar dengan lima ribu yang digunakan untuk membayar kontrakan. "Jadi, uang tabungan masih ada dua puluh delapan ribu ya. Alhamdulillah, rezeki hari ini."

"Pak, harga yang ini berapa?" Seorang pria datang dengan menggandeng anaknya.

"Yang mana?" Joyo menghampiri pembeli kedua dalam jeda waktu yang tidak lama.

"Ini." Tangannya menunjuk kaligrafi yang berbentuk seperti orang sujud.

"Itu empat ribu, pak." Joyo mengambil kaligrafi yang terpajang diatas. Lalu memberikannya kepada bapak-bapak yang terbilang masih muda dengan menggandeng anaknya yang terus melihat-lihat kaligrafi Joyo.

Joyo pun menyodorkan kaligrafinya kepada calon pembeli itu. Tapi calon pembeli itu hanya menerimanya sebentar, tanpa menelisik lebih jauh detail ukuran yang dibuat Joyo.

"Saya kurang paham dengan seni, tapi saya menyukainya. Saya tidak tau betul cara membuat ini dan menilai tiap detailnya, tapi saya yakin ini pasti sangat menggunakan ketelitian. Saya menghargai prosesnya, dan untuk hasilnya saya membeli lewat harga dari penjualnya." Kaligrafi itu kembali di sodorkan kepada Joyo.

Joyo menerimanya dan segera membungkus kaligrafi itu ke dalam box. "Dengan bapak membeli saja sudah sangat membuat saya senang. Terimakasih ya pak."

"Sama-sama, mas. Saya jarang melihat pedagang yang menjual hasil kerajinannya sendiri."

"Karena saya ingin terus memperjuangkan bakat, pak."

"Kalau begitu, saya doakan semoga kelak mas akan semakin besar seiring dengan banyaknya waktu yang dipakai. Tenang saja, pasang surut pasti ada, namanya usaha. Tapi yang namanya hasil pasti tidak akan mengkhianati kerja keras." Ujar lelaki itu sambil menerima bungkusan box kaligrafi yang dipilihnya.

"Iya, pak. Terimakasih untuk pesannya dan terimakasih sudah membeli. Saya juga membuka peluang bagi yang ingin belajar kok pak disini."

"Sama-sama. Saya ingin sekali agar anak saya bisa memiliki keahlian khusus. Nanti kalau kita berjumpa lagi, tolong bimbing ya, pak."

"Iya, pasti."

Bapak-bapak dengan anaknya pun berlalu. Waktu menunjukkan pukul sepuluh siang. Matahari sudah mulai terasa menyeringai. Tapi Joyo masih melanjutkan ukiran-ukiran lainnya yang dibuat. Karena menunggu itu akan membosankan, baginya membuat karya selanjutnya adalah cara paling bijaksana yang bisa dilakukan untuk mengisi waktu luang.

"Oi, Pak Yo. Ini ada kanvas untukmu." Suara terdengar memotong konsentrasi Joyo. Pria muda dari kios sebelah yang menjual lukisan-lukisan karya ayahnya itu menawarkan kanvas ukuran besar kepada Joyo. "Mau? Ayahku membeli banyak kemarin lalu, ia hanya berhasil menyelesaikan tiga lukisan. Sisanya, katanya sudah tidak digunakan. Lalu dia menyuruhku memberikannya pada pak Yo. Terimalah."

"Oh, iya Rus. Makasih ya." Joyo mengambil kanvas itu di sebelah kiosnya.

Nama pemuda itu adalah Rustam. Usianya sembilan belas tahun, setelah lulus dari sekolah menengah atas, ia memutuskan untuk mengabdi kepada orang tuanya dengan membantu menjual hasil-hasil karya ayahnya. Karena lewat hasil karya ayahnya itulah yang mampu menyekolahkan ia sampai tamat SMA. Sudah dua tahun ia berdagang dan berdampingan kios dengan Joyo. Pemuda yang kelahiran solo itu tak memiliki bakat seperti ayahnya, namun darah seni tetap mengalir padanya. Tak seperti abangnya yang mahir melukis di kanvas bahkan saat mata terpejam, ia justru mahir menarikan jemarinya melalu nada-nada yang dihasilkan dari gitar. Dari mulai sekolah dasar, umur enam tahun ia mengenal gitar melalui pamannya yang saat itu menjadi gitaris terkenal dari sebuah band Rock Indonesia. Saat beranjak SMP kelas dua, Rustam sekiranya mampu sepadan dengan pamannya. Beberapa kali menggantikan sang paman yang sakit sehingga tidak bisa manggung. Dan dari pengalaman itulah yang membuatnya semasa sekolah sering bergonta-ganti grup band yang dibentuknya sendiri. Sebenarnya tak hanya handal bermain gitar, ia juga mampu beradaptasi dengan instrumen lain. Kepalanya seperti sudah selaras dengan nada, ketika mendengar, bahkan kala pertama kalinya, ia sudah langsung bisa memainkannya. Instrumen lain yang ia kuasai yaitu drum, bass, sampai piano dan keyboard. Semua genre musik di hajarnya, tak heran band yang dibentuknya banyak mendapat tawaran manggung. Meski begitu, karena ia melihat ayahnya yang sangat gemar melukis hingga di usia tua, ia memutuskan untuk terus mengabdikan dirinya. Dari dulu, ayahnya sudah berdagang di Taman ria ini. Dan karena sudah tua serta dirasa bisa menggantikan ayahnya, akhirnya ia maju berganti peran. Kadangkala setiap lagi sepi antara kiosnya dan kios Joyo, Rustam bernyanyi. Tak jarang juga Rustam dan Joyo duet bersama menyanyikan lagu-lagu dangdut Rhoma Irama yang sering pentas di Taman Ria.

"Rus, kamu kan dulu banyak tawaran manggung, banyak dong uang yang kamu dapat?" Tanya Joyo mengulik lebih dalam tentang Rustam.

"Iya banyak pak Yo. Aku pernah satu hari manggung di tiga sekolah itu mendapat seratus lima puluh ribu." Jawab Rustam, sambil menggaruk kepalanya yang Kribo.

"Itu masih dibagi teman-teman atau kamu sendiri?"

"Aku sendiri, pak Yo. Sudah bersih."

"Banyak betul, Rus. Tiap kali dapat uang, kamu apakan uang-uang itu?" Joyo membuka bungkus rokok yang baru dibelinya.

"Aku berikan pada ayah."

"Loh, mengapa tidak kau tabung saja? Lumayan untuk bekalmu kuliah." Joyo membakar rokoknya. "Rokok, Rus." Tangannya mengulurkan rokok kepada Rustam.

"Iya, pak Yo." Melanjutkan menjawab pertanyaan Joyo setelah selesai membakar rokok. "Aku hanya merasa belum pantas pegang uang banyak. Aku masih anak sekolahan, mau ditabung atau untuk makan, ku serahkan pada orang tua."

"Loh, kenapa? Apa tidak kau pegang uangmu satupun?" celetuk Joyo.

"Bagiku, aku masih menjadi tanggungannya. Mau aku dapat uang banyak, aku masih siswa waktu itu. Biarlah uangku kembali pada kewajibannya. Aku meringankan ayah menyekolahkanku, jadi uangnya tidak aku simpan. Aku sama sekali tidak pegang, kecuali yang sudah ku belikan rokok." Rustam tertawa sambil melepas asap-asap yang telah dihirup dalam.

Idealis juga pikirannya, dalam hati Joyo memuji. "Tapi, Rus. Setelah kau lulus sekolah ini, kenapa tidak kau lanjutkan saja bermusikmu? Kau kan punya ruang lingkup yang luas. Kau bisa membantu ayahmu dengan menanggalkannya berkarya melukis, karena sudah lepas tanggung jawab." Mata Joyo menatap Rustam dalam-dalam.

"Aku rasa, pak Yo tau, membentuk kelompok atau band bermusik itu tidak mudah. Banyak perbedaan tatkala tujuan telah bercabang. Semakin ada nama, semakin beda keinginan. Pak Yo, kau sendiri mengapa menjual karyamu?" ujar Rustam yang mulai tertarik mengulik Joyo.

"Karena aku bergelut dengan hobi ku." Aku bekerja, entah sampai kapan ini. Tapi asal aku berkarya, aku hidup. Bukan hidup sebatas usia, tapi lebih dalam, bercampur buah usaha." Joyo menatap langit. Terlihat awan-awan berjalan mengikuti rotasi bumi.

"Nah, itu. Mengapa aku sering memberikan pak Yo kanvas? Karena ku pikir, kita sama. Hanya beda praktiknya. Aku melihat pak Yo, seperti melihat ayahku. Bedanya, ayahku tak mengukir. Aku ingin aku mengabdikan diri kepada orang tuaku dan tidak ingin menghentikan ayahku berkarya. Seperti pak Yo. Bagiku, jika aku menghentikan ayahku berkarya, aku durhaka. Seni bukan Cuma tentang uang dan jabatan, kan? Bukan tentang ketenaran juga kan maksud hati pak Yo? Itu juga yang menyebabkan aku mengabdikan diri pada ayahku. Tak peduli teman-temanku sudah banyak yang bekerja ataupun diterima di berbagai perguruan tinggi. Tapi aku ingin berdikari. Seperti pak Yo. Bedanya, jalurku mengarah pada dapur rekaman. Aku sudah membuat beberapa musik lagu, dan demo. Selagi mengejar impian itu adalah pengertian dari apa yang aku bisa, apa yang aku miliki, dan apa yang aku kembangkan dengan bergelut fokus didalamnya, tak mengapa jika aku harus berakit-rakit ke hulu."

"Kalau begitu, kapan kiranya kamu akan memulai menggariskan hidupmu untuk menjadi musisi?" Joyo berdiri mengambil ukiran kaligrafinya yang sebentar lagi jadi.

"Entahlah."

Joyo kembali duduk ke kursinya, di samping Rustam.

"Jangan entahlah! Kau sudah buat beberapa musik lagu dan demo, segeralah kau kirimkan. Pelukis juga manusia, Rustam. Beri ayahmu waktu lebih cepat untuk duduk santai sambil melihat karya-karya dan jerih payahnya selama ini. Seniman bukan robot yang terus menerus bekerja meski dalam balutan karya, Rustam. Beri ayahmu ruang dan tempat untuk berada ditengah karya-karyanya. Aku rasa, ayahmu dan aku sama. Berjuang sedini mungkin untuk dapat menikmati hasilnya kelak dimasa tua dengan cepat. Bergerak lebih cepat untuk menikmati buah usaha. Itulah perbedaan seniman dengan orang biasa yang bekerja di kantor-kantor, di pabrik-pabrik. Jadilah seniman yang berdikari dengan bijak, dimana waktu adalah karya. Mungkin kita tak mengenal waktu adalah uang, tapi hidup ini juga berdasarkan pergerakan. Orang-orang tidak akan pernah bangga jika kau punya keinginan besar dan konsep-konsep yang kau pertahankan, tapi orang-orang akan menganggapmu ada jika kau melakukan usaha yang terlihat walaupun kecil. Segera kirimkan demo-demo lagumu. Agar kau bisa lebih cepat menjadi seorang yang akan mendapatkan gelar legenda. Agar kau masih bisa melihat wajah pamanmu, ayahmu, ibumu, bahkan semua orang yang pernah kau sapa, untuk kau ucapkan terimakasih."

Mendengar nasihat panjang dari Joyo, Rustam merasa bahwa itu benar. Entah mengapa, orang-orang seni dapat memberikan motivasi dari nasihat yang disampaikan. Rustam berfikir mereka dapat menyingkap semudah mungkin kata-kata yang seharusnya rumit. Ucapan setiap seniman yang ditemuinya, seperti sebuah nada yang terekam dalam petikannya, dan ia menyukainya. "Baiklah, pak Yo. Aku akan lebih handal lagi menata waktu antara mengabdi dan berkarya. Terimakasih nasihatmu." Jawab Rustam yang mulai mengambil gitarnya untuk kembali mengulik nada."

*

Waktu tiba pukul dua belas siang. Joyo mulai bersiap untuk merapi-rapikan dagangannya, agar ia bisa pulang ke kontrakan dengan waktu yang telah disepakati bersama dengan Wati, istrinya. Tiga puluh menit kemudian, setelah membereskan barang-barangnya dan pamit diri kepada Rustam, Joyo beranjak meninggalkan kios dan Monas.

Sesampainya di kamar kontrakan, ia lihat Wati sudah rapih, seperti perjanjian awal. Pakaian-pakaian sudah dikemas dalam tas panjang yang di selempang ala "Pulang kampung" pada zaman itu, tahun 1988.

Pukul dua siang lebih dua puluh menit, mereka pergi meninggalkan kamar dan kontrakan. Tak lupa pamit dengan tetangga-tetangga dan pemilik kontrakan setelah usai membayar. Di depan gang, Joyo mampir warung membeli satu bungkus rokok, beberapa roti, dan air mineral sebagai bekal, lalu melanjutkan perjalanan ke terminal.

"Manggung, manggung, manggung. Temanggung, pak, Bu?" suara kondektur dan calo tiket menawarkan bis arah tujuannya. Ramai para pedagang kaki lima bercampur sopir-sopir bis dan orang-orang yang hendak bepergian, tak kalah dengan jumlah bis-bis yang bertengger selalu tersaji di pandangan khas terminal. Setelah membeli tiket resmi dari P.O. bis yang dituju, langsung saja Joyo dan Wati mencari kursi untuk diisi sesuai dengan nomor yang telah dibelinya. Waktu menunjukkan pukul tiga lebih tiga puluh sore, para penumpang lainnya sudah mulai padat mengisi tiap-tiap kursi yang kosong. Sampai pada pukul empat sore, kursi-kursi itu telah penuh terisi, termasuk pak sopir yang sudah menempati posisi singgasananya sebagai pengantar mereka sampai tujuan dengan berbalut doa-doa dari penumpang agar selamat. Bis pun melaju meninggalkan terminal kampung rambutan. Sebelum malam tiba, ramai para pedagang yang datang menawarkan barang, begitu juga dengan pengamen-pengamen jalanan yang hilir mudik mencari rupiah. Bis Handoyo kelas ekonomi yang ditumpangi Joyo dan Wati, guna menghemat rupiah yang didapat hari ini dibalik layar penuh berkah. Mereka duduk di kursi deretan ke lima belakang pak sopir, Wati dipojok kaca jendela karena Joyo paham betul kebiasaan istrinya yang sering melihat pemandangan sampai aktivitas orang-orang berlalu lalang. Sementara Joyo di sebelahnya menjaga Wati dalam tidur nanti malam yang lelap.

Sepanjang malam, jalan-jalan dilalui bis yang mengantar mereka, sampai pada akhirnya pukul tiga lebih tiga puluh menit pagi hari bis telah melewati kantor Kecamatan Kedu, tujuan mereka hampir sampai.

"Ngijingan, yo pak." Keras suara Joyo mengingatkan pak sopir dan kondekturnya untuk memberhentikan laju bis.

"Oh, nggeh." Jawab sopir bis. Kemudian tak lama mobil bis menepi ke bahu jalan, sebelum kemudian berhenti. Joyo dan Wati berkemas turun.

"Ngijingan" adalah sebuah nama daerah, yang biasa dijadikan tempat berhenti kala mereka hendak ke tujuan. Daerah itu sudah tak asing terdengar bagi sopir-sopir bis yang biasa melintasi jalan Temanggung. Di bahu jalan berhenti, patokan bagi Joyo dan Wati adalah sebuah tempat perkembangbiakan kuda. Pak Seno, adalah pemilik dari pacuan kuda itu. Kuda-kuda pacu disana sangat sehat-sehat sekali dan besar-besar. Pak Seno adalah orang keturunan Jepang. Meski begitu, ia sama sekali tidak mendukung adanya penjajahan yang dilakukan oleh Jepang kepada Indonesia. Ia hanya mengurus kehidupan keluarganya. Turun temurun keluarga itu beternak kuda. Mungkin akan terus berlanjut sampai keturunannya.

Setelah turun dari bis malam, mereka melanjutkan perjalanan ke rumah Wati dengan berjalan kaki. Jalanan yang naik turun dan berkelok itu sebenarnya tidak jauh lokasinya, hanya satu kilometer. Tapi cukup membuat berkeringat dan bisa dihitung-hitung sebagai olahraga pagi. Jalanan itu, pada tahun 1988 terkenal angker, karena jalan yang naik-turun, berkelok lumayan tajam, belum ada rumah-rumah, apalagi lampu penerangan jalan. Dan masih sangat banyak pohon-pohon bambu, pohon pisang, dengan bercampur pohon-pohon besar lainnya yang bertengger sepanjang jalan sampai ke kali Lungko. Puncak terseramnya adalah kali Lungko, kalau dari atas, dari arah jalan raya kali itu berada tepat di bawah turunan tajam.

"Dahulu pernah terjadi kecelakaan hebat kala Wati sedang berangkat sekolah saat masih SMA. Karena kelebihan muatan, truk pengangkut batu bata menggelinding turun kebawah. Dibawahnya sedang ada tiga orang siswa lain yang juga sedang berangkat sekolah, sebenarnya mereka sudah sempat menghindari maut itu, tapi naas satu diantara mereka sepatunya ada yang tertinggal karena menyangkut diantara batu-batu jalan, lalu ia berencana ingin mengambil sepatu itu, dua orang temannya sudah menyuruhnya untuk tidak usah mengambil sepatu itu, tapi karena keinginannya yang kuat, satu orang itu memaksa diri harus mengambil sepatunya. Akhirnya ketika truk mundur dan menggelimpang, anak yang ingin mengambil sepatu itupun belum sempat menghindar. Truk itu terguling, dan "Kress." Anak yang hendak mengambil sepatunya itu terlindas kepalanya, badannya hancur lebur tertimpa truk dengan seluruh muatannya yang tumpah ke jalan. Jalan kali Lungko menjadi jalanan berdarah pagi hari. Setelah melihat kejadian itu Wati tak pernah lagi sudi berangkat sekolah sendiri."

Sekitar lima belas menit Joyo dan Wati jalan pagi, sampailah pada singgasana masa kecil hingga remaja Wati. Mereka disambut hangat oleh orang tua Wati dan Mbahnya. Lalu Wati melanjutkan tugasnya sebagai seorang istri dan orang tuanya bertugas selayaknya tuan rumah yang melayani tamu. Setelah selesai bercakap-cakap dalam kurun waktu tiga puluh menit, Joyo memilih mandi dan melanjutkan istirahat tidurnya lagi.

Waktu menunjukkan pukul dua siang, Joyo sudah terbangun dari tidurnya setelah mengangkat dering telepon dari sahabatnya yang memanggil. "Mau kesini jam berapa?" tanya Mitra. Joyo yang baru saja membuka mata tertegun. Dalam hatinya, "Apa kau sebenarnya tau jika aku berada di Temanggung? Atau kau hanya menebak? Tapi ucapanmu benar, aku memang sudah merencanakan ingin kesana." Kemudian Joyo menjawab dengan santai, "Ya, setelah mandi aku kesana." Betapa dalam hati Joyo bingung padahal ia tidak mengabari Mitra seputar keberangkatannya ke Temanggung. Perbincangan di telepon itu berakhir dengan singkat, Joyo berdiam diri sambil duduk sejenak sebelum mandi. Setelah dirasa cukup, Joyo mulai mempersiapkan diri untuk keberangkatannya. Sebelum berangkat, ia menemui pak Kades terlebih dahulu, untuk meminjam sepeda motor miliknya. Karena jarak Temanggung-Yogya dirasa cukup jauh bila di tempuh menggunakan sepeda ontel. Pak kades yang baik hati itupun meminjamkannya secara cuma-cuma, bahkan ia memberikan sejumlah rupiah kepada Joyo untuk dibelikan bensin. Melihat kebaikan pak kades, Joyo pun menjaga amanat dan barang yang ia pinjam. Tak lama ia pulang menggunakan sepeda motor trail yang amat mewah di zaman itu. Dan setelah usai menyemir sepatu pantofel yang akan dikenakannya itu, Joyo berangkat menempuh jalan-jalan yang naik turun dan berkelok sampai Yogya.

Kurang lebih satu jam waktu yang sudah dilaluinya, sepanjang mata memandang ia amati betul-betul tiap-tiap bangunan yang berantakan. Ia lihat ke kolong-kolong jembatan, ternyata kali yang biasanya deras mengaliri air dari hulu kini kering, karena dampak letusan gunung Merapi yang satu tahun lalu itu telah mengguncang kota yang dulu sempat disinggahinya dalam perantauan bersama Mitra. Di beberapa titik ia lihat tenda-tenda bantuan dari pemerintah telah terpasang. Banyak warga yang singgah di tenda-tenda pengungsian itu, ah dalam hatinya berkata pasti mereka adalah pemilik rumah-rumah roboh yang tadi sudah aku lalui. Tapi, rasa penasarannya bertumpuk untuk melihat daerah gunung kidul. Karena menurut berita, daerah tersebut yang paling parah terkena dampak gempa.

Motor berhenti melaju, ketika sampai Sleman, di depan gapura daerah rumah Mitra, ia menelepon sahabat karibnya itu agar di jemput karena ia lupa kelanjutan jalannya. Tak butuh waktu lama ia menunggu, karena rumah Mitra yang sudah pindah itu berada tepat di samping tempat Joyo berhenti.

"Sudah kuduga seniman yang bakal jadi tenar ini pasti akan datang." Sapa Mitra dari depan pintu rumahnya.

Ah, sial. Ini manusia macam apa, pertama kali bertemu kembali, bukan ucapan salam ataupun salaman yang dilakukan, malah meledek. "Ya, aku datang sesuai permintaanmu." Jawab Joyo teriak dari atas motor. Ia masuk rumah Mitra yang tidak ada gerbangnya itu, dan memarkir motor pak kades di samping pintu rumah Mitra.

Mereka saling bersalaman dan memberi pelukan. Tanda rindu yang telah lama berseru dan pada akhirnya saling temu.

"Sini, sini, masuk." Ujar Mitra yang mulai berjalan mendahului Joyo untuk ke dalam rumahnya.

"Yo, Mit." Joyo mengikuti.

"Rumahmu tidak ada yang rusak Mit nampaknya. Dekorasinya masih utuh, bangunannya masih segar seperti pemiliknya." Mata Joyo yang melihat-lihat ke sekeliling rumah dari dalam ruang tamu. Sampai ia duduk di sofa hijau, yang dulu dibeli Mitra bersama dengannya lewat hasil menabung satu tahun.

"Hahaha. Tapi tetap terkena gempa disini, Yo. Bangunan ini masih utuh karena batu-batuan alami yang kau usulkan itu, dan dekorasinya juga masih keren seperti desainmu." Mereka saling bercakap sambil menghisap rokok. "Nil, tolong buatkan tamu spesial kita ini minum." Teriak Mitra memanggil istrinya meminta tolong."

"He, mau minum apa?" dari dalam istrinya menjawab. Dan langsung disahut oleh Joyo, "Kopi item aja, khas Yogya." Istri Mitra kembali menjawab, "Oh enggeh, sekedap."

Kemudian Mitra dan Joyo kembali bercakap mengulas masa lalu, tak sedikit juga pembahasan mereka seputar kondisi mereka yang selama ini berpisah.

"Tapi kan kamu sudah sukses sekarang, Yo. Kamu punya sepeda motor, trail. Lagi naik daun dan mahal ini." Kata Mitra di barengi dengan istrinya yang datang membawakan mereka berdua kopi.

"Alah, itu motor pak Kades." Kata Joyo sambil tertawa membenarkan dugaan Mitra yang salah.

"Kamu ini memang suka merendah Yo. Dulu, kau bilang kau ini pengamen jalanan, setelah ku tanya karena ku lihat kau sering membawa gitar. Kau langsung mengajakku pergi ke Cafe mahal karena satu-satunya waktu itu yang ada di Malioboro. Ternyata, kau punya kontrak untuk bernyanyi disana."

"Hahaha, itu kan masa lalu. Kalo sekarang ini, membeli kebutuhan tersier itu tidak pernah sama sekali kepikiran, bahkan dalam baris doaku saja tidak ada."

"Loh, piye to? Jakarta kota besar, metropolitan. Sudah dari zaman penjajahan. Masa kau tidak dengan cepat melejit besar disana dengan kemampuanmu yang hebat?" Mitra sudah mulai penasaran dengan kondisi yang sebenarnya dari Joyo. Padahal sebelumnya Joyo sudah menceritakan kehidupannya, tapi tidak dipercayai oleh Mitra.

"Aku ini masih merintis. Aku ada kios disana, sudah menjadi milikku sendiri. Tapi Mit, yang namanya usaha akan menemukan pasang surutnya. Kalau lagi ramai pasang, bisa lah semalam aku sisakan uang untuk beli satu bungkus ayam bakar untuk dimakan berdua dengan Wati. Tapi lebih sering mengalami surut. Jika surut tiba, aku dan Wati seringkali berpuasa. Itung-itung daripada mengeluh hanya menambah rasa lapar, lebih baik dijadikan puasa to? Biar tahan banting terhadap kesulitan, biar kesabaran setebal baja."

Hahaha, Mitra tertawa mendengar Joyo selesai berbicara. "Sama sepertimu, aku juga sering pasang surut selama kehidupan ini setelah kita pisah, Yo. Sampai aku berpikir, apakah orang-orang disini sekarang sudah tidak membutuhkan anyaman dari tali yang ku buat ini? Tapi untungnya aku menikah dengan wanita yang sudah di gariskan oleh Tuhan menjadi tulang rusukku. Aku coba untuk membuat anyaman bentuk lain, tak hanya menjadi ayunan saja, tapi juga sebagai hiasan rumah. Alhamdulillah hasilnya sedikit lebih bisa menambah rupiah."

"Kau masih beruntung tapi memiliki sawah, Mit. Biaya hidup disini juga ndak terlalu mahal to? Lah coba Jakarta. Untung saja, Wati adalah tulang rusukku yang di hadiahi Tuhan tepat di hari ulang tahunku. Jadi kami cocok, dan ia mampu hidup bersama melewati rintangan ini, dan amanah."

"Nah, itu yang paling penting. Kadang karena terlalu rumit dan seriusnya kita bergulat untuk keluarga setelah menikah, kita lupa akan hakikat keluarga itu sendiri, Yo. Tentang alasan diciptakannya wanita di bumi."

"Yo, Mit. Keluarga menjadi sumber kekuatan agar kita tetap fokus melakoni kewajiban sebagai pemimpinnya. Sepertinya, berkeluarga itu layaknya demokrasi ya Mit?"

Hahaha, Mitra tertawa sambil mematikan rokok yang ada di sela-sela jarinya. Sementara Joyo menyeruput kopi hitam yang ia minta.

"Dari keluarga, oleh keluarga, dan untuk keluarga maksudmu?"

"Nah, iya to. Tapi Mit, selama kita selalu mencoba kemampuan kita, walaupun hasil uangnya tidak ada, secara tidak kita sadari kemampuan kita akan semakin terasah loh."

"Ha, Iyo. Aku juga, ketika awal-awal membuat bentuk selain ayunan itu mencang-mencong gak karuan kok. Gak enak dipandang. Tapi ya lama-lama karena sering diasah terampil, bakat tetap akan mengambil alih peranan dan fungsinya."

"Setuju aku, Mit. Asal kita tetap berpatok pada tujuan ingin menjual karya, ya pasti kita harus selalu membuat karya. Konsisten dan komitmen, banyak orang yang menyerah pada tujuan awalnya dan akhirnya ganti profesi karena dia sudah berbeda dengan tujuan awal ketika ia datang ke Jakarta. Ia mungkin ingin memikirkan karyanya, bukan memikirkan bagaimana ia berhasil memperjuangkan mimpinya. Jadi, banyak banget orang yang gugur di kota Jakarta, ataupun kota-kota besar lainnya. Termasuk Yogya ini."

"Iya, Yo. Kamu itu emang satu pemikiran ya denganku, dari dulu."

Setelah mereka banyak bercakap-cakap yang juga menguras energi, Mitra pun mengajaknya untuk menikmati hidangan yang dimasak istrinya. Gudeg asli Yogya adalah makanan favorit mereka berdua.

"Yo, kamu mau ke Gunung Kidul sekarang atau besok? Sudah sore, takutnya sampai sana malam, kita tidak bisa melihat dengan jelas." Ujar Mitra yang tengah membakar rokoknya di ruang tamu seusai melahap masakan istrinya.

Kemudian Joyo menghampiri dan duduk di posisi semula, di depan Mitra. "Enaknya gimana?" Joyo turut membakar rokoknya.

"Ya, kesana aja dulu. Lihat-lihat dulu, kamu sudah jauh-jauh dari Temanggung kok belum lihat. Nanti dari sana, kamu menginap dulu saja disini, besok pagi-pagi baru kita kesana."

"Iya boleh, nanti ya, selesai rokok ini. Tidak sopan merokok sambil berkendara, apalagi dengan sepeda motor."

"Oke Yo."

*

Joyo dan Mitra sampai di daerah Gunung Kidul saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala. Mereka menepi di tenda pengungsian. Berbaur dengan korban, dan berbincang-bincang seraya mendengar keluh kesah maupun cerita saat gempa melanda. Tak sebentar Joyo meneliti situasi dari sepanjang jalan yang dilalui sampai titik lokasi. Maghrib tiba, Joyo dan beberapa pengungsi lainnya yang memiliki satu keyakinan yang sama, bersama-sama beribadah secara berjamaah. Selepas selesai sholat Maghrib, Joyo pergi ke dapur pengungsian, membantu para petugas memasak dan sekaligus menyajikan hidangan untuk dimakan bersama.

"Alhamdulillah sumber bantuan berupa pangan disini sangat cukup untuk sekitar satu pekan kedepan. Semoga tidak terjadi gempa susulan." Kata bapak tentara angkatan darat yang sedang menanak nasi.

"Alhamdulillah kalau begitu ya, pak. Saat ini masih dalam tahap evakuasi atau sudah masuk pendataan keseluruhan pak?"

"Masih dalam tahap evakuasi. Karena banyak sekali rumah-rumah yang hancur, masih dalam perkiraan terdapat lima kecamatan yang porak poranda, pak."

"Kalau begitu, bolehkah warga sipil membantu proses evakuasi?" Kata Joyo sambil mengaduk-aduk ayam kecap yang dipotong kecil-kecil di wajan raksasa itu.

"Boleh sekali, sangat boleh. Bapak kan dari luar, kalau pengungsi disini sendiri yang menjadi korban gempa, dianjurkan untuk tidak turun ke lokasi. Dengan tujuan agar mereka menenangkan diri dulu, dan biar tugas kami termasuk juga bapak yang bekerja menjadikan mereka layaknya raja."

"Oh begitu, tapi apakah ada saja warga yang ingin membantu? Warga yang dari pengungsian."

"Ada saja, tapi kita beri edukasi tentang apa yang memang kita junjung. Untungnya mereka mengerti."

"Warga yang terkena bencana adalah prioritas nomor satu."

"Ya, betul pak."

Mitra menyusul, dan ikut membantu orang-orang di dapur bekerja. Setelah masakan selesai dibuat, para pengungsi makan bersama, kecuali para petugas dan Joyo serta Mitra. Mereka yang membantu, tidak boleh mengambil jatah makan hak pengungsi. Sekitar pukul delapan malam, Joyo dan Mitra pamit kepada petugas dan para pengungsi yang sebelumnya berbincang bersama-sama. Joyo menginap di rumah Mitra sampai esok hari.