Aku oleng dan belum sepenuhnya sadarkan diri saat teman satu kamarku membangunkan dengan nada kesal. Alarm yang dipasang pada handphone jadul kepunyaanku benar-benar mengusik Tata pagi ini.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 08.00 WIB, sementara aku belum mandi dan bersiap-siap untuk pertemuan pertamaku dalam kelas Sekolah Pendaki Gunung.
Tata sedari tadi mengomel tidak karuan, menggerutu seperti ibu-ibu komplek yang siap tawuran setiap kali aku cuman bersikap budek dengan alarm yang ku pasang.
Tanpa membereskan tempat tidur dan menghiraukan omelan Tata, aku berlari secepat bayangan ke kamar mandi. Untung saja tidak ada antrean yang bisa saja membuatku semakin terlambat.
Lima menit saja guyur badan sekenanya, aku kembali ke kamar dengan handukan. Pertanda ritual wajib sudah kelar. Yaaa begitulah setiap hari, kalau gak perlu-perlu amat, aku ogah buat mandi.
Tiiiiiinn tiiiiiinn tiiiiinnnn
Klakson motor butut kepunyaan Hanzo terdengar jelas dari kamar kos. Hanzo makin mambabi buta memencetnya karna sudah kepalang kesal menunggu siratu telat.
"Ngapain aja sih," gerutu Hanzo
"Iya iyaa maaf, aku terlambat banguuun. Udah pasang alarm kok," aku memelas.
"Makanya jangan begadang muluk. Jelas ada kegiatan. Udah cepetan naik," katanya lagi masih dengan muka kesel.
Hanzo memacu kendaraan bututnya secepat mungkin, udara pagi benar-benar sejuk meski cuaca di Padang selalu terik dan panas.
Hanzo memilih jalanan kecil mengikuti garis Banda Kali. Untung saja Kota Padang bukan daerah padat dan macet. Tidak sampai 10 menit, kami sudah sampai di Sekretariat Bersama (Sekber) Pecinta Alam.
"Anjiiirr, udah rame banget," aku mengutuk dalam hati.
Setelah nafas agak teratur, aku mulai mengamati satu persatu wajah peserta lainnya. Siyalnya gak ada satupun yang kukenal selain Hanzo.
Aku tersentak kaget ketika kakak panitia menyebut namaku sedikit lantang.
"Hanana Puji Lestari. Jika tidak bisa tepat waktu, lebih baik mundur dari sekarang," lelaki itu berteriak dengan wajah sangat kaku dan serius.
Galak bener njiiirrr
"Iii iyaaa kak" aku sedikit gagap dan gugup.
Aku belom tau siapa namanya, tapi sekilas terdengar orang-orang memanggilnya Ari. Paling muda diantara panitia lainnya. Jangkung, sedikit kurus, dengan wajah lebih tua dari umurnya.
Ingin sekali rasanya bergegas pulang, ketika panitia mengakhiri celotehannya, tapi Hanzo malah asyik bercengkerama dan berjabat tangan dengan peserta yang datang dari berbagai kota.
Aku menghampiri rombongan kecil, mengenalkan diri sebagai basa basi. Seorang cewek sedikit berisi, tingginya sekitar 155cm, rambut sepunggung, Shinta namanya. Ternyata dia berasal dari Kota Jambi, bersama dua orang rekannya.
Satu lagi lebih kurus dari Nana, ukuran tinggi sama, memakai kerudung. Dia menyebut namanya Rara.
Sebagai orang yang malas berbasa basi, aku paling enggan dengan ritual berkenalan, melempar senyum dan bersikap ramah. Apalah daya, semua karakter itu harus disingkirkan jauh-jauh jika tidak ingin terlihat seperti kambing congek selama pelatihan berlangsung.
Kali ini aku tersenyum tak biasa saat mendapati seorang lelaki bertubuh tinggi sedang mengobrol dengan Hanzo, kedua pipi dihiasi lesung bagaikan magnet, mata yang berpinar dan tajam dibalik kaca persegi, kumis tipis serta bibir merah jambu.
Aaaahhh lengkap sudah sebagai lelaki idaman.
Aku melangkahkan kakiku tergesa-gesa menuju pusat pesona, namun seketika kaki terhenti.
"Yook balek" Hanzo mencegat dan menarik tanganku.
Siyaaalll. Kadang teman memang sebangsat itu.