Jelang tengah malam aku dan Hanzo diantar senior ke sekretariat bersama untuk gabung dengan 34 peserta lainnya.
Lagi lagi kami terlambat dari jadwal yang ditentukan. Kali ini sangat sangat sangatlah terlambat. Harusnya sudah di tempat sejak pukul 20.00 WIB, tapi malah baru nongol pukul 23.30 WIB.
Tentu saja ini bakal menjadi awal yang baik untuk mendengar omelan panitia perkara waktu dan disiplin sebagai pengantar tidur.
Lebih parahnya situnjang Ari malah meledek dengan sombongnya. Dia sengaja menghampiri aku hanya untuk menggoyahkan kepercayaan diri, disaat aku sedang asyik-asyiknya menjahit nomer register.
"Nana, yakin mau tetap lanjut? Kalau mau nyerah masih bisa. Coba pikir-pikir lagi deh" ledeknya dengan angkuh.
"Yakinlah. Usah ngeledek kek gitulah. Liat aja nanti, siapa peserta perempuan yang paling bertahan" aku menimpali dengan ekspresi penuh kejengkelan.
Bukannya kaget, Ari makin angkuh.
"Mana mungkin sih cewek kek lo bisa ikutan kegiatan beginian" ucapnya dengan sinis.
"Gak usah berkomentar sekarang kakak panitiiiiaaaa Ari. Kita liat aja ntar" aku menekankan suara sambil mengernyitkan kening.
Ari berlalu dengan wajah arogan seperti yakin aku bakal merengek-rengek minta pulang di pertengahan kegiatan.
"Kampret banget tu orang, dia ngeremehin aku" sambil menunjuk wajah sendiri dengan telunjuk.
Semenjak Ari menghampiriku, aku terus menerus mengomel sambil melanjutkan jahitan.
Entah apa yang merasukinya..
*
*
Bagi anak pecinta alam, berkegiatan di alam bebas sudah hal yang biasa. Tiap minggu ke lapangan. Kalau bukan kegiatan Mapala, yaa camping.
Meski pelatihan seperti ini bukan sesuatu yang baru, aku sesekali juga mempertanyakan kemampuan, karena kegiatan jauh lebih lama dibandingkan pelatihan dasar Mapala.
"Gilaaaa. Aku takut menyerah di tengah perjalanan" kali ini aku membatindna bergumam dalam hati setelah melihat jadwal kegiatan yang dibagikan panitia.
"Ini betulan 10 hari pelatihannya? aku mengernyitkan kening sambil bertanya ke Hanzo.
"Kenapa? Lo takut gak bisa? Hanzo menggertak.
"Yaelah. Ragu amat sama kemampuan gue" aku hanya tersenyum sinis menantang Hanzo, dengan gaya bicara sok-sokan.
Meski dalam hati aku sendiri ragu tapi tetap harus PD. Sia-sia dong aku udah lari-lari keliling kampus 3x seminggu selama tiga pekan ini.
Pihak kampus membayarka n uang pendaftaran aku bersama Hanzo, tentu saja tidak secara cuma-cuma. Hampir setiap hari selama dua pekan aku disibukkan mesti bolak-balik menaiki anak tangga, guna membujuk Wakil Dekan 3 untuk mendapatkan persetujuan.
Saking ngebetnya, aku meninggalkan ujian yang udah dimulai semingggu sebelum keberangkatan. Tapi masih tersisa dua mata kuliah lagi dan udah dipastikan aku bakal gagal karena cabut gitu aja demi Sekolah Pendaki Gunung.
Lamanya pelatihan dan materi yang diberikan, jadi daya tarik tersendiri buat aku ikut. Aku mulai tergila-gila dengan aktivitas di lapangan semenjak jadi anak Mapala.
Apalagi selama pelatihan bisa liat komuk Badang setiap harinya. Hehehe
Pada lelaki berkacamata itu, aku telah jatuh cinta sejak pandangan pertama. Sipemilik lesung pipi dengan bibir tipis bewarna merah jambu, senyumnya bagai magnet yang selalu menarik-narikku untuk menempelinya.
Simata tajam dibalik kacamata persegi, meski keliatan dingin, ternyata anaknya humoris. Berkarakter kuat dan berjiwa pemimpin.
Aku yakin Sekolah Pendaki Gunung adalah momen yang pas mendekati pujaan hati.
Dengan begitu, siapa tau rasa gila pada Abi bisa dibunuh dengan kehadiran Badang bagai magnet.
Aaaah aku benar-benar tidak sabar untuk mulai pelatihan