Chereads / SELUSTRUM / Chapter 11 - Menabur Benih Cinta

Chapter 11 - Menabur Benih Cinta

Aku ingin mengenalmu lebih dari sekarang

Mencintaimu sebanyak yang aku mau

Merindukanmu sampai tak ada batas - Nana

Kantuk menggelantung di kelopak mata, baru dua jam bertemu mimpi dalam peraduan, suara ketukan sudah menggema di balik pintu.

Tidak sekali dua kali Freya mengetuknya, beberapa diantaranya tidak terdengar sebab mimpi terlalu indah untuk di sudahi.

Aku sengaja memperlambat gerakan, menggeliat di atas velbed dan bangkit dengan perasaan malas.

"Yaa Tuhaaaan! Bisa gak sih bangunnya enggak subuh-subuh buta gini" aku menggeruti tanpa perduli terdengar pelatih dari luar kamar.

Tak ada lagi Shinta dan Rara, barangkali mulai bosan membangunkanku, situkang telat.

Peluit Dido terdengar jelas hingga kamar, suara langkah kaki sambil berlari kian menderu memecahkan kesunyian pagi di hari kelima.

Jarum jam menunjukkan pukul 04.15 WIB, itu artinya aku udah telat 15 menit dari jadwal.

Tali temali sepatu PDL tak lagi ku pasang dengan perasaan cemas yang memburu seperti subuh-subuh sebelumnya. 

"Lengkap Danlas? Suara Dido kian lantang, barangkali terlanjur muak mengingatkan perihal waktu dan disiplin.

Aku bahkan sempat merapikan pakaian dan penampilan sebelum berjalan santai lalu berlari kecil untuk berbaur dengan rombongan yang sejak tadi berbaris.

Muka bantal dan wajah kantuk mereka tidak bisa disembunyikan. Begitu juga dengan wajah sinis Rara dan Franco, dua manusia yang tidak aku senangi dari awal hingga 5 hari ke depan.

"Nana! Anda lagi Anda lagi. Ada apa?" Dido bertanya dengan tatapan tajam mengalahkan guru BK.

Wajahnya kaku tanpa senyum, mungkin udah abadi diberi formalin sejak lahir. Sorot matanya tajam seperti harimau mendapati segumpal daging. Dia sepertinya ingin menerkam dan memakan ku hidup-hidup.

"Lima hari pelatihan, Anda tidak pernah tidak terlambat" Dido membongkar aib, yang pada dasarnya semua orang di sini sudah tau kalau gue tukang telat.

Aku tidak berminat menjawab pertanyaannya ataupun memberi jawaban. Aku hanya diam dengan tatapan dingin.

Rasanya aku ingin membangkang, tapi apalah daya. Lutut bergetar dan jemari tangan makin kuat ku kepal. Aku rasa dia mendapati ketakutan yang muncul dari diri saat dia menatapku lekat-lekat sampe kornea.

Berulang kali aku mengedipkan mata serta menghela nafas panjang. Meski begitu, aku tetap tidak mengeluarkan sepatah katapun.

"Ambil posisi" Dido berteriak dan memberi instruksi. Ini sudah menjadi kebiasaannya.

"Hanya Nana! Kali ini biar dia sendiri yang mempertanggungjawabkan kesalahannya" Dido mulai naik  darah.

Baru saja aku hendak melepaskan carrier yang aku sandang sedari tadi. Dido kembali memberi instruksi yang gak bisa aku terima dengan akal kurang sehat.

"Tetap pasang ranselnya. Ambil posisi 3 seri" Dido mencegat dengan akal bulusnya.

Badang menoleh dengan perasaan iba. Aaahh sial, aku gagal menarik simpati lelaki pujaan.

*

*

Aku bangkit dari posisi push up dengan susah payah tanpa bantuan. Ransel berisikan logistik dan perlengkapan lainnya benar-benar berat bukan main.

Dido tersenyum sinis, lalu beranjak pergi saat pelatih lain menghampiri untuk berdiskusi.

Badang yang sedari tadi memang berdiri di sampingku langsung memegangi tangan untuk membantu.

"Lagian lu kenapa sih telat mulu. Gak bisa tidur? Badang mengubah posisi berdirinya. Kini kami saling hadap-hadapan.

"Aku tuh udah muak. Lagian..."

"Lagian apa? Lu mau nyerah, mau minta pulang? Badang menyela omonganku.

"Enggak gitu juga" aku memelas sambil memajukan bibir layaknya orang cemberut.

"Dasar" kini Badang mengacak-ngacak poniku hingga berantakan lalu memasangkan topi lapangan yang jatuh saat push up.

"Iihhh Badang apa-apaan sih" aku kembali merapikan poni yang sedikit berantakan lalu mencubit pinggangnya dengan cekatan sampai ia meringis kesakitan.

Aku tertawa penuh kemenangan.

"Aww sakit taaauuu. Dasar kambing!" Badang tak lagi tertawa seperti tadi.

Aku terdiam mendapati perubahan wajah Badang.

"Sakit ya? Maaf maaf yaa" aku mengelus-elus pinggangnya. Tapi siempu tidak kunjung merubah mimik wajahnya.

"Maafin aku dooong. aku cuma bercanda doang, gak tau bakal sesakit itu. Pleeeaseeee maafin" aku memasang jurus wajah memelas dan merengek, tidak lupa dengan tampang mengiba.

Hahhahahahha "kenak lu" Badang tertawa dengan curang.

"Iiissssh curang nih. Sok-sok an marah" aku melipat tangan dan merajuk.

"Cieeee yang marah balek" badang mencupit pinggangku dengan lembut.

aku hanya melipat tangan ke dada, dan memajukan bibir.

Badang semakin gemes melihat ekspresiku. Dia pun semakin menjadi-jadi menggoda.

"Apaan sih" gue tersenyum tidak bisa lebih marah lagi dari itu.

"Jahat" gue mencubitnya lagi tapi dengan sigap Badang memegang pergelangan tanganku.

Tatapan mataku langsung berpindah ke wajahnya. Aku mendapati senyum yang mengambang dan dua lesung pipi penuh pesona.

Sungguh aku gak ingin Dido datang merusak momen ini. Aku ingin menatapnya lebih lama lagi, menikmati setiap tarikan senyumannya.

Bibir tipis merah jambu itu. Aaaahhh pipi gue panas sementara matahari belum keluar dari persembunyiannya.

To be Continued....