Kaos oblong yang tak lagi bewarna putih mulai mengering di badan usai di babat dengan push up dan sit up. Aroma tubuh kian menyengat tak lagi berbeda satu sama lain, khas kolam teratai.
Aku berdiri paling belakang dalam kerumunan peserta menyaksikan praktek materi bivak. Mata lesu dengan perasaan malas tertangkap basah oleh Badang, dia hanya tersenyum lalu menghampiri, seakan ikut tidak perduli dengan materi.
"Kenapa lagi?" Badang mengangkat satu alisnya.
"Gak ada. Kamu kenapa marah-marah tadi pagi sama anak-anak? aku menimpali pertanyaannya dengan sedikit formal.
"Pada gak bisa serius. Kita tuh ada waktu becanda, dan ada juga waktu buat serius. Enggak becanda mulu" Badang menjawab dengan mimik wajah tidak kalah serius.
Aku hanya mengernyitkan kening mendengar jawabannya.
Hahhahahhahahahaha (dia tertawa) tertawanya yang khas sedikit dipelankan.
"Kenapa siiihh" aku menatapnya dengan heran
Dia tidak menjawab, malah mengusap-ngusap pipiku dua kali.
"Gue kan marahnya enggak sama lu. Lagian sekarang udah gak marah kok" dia menyengir menampakkan gigi putihnya.
Mataku berkeliling memastikan yang lainnya tidak ada yang menyadari kejadian aneh itu.
"Hmmmmmm" aku bergumam dengan tatapan sinis.
"Jadi lu diam dan cemburut ini gara-gara gue marah-marah tadi?"- Badang
Aku hanya meganggukkan kepala.
"Begitulah kira-kira, aneh aja liat kamu marah-marah gak karuan" aku menimpali untuk memperjelas.
°°°°°•••••°°°°°
"Nana, Rara dan Shinta regu satu" - Dido
Usai beristirahat makan siang Dido membagikan kelompok untuk longmarch, sebuah kegiatan berjalan kaki dari kodim menuju basecamp gunung Sago.
"Lagi lagi aku gak kebagian satu kelompok dengan Badang" gumamku dalam hati.
Dari awal pengen banget ngerasain satu kelompok dengan Badang, rasanya pasti sangat kocak. Melihat kelakuannya selama pelatihan yang ada-ada aja, tapi juga bisa serius banget kalau lagi pembelajaran.
Minimal satu kelompok dengan Hanzo, biar ada yang ngerjain semuanya. Ketololan dan kecerobohan ku juga gak bakal keliatan dengan terang-terangan.
"Aaaahhhh Dido gak pande kali bagi-bagi kelompok" aku hanya bisa kesal karena selalu kebagian satu kelompok dengan Rara dan Shinta.
Jarum jam sudah menunjukkan 12.45 WIB, Dido dan panitia lainnya mengumpulkan kami di lapangan, siap untuk memulai upacara pelepasan pelatihan lapangan, ditemani seragam loreng-loreng hijau milik TNI. Aaaahhh sayang sekali tidak ada yang cogan, muda dan berkharisma.
Carrier seberat 15 kilogram sudah tersandang pada masing-masing punggung peserta. Aku dan 7 Danru lainnya mengambil posisi paling depan tiap-tiap barisan, lengkap dengan tongkat ajaib yang tidak bisa merubah apapun.
Kali ini perjalanan akan panjang, tidak tau persis berapa lama gue dan 34 peserta lainnya akan menempuhnya. Lumayan menyiksa dengan beban di punggung ini, ditambah langit sedang biru-birunya.
"Sandang carriernya tuan-nyona. Hitungan ketiga barisan sudah rapi" Dido memulai aksinya.
Aku menyandang carrier dengan kepayahan, beratnya sungguh tidak seimbang dengan berat badan. Tapi lebih kasian lagi Shinta, tubuh kecilnya tidak akan kuat berjalan kaki. Aku masih beripikir angkuh pada situasi ini.
Hanzo dengan sigap membantuku, memegangi carrier dan mengangkatnya ke punggung. Dia juga merapikan beberapa ikatan yang longgar dan tali temali lainnya.
"Berat gak? Bisa kan? Hanzo bertanya dengan perasaan was-was.
Mungkin pikiranku saja, atau dia bertanya untuk mengejek?
"Bisalah. Remeh banget sama orang" aku hanya mengejek pertanyaannya.
Dido dan panitia lainnya secara bergantian memberikan pengarahan, membuka secara resmi pelatihan lapangan bakal dimulai dari hari ini. Pikiranku melayang pada terjalnya track Gunung Sago, dinginnya malam tanpa sleeping bad, capeknya perjalanan ditambah survival.
"Silahkan berdoa, saling menguatkan, saling memberi semangat sesama rekan" Dido membuyarkan lamunanku. Aku sempat tak mendengar saat dia meminta kami membuat lingkaran dan saling berangkulan.
Tanganku ditarik Hanzo mendapati diriku masih berdiri kaku memegangi tongkat. Aku dengan sigap berdiri dan memegangi tanganya, aku juga tidak mau jauh-jauh dari Hanzo, aku menempelinya seperti ulat bulu.
Aku juga merengek supaya dia memegangi carrier saat aku ingin menurunkannya dari punggung.
"Kawan-kawan hari ini sampai 5 hari kedepan kita akan berada di lapangan. Mari saling menguatkan, saling menjaga, dan saling membantu" Iyan, selaku Danlas membuka pembicaraan dalam posisi saling berangkulan.
"Ayo sorakkan yel-yel semangat dulu bersama-sama" Iyan menimpali perkataannya.
Kamipun kecil lingkaran dengan mengulurkan tangan ke depan, saling bertumpukan, saling berdesakan.
"Apapun yang terjadi. Tabah Sampai Akhir" Iyan meninggikan suaranya.
TABAH SAMPAI AKHIR - suara serempak dari 35 peserta menggema di lapangan. Aku hanya tertawa menyaksikan dengan apa yang telah kami lakukan.
Ritual berangkulan dan pemberian semangat pun berakhir, Hanzo mengangkatkan carrier dan menyandangkannya lagi ke punggungku.
"Kita hari ini longmarch sejauh 15 kilometer. Kalau lu nanti gak kuat lapor aja sama panitia" hanzo semakin menjadi-jadi.
"Hmmmmm" - aku hanya berdehem setiap kali dia bertingkah sok khawatir.
"sampai bertemu di sana" hanzo menepuk pundakku sebagai tanda menguatkan.
Menyadari Badang memperhatikan kami, aku ikut pura-pura membetulkan beberapa tali temali carrier Hanzo. Pandangannya tak kunjung lepas.
"Tim putri silahkan ikut Freya menaiki truk yang sudah tersedia" Dido memberi intruksi agar gue, Rara, dan Shinta segera meninggalkan rombongan.
"Katanya jalan kaki? Shinta berbisik saat kami menuju arah truk.
'Gak tau. Gak ngerti juga" aku hanya menimpali dengan buru-buru.
"Yessss gak jadi jalan kaki. Mungkin panitia kasian sama kami bertiga" aku penuh kegirangan di dalam hati.
Sekitar 10 menit berjalan, tiba-tiba supirnya memberhentikan truk setelah pertigaan.
"Kok berhenti?" aku memasang wajah heran pada Rara.
"Ndak tau, mungkin cuman sampe sini lah tu" Rara juga tidak kalah bingung.
"Turun turun" suara garang freya sangat menjengkelkan.
"Aiiisssshhh sial, cuman sampe sini pakek mobilnya" aku mulai menggerutu.
"Nana, Anda bilang apa?" freya melototkan matanya.
Gak nyangka dia mendengarnya, aku pikir aku berbicara dalam hati.
Aku hanya menyengir tanpa menjawab pertanyaan konyolnya.
*
*
Rara dan Shinta berjalan di depan, diiringi aku diposisi paling belakang sambil memegangi tongkat yang ada benderanya. Kadang jalan kami sangat cepat kalau berada pada track lurus atau penurunan, tapi bisa lambat banget kalau memasuki tanjakan.
Shinta mulai kepayahan dengan carrier super berat, badannya yang lebih kecil dan kurus takkan kuat menopang carrier yang beratnya hampir mencapai 20 kg. Aku mendorong tubuhnya dari belakang, sementara Rara menarik satu tangannya dari depan.
Tanjakan panjang dan lurus terasa sangat melelahkan, kami bisa mendengar napas pendek kami sendiri diiringi suara ngos-ngosan, sesekali menjulurkan lidah dan berteriak aaaahhhhhhh.
"Bentar-bentar. Aku capek banget" Shinta menghentikan langkahnya. Kali ini dia terlihat benar-benar kepayahan. Keringat dingin mengucur di badannya, wajahnya mulai memucat dan lelah.
Aku memberikan sebotol air padanya, berharap mampu memulihkan tenaga.
"Gimana, masih kuat? aku bertanya mencemaskan dirinya.
"Ayo kamu pasti biso Shinta" Rara memompa semangatnya.
"Yok lanjut, aku masih sanggup kok" Shinta mengintruksikan untuk melanjutkan perjalanan.
Shinta menhempaskan napas dengan kasar saat dirinya berhasil melewati tanjakan panjang.
"aaaaaaaaahhhhh gilak" dia berkacak pinggang.
Rara hanya tertawa melihatnya lalu kembali melanjutkan perjalanan. Baru berjalan sekitar 500 meter, tanjakan kembali menghantam tenaga kami.
Shinta semakin terlihat lesu, namun dia tetap melangkahkan kakinya meski terasa berat.
Tidak sampai diujung tanjakan, Shinta menghentikan langkahnya. Dia mengerang kesakitan, tangannya kram dan susah digerakkan. Rara bergegas menurunkan carriernya, aku memapahnya ke pinggir jalan dan membantunya duduk.
Aku khawatir melihat perubahan wajahnya yang sudah pucat paci tak lagi berdarah. Tangan yang kram aku urut-urut sampai aliran darahnya normal kembali, rara melakukan hal yang sama pada tangan di sebelahnya.
"Mau kami lapor panitia aja kalau kamu udah gak kuat?" aku memandangi wajahnya untuk bertanya.
"Gak gak gak usah, aku masih bisa kok" dia masih bersikeras untuk lanjut.
Setelah dia merasa sudah cukup pulih, kami melanjutkan perjalanan. Aku mengambil carrier dari tangan Shinta dengan sigap saat dia hendak menyandangnya.
Aku menyandangkannya pada bagian depan, sementara carrierku aku minta Rara untuk menaikinya ke punggungku. Kini aku menyandang dua carrier berat sekaligus.
"Yakin? ini berat loh Na" Rara meyakinkan diriku.
"iyaaa, udah ayok jalan" aku meminta mereka berjalan duluan.
Shinta kini berjalan paling depan dengan tongkat Danru, sementara aku mencoba mengiringi langkah mereka.
Freya dan pelatih lain hanya melihat kami dari kejauahan, saat posisiaudah berdekatan mereka hanya bertanya keadaan dan pura-pura bodoh.
"Kenapa ranselnya kamu yang sandang Nana?" freya berkacak pinggang dan melototkan matanya.
"Shinta tangannya kram pelatih, dia udah kecapek an, jadi aku membantunya" aku hanya menjawab sekenanya saja.
To be Continued ....