Percuma kuat, jika saling tidak peduli
Raut solidaritas, babat keegoisan
Tabah sampai akhir - Dido
Tidak terasa sudah tiga kali pagi tiga kali malam berada di komplek loreng. Sudah tak terhitung lagi jumlah seri yang diperintahkan.
Aroma keringat bercampur lumpuran telek menyengat di ruangan petak kecil. Mata sayu memandang pemateri dengan perasaan malas.
Menentukan posisi dan arah perjalanan, baik di peta maupun medan sebenarnya. Itulah Navigasi Darat
Pemateri kian berceloteh menerangkan materi yang tidak menarik minatku untuk mendengarnya. Pikiranku melayang-layang entah kemana. Kepada Badang yang kian bersahaja sepanjang hari, tentang rekan satu tim yang begitu menyebalkan dan emosian. Perihal teman yang menyerah dan memutuskan kembali.
Yang paling terakhir sungguh mengganjal pikiran. Kepulangan Danang, peserta dari Bengkulu masih meninggalkan pertanyaan. Tak ada yang tau persis penyebab lelaki 22 tahun itu memutuskan berhenti.
Kami hanya tertegun begitu saja mendengar keputusannya. Masih pagi untuk otak mencerna, meraba-raba teka-teki rasa.
Jalan jongkok hingga menggelinding di lapangan dengan kaos putih menjadi hukuman tadi pagi. Udara di kaki Gunung Sago kian menusuk, sebab mentari belum menampakkan rupanya.
Mata masih kantuk, sementara mimpi belum dituntaskan. Semakin terlambat, Dido semakin semangat merendam dalam kolam busuk.
"Danang kenapa minta pulang? aku terus menerus bertanya kepada rekannya, Yudha.
Nasi becek dengan lauk pauk serta tak lupa dua butir telur telah membangkitkan semangat. Energi untuk meracau kian penuh.
Tak dapat jawaban dari Yudha, aku menghampiri Badang saat kelas baru saja hendak dimulai kembali. Lelaki berparas tampan dan rupawan ini harusnya lebih tau. Lebih peka, dan tentunya Komandan Kelas dengan tanggung jawab penuh terhadap 35 peserta.
"Bad, Danang kenapa tiba-tiba minta pulang? Gue berbisik tepat di sampingnya.
"Enggak tau juga. Katanya sih gegera gak kuat di rendam di kolam teratai" dia menimpali tetapi seperti orang enggan menanggapi.
"Usah di bahas. Nanti terdengar pelatih, bisa kena marah. Berabe!" dia mengingatkan akan bahaya besar. Lalu kembali fokus pada petanya.
Aku gak bisa fokus, bukan soal bersekelemit dengan pikiran sendiri. Melainkan tentang kontur dalam peta buta tak pernah semenarik itu untuk di pandang. Peta kecil lengkap dengan skala, hingga tahun pembuatan dan beberapa sudut dengan kontur rapat dan renggang di sisi lainnya.
Pemateri mulai membuat satu titik ke titik lain, hingga bertanya posisi kami dalam peta hingga bla bla.
Shiiittt, materi Navrat tidak semenarik Badang.
Pura-pura bego yang memang aslinya begok, aku terus-terusan mengusik Badang. Dia khatam sekali soal ini. Terlihat dari gayanya menjawab setiap pertanyaan, hingga caranya menjelaskan.
Meski dia mencoba sabar menjelaskan cara membaca peta buta hingga menentukan koordinat peta, tetap saja otak gue gak sampe, karna pandangan bukan pada peta, melainkan bibir merah jambunya.
"Semakin rapat kontur pada pada peta, semakin terjal medan sebenarnya. Sebaliknya, semakin renggang konturnya, artinya semakin landai" Badang masih menjelaskan sambil menunjuk-nunjuk peta.
Sementara aku? aku hanya sibuk melototi wajah rupawan Badang sambil tersenyum kecil, sesekali ngangguk-ngangguk seolah paham.
"Lu ngangguk-ngangguk ngerti gak sama penjelasan gue?" Dia bertanya.
"Badang bener-benar ganteng banget dilihat dari dekat" aku hanya membatin.
"Hei Nana" dia menepuk paha dan menyontakkanku dari lamunan.
"iiiyaaa, gimana gimana?" aku hanya menjawab dengan gugup karena kepergok tidak memperhatikan.
"Lu ngerti gak sama maksud gue? Badang kembali bertanya.
Hehehehe "beloooom" aku hanya cengegesan.
Badang geram, tapi dia tidak marah. Dia mengelus-elus poniku dan mengacak-acaknya.
"Badang iiihhh" aku tersipu malu dengan sikapnya.
Sementara dia hanya tertawa mentertawakan pipiku yang memerah bak kepiting rebus.
yang diacak-acak rambut yang berantakan malah hati. Ambyyaaaaarrrr!
Berbicara soal kolam teratai, sebuah kolam beraromakan telek kerbau, dengan kedalaman 150 cm benar-benar mimpi buruk dari segala mimpi. Berendam layaknya mandi kembang, lengkap dengan ransel 60+15 liter. Tak lupa untuk menceburkan kepala sampai tak terlihat lagi batang hidung.
Bra merah muda membayang dari balik kaos oblong putih yang tidak ada lagi gantinya.
Shiiittttt. Aku benci Dido dan sekutunya.
••••••• °°°°°°°°° •••••••
"Jangan makan tulang punggung kawan. Naikkan lagi badannya"
Dido adalah sebenar-benarnya makhluk ciptaan Tuhan yang gemar memberi hukuman. Bedanya kali ini bukan hadiah dari kesalahan, melainkan olahraga rutin yang siap membelalakkan mata dari kantuk dan godaan velbed.
Hitungan push up makin ke sini makin lama. Sit up yang tak berkesudahan siap membakar tumpukan lemak dan siap mengubah body onepack kami semua.
Aaahh bisa kalian bayangkan gimana bentuknya tubuhku dari yang sebelumnya buncit berisikan gorengan, menjadi datar dengan bahu berbidang layaknya atlet angkat besi.
"Kembali dalam barisan" instruksi Dido setiap kali menyudahi olahraga di subuh buta.
Jika orang-orang berolahraga dari pukul 06.00 WIB, hal demikian tidak berlaku untuk kami. Berlari keliling komplek dengan ransel tinggi dan berat sedari 5.20 WIB sudah jadi sarapan.
Belum lagi push up tiga seri dan kocar-kacir memasang tali temali sepatu, hingga menggendong ransel pada hitungan ketiga.
Bagaimana mungkin dia masih meminta kami Tabah Sampai Akhir?
"Istirahat serta MCK harus selesai dalam waktu 15 menit. Mandi sekali rame aja, biar gak antri" jelas Andi.
Dialah panitia berparaskan manis, dengan logat sedikit medok khas Sunda. Masih muda dan rupawan. Sayang, dia juga bisa berubah jadi macan saat merendam kami dalam kolam teratai.
Dialah pemilik ide untuk menjerumuskan kami ke kandang telek kerbau, sapi, kambing, dan antah berantah binatang lainnya.
"Ada yang tau kenapa Danang berhenti? Dia pura-pura bertanya sebelum membubarkan barisan.
"Siap. Tidak tau pelatih" jawab Kabeh, lelaki yang yang dituakan dalam sekolah ini. Berjiwa ke bapak-bapakan, berhari sensitif.
Jangan ada lagi yang pulang. Saling peduli, jangan egois. Tabah sampai akhir.
Andi menutup muqodimahnya.