Chereads / SELUSTRUM / Chapter 10 - Simpul Kambing

Chapter 10 - Simpul Kambing

Semakin ditarik, semakin kuat

Simpul 8 Ganda

Aroma keringat bercampur kepahitan kolam teratai mengapung dalam ruangan sempit. Puluhan pasang mata penuh sendu sedang berkompromi menahan kantuk. Sementara dua pasang mata membelalak mengawasi dari sudut, siap menerkam siapa saja yang mulai hilang kesadaran.

Dialah Dido dan Ari. Panitia super duber galak berwajah kaku, dengan urat-urat leher yang selalu menegang. Tak pernah ada senyum mengukir bibir, tak ada tatapan ramah dari wajahnya yang tak rupawan.

Mungkin sewaktu pembagian wajah, kebagian banyak formalin. Awet sampe meninggal dengan wajah kaku.

Bangku barisan paling depan diisi oleh Bruno, peserta paling muda dalam pelatihan. Sering bertingkah salah setiap kali meneriakkan komando.

Sengaja atau tidak, Dido menunjuknya sebagai Komandan Kelas memasuki hari ke-4. Tangannya mengepal penuh getar, dengan kata-kata mulai berantakan meneriakkan nama.

"Lengkap Danlas?" Dido langsung memulai aksi seketika pemateri meninggalkan kelas.

"Siap, lengkap pelatih" Bruno menjawab dengan Pede dan lantang.

"Lengkap Danlas?" Dia kembali bertanya, kali ini penuh penekanan.

Bruno mulai melirik rekan di sebelahnya, hingga belakang.

"Sssiiap, lengkap pelatih" kali ini jawabannya tak lagi lantang.

"Cek lagi Tuan! Perhatikan teman-temannya. Jangan siap siap aja" Dido berbicara persis di hadapannya.

Bruno benar-benar bergetar, tangan dikepal makin kuat, lututnya berirama.

Bruno kembali melirik jauh ke belakang, berkedip dan menghembuskan nafas dengan kasar saat mendapati satu bangku kosong di bagian nomor empat dari deretannya.

"Nanaaaa" Bruno bergumam penuh kekesalan.

Di tempat lain, Freya si panitia dengan body semok bongsor padahal perempuan, sibuk menggedor-gedor pintu kamar mandi.

"Nanaa! Anda masih lama?" Freya berteriak lantang dibalik pintu berdindingkan seng.

Aku sedang tanggung-tanggungnya bersemedi, empat hari tidak kunjung melapor pada alam. Panggilannya sering urung sebab Dido terlalu sempit memberi waktu.

"Bentaaar pee la tih" aku menjawab dengan terbata-bata sambil mengeluarkan bom yang bersembunyi di balik kulit perut yang mulai menipis tingkat ketebalannya.

Boooooommmm

Proooooooottttt

Dentuman terakhir melesat keluar menyudahi pertapaan jelang siang ini. Legaaaaaaaa!

Aku bergegas merapikan pakaian dan mencuci tangan menggunakan sabun. Belom sempat melangkahkan kaki, pintu kembali di ketuk Freya.

"Yaa pelatih, maaf saya sakit perut" aku memelas saat melongo di balik pintu seng yang menjadi pemisah.

Jangankan menjawab, Freya hanya memberikan tatapan tajam penuh sinis. Enggan bertatap-tatapan, aku langsung mengontaikan kaki ke dalam kelas.

Suasana hening dan tegang menyambut gue penuh kebingungan. Anak-anak berdiri persis mengikuti Dido yang melipat tangan ke dada penuh arogan.

"Masalah apa lagi nih yang aku bikin?" Kali ini aku membatin sambil berjalan pelan-pelan agar tidak mengeluarkan suara lalu mengisi posisi yang pernah aku tinggalkan sebelum memulai persemedian.

"Nana! Dari mana saja Anda?" Dido membuka suara memecah keheningan.

"Anda tahu kalau teman-temannya menunggu"

"Bisa dilihat sekarang pukul berapa? Gara-gara Anda semua orang terlambat makan siang" dia kembali mencerca tanpa memberiku kesempatan untuk menjawab.

"Siap salah pelatih" mengakui kesalahan adalah sebenar-benarnya cara untuk mengakhiri perseteruan. Bukankah begitu?

"Semuanya! Kecuali Anda Nyonya Nana, ambil posisi" dia berteriak penuh geram.

Tak ada yang berani membantahnya, manusia kaku dengan urat leher terlihat menegang sepanjang kelas. Aku rasa dia kurang bahagia atau kepalang kesal ditanyain kapan nikah.

Semua peserta kecuali aku mengambil posisi push up di samping kursi, di belakang, di manapun yang memiliki space kosong.

Lagi lagi dan lagi aku adalah otak dari kekacauan.

"Bangsat lo" Rara berlalu dengan tatapan mata penuh amarah.

Rara adalah salah satu orang yang tidak terima mendapat hukuman dari kesalahan orang lain.

••••••°°°°°°°•••••••

Dentuman sendok dan garpu bertemu serempek menghasilkan ritma, duduk di atas rumput secara melingkar jadi pemandangan setiap jam makan datang memulihkan tenaga.

Aku adalah orang yang selalu dibantu untuk menghabiskan santapan. Nasi yang banyak dengan sayur mayur sangat menyebalkan. Aku benci sayur-sayuran, ditambah lauk pauk yang tidak diberi cabai pedas.

"Boleh absen makan nasi gak pelatih?" Aku memelas saat nasi sudah di depan mata.

Di sini, makan nasi tanpa gorengan sangat tepat waktu layaknya pasien sakit parah di rumah sakit. Ontime!

Pukul 07.00, 12.00 dan 17.00 WIB. Begitulah panitia memberi jadwal makan layaknya anak panti.

"Ayoo Nana, kamu pasti bisa" seorang lelaki idaman memberi semangat.

Senyuman paling termanis yang aku miliki merekah di bibir tipis nan kecil. Aku tentunya selalu bahagia setiap kali Badang meneriaki namaku, dan memandang penuh senyuman. Aaah rasanya benar-benar memabukkan!

*

*

Pak Satyo sudah siap dengan tali temali di tangannya untuk memulai materi simpul, yang akan sangat berguna saat kalian mendirikan tenda, atau bivak di lapangan.

"Simpul adalah sebuah bentuk ikatan pada tali atau benang. Ikatan tersebut dapat memiliki manfaat atau dijadikan hiasan" pak Setyo memulai materinya di hadapan puluhan anak muda yang kembali semangat berkat cacing tak lagi meronta.

Aku duduk persis di sebalah Badang, kesempatan yang paling aku tunggu-tunggu selama pelatihan.

Konsentrasiku ambyar, terusik dengan detak jantung yang tidak stabil. Sesekali aku melempar pandangan ke wajah Badang lalu tersenyum.

"Elu ngapain liatin gue mulu. Liatin pelatih noh" Badang menepuk pahaku karna sadar tengah menjadi target kecentilan mata perempuan.

Pak Setyo mempraktekkan setiap simpul dengan cekatan, jari jemarinya memutar dan merangkainya jadi beberapa simpul silih berganti.

Simpul pangkal

Simpul mati

Simpul kambing

Simpul delapan

Simpul delapan ganda

Aku tertawa laku dengan sigap menutup mulut ketika mendengar simpul kambing, rasanya baru kali ini mendengarnya.

"Simpul kambing? Ada gitu nama simpul begituan?" Aku menanyai badang sambil memiringkan kepala ke arah wajahnya.

"Ada. Elu aja yang gak tau. Coba coba udah bisa belom? Siempu bertanya balik.

"Bisalah. Sombong amat" aku memajukan bibir.

Hampir lima menit sudah aku memutar dan memainkannya di tangan, simpul tak kunjung jadi, otakku mulai kusut.

"Makanya kalau orang jelasin itu diperhatiin" Badang menoyor jidatku dengan lembut.

"Sini liat" dia memainkan jemarinya untuk memulai tali temali.

Aku tersenyum sumringah, hanya hitungan detik saja lelaki berkacamata mata ini sudah menyelesaikannya.

Hahahhahaaha (tertawa) "dasar kambiiiing" aku meneriakinya dengan pelan.

"Panteslah bisa. Wong kamu temannya" gue makin mengolok-oloknya.

"Looohhh. Malah dikatain. Dasar kambiiiing" Badang meneriakiku kembali diiringi cekikan dan ketawa menampakkan gigi putihnya yang rapi, tidak tersentuh rokok.

"Dasar kambiiiing" aku belom puas mengolok-oloknya.

"Awas yaa" dia berbisik sambil mencubit pinggang kenyalku dengan pelan, lalu tertawa menyaksikan tingkah kenak-kanakan.

Mbiiing

Mbiiingg

Mbiiing