Priiittttt .... Priiitttttt... Priiitttttttttttttttttt
Peluit panitia berbunyi panjang membangunkan peserta yang tertidur pulas. Padahal masih pukul 05.00 WIB.
"Gilak, subuh-subuh udah dibangunin. Mana baru tidur satu jam lagi" aku menggerutu sambil merapikan pakaian.
Aku bener-benar panik melihat semua peserta sudah kelar dan berlarian menuju sumber suara. Dengan sigap aku langsung buru-buru mengenakan sepatu PDL.
"Nanaa! Buruan. Lelet banget jadi perempuan" teriak panitia lain dengan suara lantang.
Tali PDL yang panjang benar-benar memperlambat pergerakan. Makin terburu makin gak karuan.
Aku panik!
"Nanaaa! Ambil posisi 2 seri" suara pelatih memecah keheningan pagi buta.
"Masih subuh udah apes" aku kembali menggerutu.
Rasa malu tertolong, karena bukan aku doang yang ngoroknya kayak orang mati.
"Satuu" Instruktur menahan hitungannya.
"Duaaaaa" hitungan ke angka berikutnya semakin lama.
"Heeehhh. Siapa suruh kamu udah turun. Hitungannya ada pada saya" teriaknya makin lantang
Ian, peserta dari Palembang kembali meratakan posisi push up.
Selama pelatihan, push up dua seri saja benar-benar membunuh. Tidak bisa bergerak cepat, karena hitungan berada di tangan pelatih (panggilan untuk panitia).
Hanzo melirik dengan lirikan yang tidak bisa diartikan. Antara tertawa dan kasian. Dasar bedebah monyet, senang banget kalau rekannya subuh-subuh sudah dibuat susah.
Panitia kembali mentatar perihal waktu. Waktu, waktu, dan waktu.
"Kalau molor jangan macam orang mati" Hanzo menepuk jidatku seketika panitia meninggalkan peserta.
Belum habis perasaan malu dan kesal, Hanzo makin menambah-nambahnya.
"Awal yang baik. Subuh-subuh udah dapat sarapan push up" ledeknya.
"Monyeeet" kataku sambil mengibaskan tangan Hanzo jauh-jauh dari jangkauan.
Usai menghukum dan mentatar perihal waktu, dan kedisiplinan, panitia berlalu begitu saja meninggalkan kepenatan di wajah peserta yang mendapat hukuman. Termasuk aku!
*
*
Mentari sudah menunjukkan rupanya, menyapa pagi meninggalkan malam. Ini menjadi awal dimulainya pertualangan, cinta, dan kerinduan.
"Woooii kawan-kawan. Ketimbang bosen, mending foto-foto yuk buat kenangan" timpal seorang lelaki.
Namanya Eka Purnama, peserta dari Lombok dengan postur tubuh tidak terlalu tinggi, putih dan gak jelek-jelek amat.
Seperti menerima instruksi, tidak ada yang tidak setuju dengan ajakannya.
Aku sengaja mengambil posisi paling tengah untuk mengimbangi posisi, harusnya.
Tentu saja biar lebih ketara diantara peserta lain. Ini niat sebenarnya niat.
Aku melirik peserta lain hingga ke belakang, terlihat Badang tengah berdiri paling pinggir. Baru saja hendak pindah, seorang rekan dengan sigap menarik tangan.
"Nana mau kemana. Udah, duduk di sini aja" tahan Nanda, peserta dari Jakarta.
Siaaaallll. Lagi-lagi aku gagal mendekati Badang.
Sesi foto-foto usai dengan gaya tahun baholak (tua), dengan ekspresi wajah datar dan sebagian lagi menyunggingkan senyum, tidak lupa untuk melipat tangan ke dada.
Posisinya bener-benar sesi foto angkatan banget. Sebagian duduk, dan sebagiannya lagi berdiri. Begitulah kenangan gambar yang kami buat sebelum bertarung.
To be Continued....