Pak Reza memberitahu Naya tanpa rasa ragu. Pak Reza sudah bisa menilai jika Naya lah yang nantinya bisa menyelamatkan perusahaan.
"Perusahaan yang sama kuatnya dengan perusahaan kita Nona. Mahardika Fashion."
"Mahardika Fashion?"
"Ya, Nona. Perusahaan tersebut cukup berkembang pesat beberapa tahun terakhir. Pemimpin baru yang dipersiapkan juga cukup kompeten. Pria muda dengan kecerdasan yang menakjubkan. CEO mudanya selalu bisa menaklukkan hati para investor dengan ide-ide cerdasnya. Ia selalu dapat mengembangkan inovasi yang tepat."
"Hemm, aku jadi penasaran dengan CEO tersebut."
"Tidak akan mudah untuk bertemu dengannya. Kabarnya CEO muda ini tidak sembarangan bertemu dengan orang. Seperti apa wujud CEO muda ini juga tidak banyak orang yang tau, sebab identitasnya juga tidak tersebar luas. Orang ini terlalu misterius. Bahkan informasi yang tersebar di kalangan umum juga terbatas."
"Ah, aku paham. Orang yang begitu penting tentunya malas jika identitasnya di ketahui banyak orang karena itu membuat ruang geraknya terbatas."
"Benar. Suatu hari nanti nona harus melihat karyanya. Sangat profesional. Kabarnya, sang CEO suka mengambil gambar. Karyanya menkjubkan."
"Pak Reza pernah melihatnya?"
"Ya, beberapa kali. Tapi tidak secara langsung."
Ddddrrrrtttt ...
Panggilan di ponsel milik Pak Reza, ia kemudian menerimannya. Wajahnya seketika menjadi tegang dan berlanjut kebingungan setelah menerima panggilan tersebut.
"[Kabar buruk, beberapa investor membatalkan untuk menanam modal. Beberapa dari designer dari paris juga turut membatalkan kontrak. Ini kabar buruk bagi perusahaan]" kata suara di telepon.
"Sudah kamu selidiki?"
"[Ya, para desainer dan investor pindah ke perusahaan Mahardika Fashion. Dari informasi yang aaya degar jika mereka akan segera tanda tangan kontrak dengan perusahaan mereka.]"
"Sial! Ini gawat."
"[Apa yang harus kami lakukan? Para pemegang saham perusahaan minta diadakan rapat dewan direksi secepatnya.]"
"Baiklah, aku mengerti. Sekarang yang harus kamu lakukan adalah memberi pengertian kepada para pemegang saham bahwa pemimpin sedang sakit. Akan aku jadwalkan rapatnya secepat mungkin. Selalu hubungi aku jika terjadi perubahan."
"[Siap, Pak.]"
Pak Reza menutup ponselnya dengan kesal. Ia bergumam menyebutkan nama perusahaan lawan.
"Ada apa, pak Reza?" tanya Naya penasaran.
"Ini, Non. Para pemegang saham tidak tenang karena beberapa investor baru dan desainer membatalkan kontrak kerjasama dan malah bergabung dengan perusahaan lawan."
"Maksudnya? Perusahaan mana?"
"Perusahaan Mahardika Fashion."
"Lalu apa yang harus kita lakukan? Apa ada yang bisa saya bantu?"
"Tentu, Nona Naya harus terlibat. Anda satu-satunya harapan perusahaan. Anda sedikit banyak sudah belajar di bidang ini."
"Baiklah, pak Reza tolong bimbing saya untuk mengenali medan pertempuran ini.
"Siap, Nona."
***
Naya ditemani Putra sedang berada di ruang tunggu ICU. Naya lebih banyam termenung. Ia menjadi sedikit bicara setelah berbincang dengan pak Reza. Bukan hanya kesehatan papanya, kini Naya juga memikirkan tentang perusahaan papanya.
"Hei, apa yang lo pikirkan?"
"Bukan apa-apa."
"Lo bisa cerita ke gue. Siapa tau gue bisa bantu kasih solusi."
"Entahlah, gue ngerasa kesal pada diri gue sendiri. Sebagai anak gue ngerasa tidak berguna, gue tidak bisa menjaga Papa dengan baik. Gue sedih karena tidak bisa berbuat banyak untuk membantu papa. Lo tahukan Papa sangat penting bagi gue? Beliau selalu ada kapanpun gue butuh, tapi sekarang saat Papa sedang dalam masalah seperti ini gue nggak bisa bantu apa-apa. Gue nggak tahu apa yang harus gue lakuin" keluh Naya.
"Tenang, gue yakin Lo pasti bisa lakuin yang terbaik untuk semua masalah ini. Gue tahu lo pasti bisa. Naya yang gue kenal itu orangnya pantang menyerah" kata Putra memberi semangat.
Naya tersenyum pahit. "Seperti itukah menurut lo? tapi gue ngerasa tidak mampu. Gue bahkan tidak punya ide sama sekali untuk menyelamatkan perusahaan. Gue ..." ucapnya terhenti.
"Sssttt jangan bilang seperti itu. Di saat seperti ini lo nggak boleh lemah. Justru lo harus bangkit dan berusaha sekeras baja. Buat papa lo bangga. lo pasti bisa menyelesaikan masalah ini. Gue yakin. Lo juga bisa minta bantuan gue kapanpun lo mau. Gue siap."
"Thank, Put. Ok, gue mau liat keadaan papa dulu."
"Ok, gue tunggu sini" kata Putra.
Naya masuk ke ruang ICU untuk melihat keadaan papanya. Tuan Luwin masih belum sadarkan diri. Peralatan medis lengkap terpasang di sekujur tubuh papanya Naya. Ventilator juga terpasang, benda ini yang nampak seram karena selang besar menyumbat mulut papanya. Naya begitu sedih melihat papanya sekarang. Baru juga ia mau memberikan kejutan dengan kepulangannya, tapi justru dirinya yang mendapat kejutan dari kesehatan papanya.
Naya sempat bertanya dalam hati, kenapa begitu tega sang pencipta memberinya cobaan secara bertubi-tubi. Ia merasa tidak akan sanggup melewati ini semua. Tapi jika ia hanya berdiam diri maka tidak akan merubah keadaan. Justru semakin memperburuk keadaan.
Naya lalu menggenggam tangan papanya, mengusapnya dengan penuh kasih sayang.
"Pa, Naya sudah pulang" kata Naya menahan gejolak di dada. "Pa, Naya merindukan papa. Naya rindu nasehat-nasehat papa. Apa papa tidak merindukan Naya?" Naya menahan diri sejenak, ia tidak kuasa menahan air mata yang terus menggenangi pelupuk matanya.
Naya merasa begitu lemah menyaksikan kondisi papanya. Mana tidak ada keluarganya yang mendukung atau sekedar memberinya semangat. Mama masih terlalu sibuk dengan kak Fisa dan kesehatan papa. Naya merasa tak berarti di rumah tersebut. Dia nyata tapi seperti tidak diakui keberadaanya. Sakit, perih ... Inilah yang dinamakan sakit tapi tak berdarah.
"Bangun, Pa. Perusahaan dalam masalah. Naya harus bagaimana? Lekas bangun, Pa. Beri Naya petunjuk untuk membantu papa menghadapi masalah ini. Naya tidak tau harus minta dukungan dari siapa lagi" Naya mengadu di samping papanya.
Naya menahan isk tangisnya sekuat tenaga, ia tidak mau diusir keluar oleh perawat karena takut mengganggu istirahat pasien. Naya segera mengatur nafas dan menggendalikan dirinya. Menyeka air mata yang sudah terlanjur menetes. Naya kemudian menggenggam kembali tangan papanya, gemetaran tangan Naya menyadari begitu lemahnya tangan milik papanya itu. Pucat. Sangat menakutkan, membuat Naya berpikir macam-macam.
"Pa, lekas sembuh. Naya tidak sanggup lihat papa seperti ini." Isakan tangis Naya serasa mencekat tenggorokannya. Membuatnya bernafas tersengal-sengal. "Pa, Naya akan membantu perusahaan papa sebisa Naya. Semoga pak Reza benar-benar orang yang baik. Papa cepat bangun. Naya pergi dulu ya? Nanti Naya datang lagi untuk melihat perkembangan papa."
Naya mengecup punggung tangan papanya sebelum pergi meninggalkannya. Setelah beberapa saat, Naya keluar. Ia membiarkan papanya beristirahat agar cepat membaik kesehatannya. Sesaat setelah Naya pergi, tuan Luwin sempat menggerakkan jari tangannya.
Apa yang akan dilakukan Naya untuk menyelamatkan perusahaan papany? mampukah dia mempertahankan perusahaan tersebut?